Masa Lalu 'Mereka' (4)

1363 Kata
Setelah ketiduran sampai pagi, di ruang tamu, Dita enggan kembali ke kamar. Perkataan Aji semalam, membuatnya merasa cukup waspada. Ada dua orang, eh maksudnya, ada dua hantu yang tinggal di kamarnya? Orang tua Tian? Sepasang suami-istri? Ya ampun. Itu membuatnya merasa gila. Badan Dita terasa sakit semua. Ya, tentu saja. Ia tidur di kursi dengan selimut yang tipis. Sebenarnya, itu menurutnya agak keterlaluan. Bagaimana bisa Aji tidak membangunkannya? "Eh, udah bangun?" tanya Aji disusul dengan garukan di kepalanya sendiri. Aji baru saja bangun. Itu terlihat dari raut mukanya yang kacau, kulit wajahnya yang kucel dan berminyak. Rambutnya pun acak-acakan. Dita tak habis pikir dengan lelaki di depannya. Sebentar bisa jadi tampan, sebentar lagi bisa jadi sangat-sangat jelek. "Kamu mau minum apa? Biar aku buatkan." Dita hendak beranjak pergi. "Air teh aja. Teh hangat, tapi. Makasih sebelumnya." "Oke," ucap Dita datar. Sungguh, pagi yang aneh sekali. Dita merasa seolah-olah Aji adalah majikannya. Sesaat kemudian, Dita sudah membawa dua cangkir teh dan beberapa kue kering. Jujur saja, makanan persediaan dari pamannya itu sedikit lagi. Apalagi, semenjak ada Aji, stok makanannya terus berkurang. Aji menyeruput kopinya seakan tanpa rasa bersalah. Dita kesal. "Kenapa?" tanya Dita tiba-tiba. Aji kebingungan. "Kenapa apanya?" "Badanku ini sakit semua." "Oh, itu karena kamu tidur di kursi, mungkin." "Itu, dia. Kamu tahu. Maksudku, aku mau tanya. Kenapa, kamu biarin aku tidur di kursi?" Aji tak jadi memasukkan kue ke dalam mulutnya. "Ya, karena emang kamu mau tidur di sini, kan? Loh." "Seharusnya kamu itu, apa, kek. Bangunin aku atau pindahin aku." "Hah? Pindahin? Maksud kamu gimana?" Dita terdiam. Masih dengan sorot mata yang tajam, tertuju kepada Aji. "Iya, tapi, kan. Kenapa aku gak bangunin kamu? Oke. Alasannya adalah, kamu tidur pulas banget. Sampe ngorok." Dita tak bereaksi, tapi matanya berkata lain. Sekarang, Dita tampak lebih kesal dibandingkan tadi. "Eh, ya ampun. Salah aku itu apa sebenarnya?" Aji kikuk. "Pertama, kamu bohong. Aku gak pernah ngorok kalau tidur. Kedua, kamu gak tega? Apa emang ngerjain? Aku sampe sakit leher, tau." "Oke, maaf. Terus soal aku gak pindahin, aku inget perjanjian kita itu. Lagian, katanya perjanjian dan syaratnya masih banyak. Nah yang paling utama itu jangan sentuhan fisik. Aku udah bener, dong." Dita mengangguk. Kalimat Aji benar juga. Namun, ada satu hal yang membuatnya penasaran. "Tapi, Ji. Kamu normal, kan?" "Hah? Maksud kamu apa? Aku normal, lah." "Iya, sih. Tapi masa kamu gak tergoda sama aku?" Aji langsung tertawa cekikikan. Bahkan, meskipun Aji berusaha menahan tawanya, ia tetap tak bisa. Sementara itu, wajah Dita sudah seperti udah rebus sekarang. "Hehe, maaf." Dita meminum tehnya sampai habis. Ia masih merasa malu sebenarnya. "Oke, nanti kalau ketiduran lagi, aku bakal bangunin kamu. Tenang aja, kalau kamu susah bangun, aku siram kamu pakai