Bab 6

901 Kata
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua jam menggunakan mobil pribadi Fajar, akhirnya mereka berdua sudah sampai di hotel tepat pukul sebelas siang. Tadinya mereka berencana pergi malam-malam, tapi akhirnya keputusan finalnya mereka pergi pagi hari saja. Keduanya memang sudah sepakat untuk menghabiskan waktu bulan madu di daerah puncak. Ya, tentunya bulan madu palsu. Fajar sengaja ingin menyetir sendiri untuk mengurangi kecurigaan orang lain tentang interaksi mereka. “Seperti yang saya bilang kemarin, anggap aja ini liburan,” kata Fajar saat Sandra membuka tirai kamar hotel, wanita itu tidak merespons ucapan Fajar, tatapannya lurus ke luar jendela. Sejujurnya Sandra masih merasa Fajar itu gila. Entah dari mana ide-ide pria itu tentang pernikahan sementara ini, yang pasti Sandra sudah ikut menjadi bagian dalam sandiwara ini. Meski sebenarnya ia masih agak canggung, apalagi saat perjalanan tadi, mereka benar-benar saling diam. “Oh ya, pacarmu jadi ke sini, kan?” Sandra mengembuskan napas pelan. Tanpa menoleh pada suaminya, ia menjawab, “Aku rasa begitu.” “Sekarang kamu mau makan siang dulu, atau….” Fajar tidak melanjutkan kalimatnya. “Aku mau tidur dulu, Mas. Istirahat.” “Oke, tapi sebelumnya….” Fajar lalu berjalan menghampiri Sandra yang masih menatap ke luar jendela. “Kita perlu berswafoto,” lanjut pria itu. Semuanya terjadi begitu saja, Sandra bahkan terkejut saat Fajar merangkulnya mesra. Harum tubuh Fajar bahkan sampai dengan baik pada indra penciuman Sandra. “Senyum dong, Sandra.” Sandra refleks mengikuti perkataan Fajar sehingga ekspresi yang semula sangat datar, kini memancarkan kebahagiaan. “Ini untuk saya kirimkan ke orangtua kita,” tegas Fajar. Mereka pun mengambil beberapa foto layaknya sepasang pengantin baru normal pada umumnya. Setelah itu, mereka saling menjauh. Namun, kali ini Sandra tidak lagi menatap ke luar jendela, melainkan ada Fajar di hadapannya. “Sekarang, kamu boleh istirahat,” ucap Fajar. “Saya mau keluar dulu.” “Kalau boleh tahu … Mas Fajar mau ke mana?” tanya Sandra ragu. Detik berikutnya ia pun menyesal, untuk apa bertanya begini? “Ke tempat Nadia. Jadi, kalau kamu mau makan, nggak usah nungguin saya, ya. Saya mungkin kembali ke sini sore atau malam.” “Baik, Mas.” “Misalnya kamu mau ketemu pacarmu … silakan ya, Sandra. Asalkan di luar hotel ini, saya nggak mau kalau dia ke kamar kita. Sebaliknya, saya pun nggak mungkin membawa Nadia ke sini.” “Terserah,” batin Sandra. Baiklah, nyatanya Sandra memang tidak peduli! Saat ini Sandra sudah berada di tempat tidur, mencoba memejamkan mata meskipun sebenarnya ia tidak mengantuk pada siang hari begini. Perjalanan selama dua jam sedikit pun tidak membuatnya kelelahan. Sedangkan Fajar, tampak sedang bersiap-siap mengenakan pakaian terbaiknya untuk bertemu sang kekasih. Sandra akui Fajar memang tampan, tapi sedikit pun ia tidak tertarik mengingat betapa gilanya apa yang pria itu lakukan. Setelah mendengar pintu kamar ditutup dari luar, Sandra kembali membuka matanya. Beginikah hidupnya selama satu tahun ke depan? *** Setelah menghabiskan beberapa jam di kamar dengan penuh rasa bosan, pukul satu siang Sandra memutuskan jalan-jalan di sekitar hotel. Rencananya, ia juga ingin sekaligus mencari makanan untuk mengisi perutnya yang mulai terasa lapar. Memasuki sebuah kafe, Sandra memilih duduk di kursi paling pojok, menghadap jendela. Di tempat ini, sebagian besar kursi diisi oleh pasangan muda, bisa jadi mereka adalah pengantin baru yang juga sedang berbulan madu sepertinya. Apalagi kafe ini bernama Honeymoon’s Café, membuat Sandra semakin yakin akan hal itu. “Apa yang biasa orang lakukan saat berbulan madu?” tanya seorang pria yang entah sejak kapan berdiri di samping Sandra. Sandra lalu mendongak, meneliti wajah pria yang barusan mengajukan pertanyaan konyol. Namun, Sandra sama sekali tidak mengenal pria itu. Tunggu, Sandra yakin pria itu bertanya padanya. Bagaimana tidak, di bagian pojok ini hanya ada dirinya, kebanyakan pasangan mengambil tempat di dekat panggung kecil yang kini sedang menampilkan lagu-lagu romantis yang dilantunkan oleh seorang penyanyi wanita. “Maaf?” balas Sandra. “Maaf kalau nggak sopan, apa kamu duduk sendiri?” Sandra mengernyit. “Memangnya kenapa?” “Aku boleh duduk di sini?” “Hah?” “Kalau begitu boleh dong kalau aku duduk di sini?” Pria itu lalu menarik kursi dan duduk di seberang tempat duduk Sandra. “Itu pertanyaan? Kamu bahkan udah duduk.” Pria itu tersenyum. “Itu dia, karena aku udah telanjur duduk … jadi nggak apa-apa, ya.” Sandra berusaha tetap tenang, tapi ia mencoba waspada siapa tahu pria di hadapannya adalah seorang penjahat, entah itu pencopet, penipu dengan keahlian menghipnotis, atau yang lebih parah adalah orang omes. Jangankan berada di daerah asing yang baru kali ini dikunjungi, di daerah sendiri pun harus tetap hati-hati terhadap orang-orang mencurigakan seperti ini. “Sebelumnya maaf kalau membuatmu nggak nyaman, aku nggak ada maksud buruk, kok. Berhubung kamu duduk sendiri … ah tunggu, tempat yang aku duduki ini nggak ada yang nempatin, kan?” “Ada,” jawab Sandra cepat, berharap pria itu mencari tempat lain. Namun, bersamaan dengan itu, seorang pelayan datang membawa pesanan Sandra. “Sial,” batin Sandra. “Kalau nggak sendiri, kenapa makanan dan minumannya serba satu?” “Bukan urusan kamu,” jawab Sandra ketus. “Kamu datang sendiri, kan?” Sandra tidak menjawab, sejujurnya ia baru tahu ‘modus’ seperti yang pria itu lakukan benar-benar ada. “Ternyata aku benar,” tambah pria itu. “Kalau begitu, berhubung kita sama-sama sendiri, kenalin … namaku Dion,” ucapnya seraya mengulurkan tangan pada Sandra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN