"Pulang?" tanya Luiz. Menatap jelas, tepat ke arah Caroline. Wanita itu mendelik, memegang tengkuk. Menarik napasnya dalam, sambil menggeleng kepala.
"Aku bosan di mansion," leguh Caroline. Serak. Mengusap lengannya. Luiz menunduk, mengulum bibir yang terlihat merah. Meraih salah satu tangan Caroline. Menggenggam rapat.
"Kau kedinginan," ucap Luiz. Mengangkat pandangan. Memerhatikan gerak raut mata biru Caroline. Benar-benar indah. "Sebentar!"
"Kau mau kemana?" tahan Caroline. Spontan menekan pergelangan tangan Luiz. Pria itu diam, melirik ke arah motor. Tidak menjawab. Hingga Caroline menelan saliva. Melepas pautan. Luiz tersenyum, tipis. Lekas bergerak menjauh. Meninggalkan Caroline sesaat.
"Pakailah!" cetus Luiz, saat kembali. Menaruh jaket nya tepat pada bahu Caroline. Wanita itu menoleh cepat. Memegang ujung denim, merapatkan diri.
"Thanks."
"Hmm.."
"Luiz, apa kau ingat apa yang kita lakukan semalam di penthouse mu?" tanya Caroline. Menggigit bibir bawahnya, menahan senyum.
"Aku berharap kau tidak membahas itu!" sergah Luiz.
"Kenapa? Kau malu? Masalahnya, kita sangat gila. Kau ingat, 'kan?" Caroline melayangkan pukulan. Menepuk perut sixpack Luiz. Tepat.
"Gila. Sangat gila," Luiz tertawa. Lebar. Namun, cepat menutup wajahnya dengan kedua tangan. Mengusap kasar.
"Ayo kita bahas! Kita jarang melakukan itu."
"Aku tidak mau."
"Bagaimana dengan kepalamu yang hilang?" tanya Caroline. Mencubit lengan Luiz. Pria itu tertawa. Lagi, lebih lebar. Menimbulkan suara.
"Aku tidak ingin mengingat. Kau memberiku celana dalam."
"Dan kau memakainya."
"Karena kau mengatakan itu kepalaku," teriak Luiz. Spontan tertawa. Lepas.
"Kau yang mau memakainya. Kau panik, mencari kepalamu yang hilang itu ke toilet."
"Aku bingung."
"Kau mabuk. Bukan bingung."
"Sial!" Luiz menarik Caroline. Menutup mulut wanita itu dengan tangannya. Membekap kuat. Tanpa berhenti tertawa. Caroline bungkam. Menikmati pemandangan wajah pria itu dekat. Luiz terlihat hangat. Berbeda dari biasanya.
"Aku tidak ingin kau membahasnya dengan siapapun!" pinta Luiz, sambil mengecup kening Caroline. Wanita itu mengangguk, mengangkat tangan, tanda perdamaian. Peace!
"Aku sudah sangat lama, tidak melihatmu seperti ini," ujar Caroline, saat Luiz melepas diri.
"Kapan terakhir kali?" tanya Luiz. Meraih ranting yang sejak tadi berada di dekatnya. Menekan pasir putih yang tengah ia pijaki.
"Mungkin, saat kau menciumku pertama kalinya. Umurku masih empat tahun waktu itu."
"Ingatanmu bagus," celetuk Luiz.
"Ya. Bagus. Kau mencuri ciuman pertamaku, tahu?" tanya Caroline. Terkekeh pelan. Menatap Luiz hanya mengulum bibir. "Sejak saat itu, aku menganggap mu adalah pangeran berkuda putih, yang akan selalu menjagaku."
"I do!" tegas Luiz. Pelan. Mengangkat pandangan. Lagi-lagi menatap dalam tiap sudut wajah Caroline. Seakan sulit melewatkannya.
"Kenapa kau begitu dingin pada wanita lain? Vaye mengatakan padaku, bahwa kau bahkan tidak bicara sepatah katapun padanya."
"Hanya.. Tidak ingin," tandas Luiz.
"Jika menjadi wanita itu, aku akan sangat penasaran dengan suara mahal mu."
Luiz bungkam. Kembali hilang kata, menyeka rambut Caroline yang jatuh ke mata. Mencubit lembut pipi wanita itu. Caroline menelan ludah. Memeluk perutnya. Sial, rasanya aneh. Seperti sesuatu akan keluar dari sarangnya. Hangat.
"Lain kali, kita harus mabuk bersama lagi," ajak Caroline. Tersenyum lepas. Luiz berpaling. Menggeleng kepala. Malu.
"Ayolah! Jangan pernah takut melakukan hal gila. Kau masih muda," ulas Caroline. Mengangkat tangan, memberanikan diri menyentuh wajah Luiz. Menangkupnya dengan kedua tangan. Menekan dalam, hingga bibir pria itu sedikit lebih maju.
"Kau menggemaskan!" kekeh Caroline. Menekan pipi Luiz lebih keras.
Mendadak, Luiz bergerak. Lebih maju. Menyatukan bibir. Memberikan ciuman yang sejak tadi tertahan. Caroline terkejut. Sesaat memberi waktu untuk mendiamkan diri. Luiz memegang pinggulnya. Meremas pelan.
"Luiz," bisik Caroline pelan. Hingga akhirnya membalas. Menutup rapar matanya. Sedikit membusungkan d**a. Menekan bahu Luiz. Ia bergeser. Memindahkan tubuh, duduk di pangkuan Luiz. Saling berhadapan. Mendalamkan ciuman. Panas. Akan tetapi, aktifitas mereka harus terhenti, saat mendengar suara langkah kaki. Bergerak mendekat, melewati mereka. Pengunjung asing muncul. Turut menikmati kawasan pantai.
Caroline tersenyum. Menunduk ke bawah. Menutupi wajahnya. Malu. Ia tidak ingin di kenal. Luiz terlihat santai. Mengusap bibir Caroline. Basah.
"Kita sebaiknya pulang," ajak Caroline. Memerhatikan arloji yang melekat di tangan Luiz. Pria itu mengangguk. Menarik napasnya dalam. Sadar, bahwa miliknya mengeras. Tegang.
"Sial," pikir Luiz. Menahan diri. Memasrahkan Caroline bergerak turun dari pangkuannya. Mereka beranjak, bangkit. Memasang kembali pakaian, lengkap. Setelahnya pergi, lekas meninggalkan pantai, tepat saat matahari mulai beranjak turun. Memasuki waktu gelap.
***
Morgan's Mansion | 18. 47 PM
"Aku tidak bisa meneruskan kontrak kerja sama," cetus dari seorang pria paruh baya, yang cukup memiliki koneksi besar dalam dunia bisnis yatch. Menatap Alexander nanar, sambil menaruh berkas, tepat di atas meja. Austin Raymond.
"Kenapa?" tanya Alexander. Santai. Menarik cerutu dari hadapannya. Membakar cepat.
"Program mu membuat perusahaan ku rugi. Kami tidak akan bisa membayar persen yang lebih."
"Kau sudah lama mengikutiku, dan tahu bagaimana sistem Lux yatch."
"Aku tahu. Masalahnya, kau sekarang kehilangan pekerja terbaikmu. Aku dengar, dia memilih Open Sea. Jika hal itu terjadi, bukankah kau juga sebenarnya memiliki sisi yang kurang menguntungkan untuknya?"
"Kita masih bisa bernegosiasi, meski tanpa Luiz," tandas Alexander. Tegas. Menggaruk pelipis dengan ibu jari. Khawatir.
"Alexander. Aku tahu siapa kau, dan siapa pemuda itu. Tapi, kau pun pasti ingat, aku mempercayakan kontrak pada LY karena Luiz Hodgue. Dia berbakat, tidak hanya untuk mu, tapi kami. Program tahunan nya cemerlang. Anggota club yatch turut diuntungkan."
"Oke. Berapa persen yang kau inginkan?" tanya Alexander. Menelan kasar ludahnya.
"Maaf. Hari ini, aku sudah menandatangani kontrak baru bersama Open Sea. Kami ingin yang terbaik dalam jangka panjang."
"Kau akan menyesal jika mencabut kontrak dariku!" ancam Alexander.
"Aku bersama koneksi ku akan kembali, jika Luiz juga kembali."
"Austin! Kau tahu, aku bisa kehilangan jutaan dollar karena ini," tegas Alexander berang.
"Itu urusanmu. Bukan urusanku. Kita sama-sama berbisnis, Alexander. Jadi maaf, aku hanya menyampaikan keinginan beberapa langganan," jelas Austin. Mengembuskan napasnya dalam. Menunduk memberi salam. Alexander terdiam, menatap Scoot serta Billy yang berdiri dengan tatapan dingin.
"Baiklah!" tandas Alexander. Mengangguk pelan. Terpaksa menyetujui.
"Aku harus pulang. Semoga bisnis kita akan kembali terjadi suatu saat nanti," tegas Austin. Berdiri dari tempatnya. Bergerak pergi tanpa berniat menunggu respon.
Alexander membakar cerutu. Sejenak berdiam diri. Menatap berkas yang tergeletak di atas meja. Ia menutup mata. Menahan diri untuk bersuara. Diam tanpa tindakan.
"Sir, saham mu merosot," jelas Scoot. Berat. Menaruh iPad di atas meja. Tepat, dihadapan Alexander.
"Aku tahu berengsek!" mendadak. Alexander berteriak. Menarik iPad dan melemparnya asal. Seketika, benda itu menghantam tembok. Pecah. Rusak tanpa daya.
"Aku minta maaf," utas Billy. Parau.
"Putramu keterlaluan!" bentak Alexander. Menuding marah.
"Dad. What the hell is going on?" teriak Caroline. Muncul bersamaan dalam waktu tepat. Alexander menoleh, menangkap ke sumber suara. Lalu beralih pada pria yang turut berdiri, tegap. Tepat di sisi putrinya.
"Kau. Kau senang melihatku hancur, Luiz?" marah Alexander. Bergerak bangkit. Berdiri dari sisi kursinya.
"Daddy!"
"Masuk kamarmu Caroline!" teriak Alexander. Menunjuk-nunjuk wajah wanita itu.
"Alexander!" panggil Lorna. Turut hadir. Muncul bersama Milla. Sahabatnya.
"Diam! Diam kau Lorna!" tuding Alexander.
"Kau tahu? Aku mempertaruhkan banyak hal untuk semua ini. Banyak! Tapi kalian semua, kalian menghancurkannya!"
"Apapun yang sedang terjadi bukan salah putraku!" teriak Milla.
"Bukan salah putramu?" Alexander menangkap kerah pakaian Luiz. Mencengkeram kuat, mengecamnya tajam. "Mari kita tanyakan padanya langsung!"
"Alex hentikan!" lagi. Suara Lorna menggema. Lebih keras, hingga tenggorokannya terasa sakit.
"Kenapa harus Open Sea? Hah? Kau tahu bagaimana hubunganku dengan keluarga Moreira. Buruk! Dan sekarang, kau bekerja sama dengan mereka? Apa tujuanmu, Hah?"
"Jaminan!" balas Luiz. Parau. Menatap Alexander dalam.
"Jaminan?"
"Kau mengancamku, dad. Sekarang, kau ingin memecat kedua orang tuaku? Silakan!"
"Berengsek! Aku mengancam mu agar kau tidak mendekati Caroline!" balas Alexander. Membuat semua orang membuka mata. Lebar.
"Kau mengancam putraku?" tanya Milla. Terkejut.
"Ada yang bertanya. Ingin mengakuinya?" tanya Luiz. Melirik sekilas pada Caroline. Wanita itu hanya bungkam. Sedikit bergeser. Takut.
"Alexander katakan! Apa kau mengancam putraku?" lagi. Tanya Milla. Penasaran. Berjalan mendekat. Menatap pria itu tajam.
"Ya. Dan kau tahu alasan aku melakukannya," jawab Alexander pada Milla.
"Tidak. Kau tidak melakukan itu untuk Luiz. Kau melakukan semua ini untuk dirimu sendiri," kecam Milla.
"Jangan menudingku, Milla. Aku sudah mengatakan semua kebenarannya padamu. Sekarang lihat putramu. Dia bukan hanya melawanku, tapi bersaing denganku. Kau dengar apa yang dikatakan Austin tadi, Billy? Mereka akan kembali jika Luiz kembali. Kenapa? Ini milikku. Kerja kerasku!" teriak Alexander. Marah.
"Alexander tutup mulutmu!" tandas Lorna. Memegang d**a. Sakit.
"Sekarang kau Caroline! Katakan, siapa ayah dari bayi itu! Aku lebih senang jika itu adalah anak Edward!" teriak Alexander. Mendadak menarik lengan Caroline. Mencengkeram kuat.
"Anak?" tanya Caroline. Bergetar. Membulatkan kedua mata. Merasakan jantungnya berdegup kencang.
"Caroline masuk ke kamarmu. Jangan dengarkan!"
"Jawab aku! Siapa ayah dari bayi yang kau kandung atau aku akan....."
Deg!
Alexander berhenti bicara. Merasakan Luiz menariknya. Membalas cengkeraman. Menatap tajam mata hazelnut pria itu dalam. Pautannya mengencang. Geram. Merapatkan gigi hingga rahangnya terlihat mengeras.
"Lepaskan Caroline!" titah Luiz. Tanpa melepas pandangan.
"Kau berani melawanku?" tanya Alexander.
"Kau hanya ingin aku mengalahkan mu, 'kan? Sekarang waktunya. Aku berhasil!" ucap Luiz. Jelas. Membuat Alexander mendengus. Marah. Melepas cengkeramannya dari Caroline. Wanita itu berlari. Memeluk Lorna. Erat.
"Aku belum kalah! Kau belum tentu ayah dari bayi itu," jelas Alexander. Percaya diri. Luiz menunduk, menggaruk pelipis nya santai. Sejenak, ia mengalihkan pandangan. Melirik ke arah Caroline.
"Hanya Caroline yang bisa menjawab," sebut Luiz.
"Mom. Aku hamil?" tanya Caroline. Serak. Menarik napasnya dalam. Menatap Milla. Wanita itu menoleh, mengangguk memberi jawaban.
"Oleh karena itu. Kau harusnya bisa...."
"Aku hanya tidur bersama Luiz," dengus Caroline. Menahan napas. Mendadak pucat.
Alexander menoleh, menatap lekat pada Caroline.
"Berengsek!" gumam Alexander. Mengepal tinju. Mengatur napasnya dalam-dalam. Menekan sesak.
"Kau seharusnya tidak menghamili putriku, berengsek!" teriak Alexander. Mendadak berontak. Memegang kerah pakaian Luiz lebih keras. Namun, pria itu bungkam. Menatap datar, dengan tatapan sayup. Cukup memiringkan sudut bibirnya. Tipis.
"Aku hanya menjadikannya milikku di saat seseorang mencoba merebutnya," jelas Luiz. Tegas. Enggan melepas pandangan. Menatap lekat. "Aku mencintai Caroline. Kau, ataupun Edward sekarang tidak akan bisa mendapatkannya!"
"Sialan!"
Alexander mengangkat tangan. Berharap meninju wajah Luiz. Namun, dengan gesit. Luiz menahannya. Mengepal tangan Alexander, hingga urat di lengannya turut bertaruh.
"Jika kau ingin putriku, kau harus kembali pada Lux yatch!" tegas Alexander.
"Kau harus berusaha," erang Luiz. Menepis tangan Alexander. Bergeser menjauh, mendekati Caroline. Menarik lengan wanita itu.
"Ikut denganku!" pinta Luiz. Penuh tuntutan. Membuat Caroline sulit membuat pilihan. Mengikuti langkah Luiz. Mereka harus bicara. Lebih dalam.
"Kalian mau kemana?" tanya Milla.
"Caroline akan menginap di penthouseku!" teriak Luiz.
"Kalau main jangan terlalu kasar. Okay! Kandungan Caroline harus di periksa. Masih terlalu muda."
"Milla," leguh Billy. Membuat wanita itu menoleh. Lalu mendelik, cepat membuang muka.
"Kau memalukan Alexander," sindir Lorna.
"Aku tahu ini perbuatan kalian!"
"Kami?" tanya Milla. Menunjuk diri.
"Ya. Sekarang, aku tahu kenapa ada juice dengan perangsang di mansion ini," keluh Alexander.
"Akan ku jelaskan. Soal juice itu, benar. Aku memang berniat memberikannya pada mereka. Tapi, gagal. Kalian meminumnya. Namun, semua yang terjadi antara Caroline dan Luiz jelas bukan campur tanganku!"
"Aku tidak akan mempercayai kalian."
"Ya sudah. Aku tidak peduli. Yang jelas, sekarang, aku akan punya cucu," leguh Milla. Mengangkat tangan. Mengepalnya kuat. Tetap bergembira.
"Aku akan melepaskan mereka hanya jika Luiz kembali ke Lux yatch dan membawa semua pelanggan ku!" tegas Alexander. Menatap ke arah Billy.
"Aku akan punya cucu...." lagi. Ejek Milla. Tersenyum lebar. Menatap dengan mata mengecil ke arah Alexander.
"Sinting!" balas Alexander.
"Awasi dia Lorna. Suamimu bisa saja jantungan," kekeh Milla.
"Diam, atau ku usir kau keluar!"
"Aku akan punya cucu.... Cucu... Cucu.. Cucu..." Leguh Milla. Semakin keras. Tanpa peduli. Alexander mengepal tangan. Menarik napasnya lega. Memegang d**a. Lorna memalingkan wajah. Melangkah meninggalkan semua orang lebih dahulu. Muak terhadap tingkah suaminya. Lorna benar-benar dibuat Malu.
***
"Periksalah!" pinta Luiz. Menyerahkan testpack pada Caroline. Ia baru saja membelinya. Penasaran. Sangat ingin tahu. Membuktikan sendiri.
Caroline menelan ludah. Menatap Luiz lemas. Ia pusing. Sedikit takut. Semua yang terjadi baru untuknya. Butuh waktu untuk mencerna.
"Tolong!" Luiz memohon. Mengusap wajah Caroline. Halus. Wanita itu menunduk. Mengangguk pelan. Meraih testpack dari tangan Luiz, pria itu membantunya membuka kotak benda tersebut.
Caroline berdiri. Menggenggam ujung testpack dengan tangan bergetar. Menuju bathroom. Langkah kakinya lemas. Seakan sulit di gerakkan. Akan tetapi, Caroline turut penasaran. Ingin mengetahui statusnya.
Luiz menunduk. Menyatukan tangan. Menggerakkan kaki turun-naik, gugup. Menatap ke arah bathroom. Menunggu Caroline. Ia meraih kotak. Memerhatikan cara penggunaanya. Lebih efisien di pagi hari. Namun, Luiz mengabaikan aturan. Ia ingin tahu, malam ini juga.
Beberapa saat kemudian. Luiz mengangkat pandangan. Caroline hampir lima belas menit di dalam sana. Saat ini, wanita itu terlihat. Pintu kamar mandi terbuka. Perlahan-lahan lebar. Luiz berdiri, berlari mengejar Caroline.
"Bagaimana?" tanya Luiz. Menatap Caroline. Wajah wanita itu pucat. Ia diam. Menggigit bibir bawahnya. Kembali menggenggam testpack yang telah menunjukkan hasil. Caroline sudah membacanya. Mendadak, Caroline mendekat. Memeluk Luiz begitu rapat. Memukul d**a pria itu dan meremas pinggir kaos Luiz.
"Kau harus bertanggungjawab!" isaknya berat. Menyodorkan bukti testpack dengan garis dua yang terlihat jelas.