air. Hehe. Oke?" Dita menarik napas panjang sebelum menjawab, "Oke. Awas aja nanti. Badanku pegel semua, udah kayak kuli bangunan." "Hehe. Oke-oke. Oh iya, sekarang, kita mau kerjain apa? Boleh, gak? Aku lihat-lihat ke garasi?" Dita terdiam sebentar. "Buat apa?" "Ya, aku pengen lihat-lihat aja." "Oke. Boleh aja, sih. Aku buat sarapan. Kamu ke sana. Hati-hati tapi. Jangan sampai ketemu sama si tetangga aneh. Dan juga, please jangan dulu berusaha untuk buka garasinya." Aji melihat tajam ke arah Dita. "Cepat atau lambat, demi menemukan kenapa rumah ini ditinggali oleh arwah-arwah penasaran, maka garasi itu pasti harus dibuka." Dita tak bereaksi apa-apa. Gadis itu langsung pergi ke dapur. Ia benar-benar tidak yakin dengan rencana Aji. *** Di depan garasi, Aji memerhatikan keseluruhan bagian rumah itu dengan seksama. Sebenarnya, di pagi hari, garasi itu tampak biasa saja. Apalagi jika dilihat dari kejauhan. Tampak tak ada yang aneh. Namun, jika dilihat lebih dekat, garasi yang pintunya adalah sejenis rolling dor itu, akan terlihat tak menyenangkan. Tak menyenangkan di sini adalah tak enak dipandang. Jelas sekali kalau garasi itu sudah sangat tak terawat. Pintunya sudah berkarat, terdapat banyak tanaman liar yang tumbuh di sekitarnya, dan aroma aneh yang tercium oleh Aji sendiri. Apakah orang lain bisa menciumnya juga? Aji penasaran. Sebenarnya, ada yang membuat Aji heran. Tepat ketika pertama kali ia melihat Dita di rumah ini, Aji merasakan ada sesuatu di dalam diri Dita yang membuat arwah-arwah ingin sekali berdekatan dengan gadis itu. Aji tak mengerti dan tidak tahu apa persisnya sesuatu itu. Namun, ia merasa kalau ia harus secepat mungkin mengetahuinya. Aji terus menatap garasi itu, sampai kemudian, ia menengok ke belakang. Dan tepat, di sana si tetangga anehnya juga berdiri dan melakukan hal yang sama. Menatap garasi. "Apa yang kamu lihat?" tanya Aji, berusaha setenang mungkin. Kini, mereka berdua berhadapan. "Ketakutan. Kebencian. Darah." Aji tersentak. Bagaimana mungkin lelaki di hadapannya itu tahu keganjilan di garasi tersebut. "Apa kamu juga bisa melihat 'mereka'?" Si tetangga aneh menggeleng. "Aku tidak bisa. Tapi aku tahu semuanya. Aku tahu dari awal. Aku tahu ceritanya. Aku tahu!" Si tetangga aneh emosinya terlihat naik, Aji mundur beberapa langkah. "Baiklah. Aku tahu. Kamu tahu cerita rumah ini. Tapi, apa kamu mau menceritakannya?" Si tetangga aneh menggeleng. "Tidak, aku akan cerita hanya kepada pacarmu." "Hah? Pacar? Oh, Dita?" Si tetangga aneh mengangguk. Aji merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menyangkal. Justru, ia harus berusaha agar terlihat dekat sekali dengan Dita. "Iya, baik. Tapi, aku tahu Dita seperti apa. Aku tahu dia tidak akan mudah menerimamu untuk berbicara. Aku belum bisa percaya bahwa kamu tidak akan melakukan hal-hal aneh kepada pacarku nantinya." "Aku tidak akan melukainya!" teriak si tetangga aneh. Aji melihat sekeliling, takut Dita mendengar suara gaduh dan ketakutan lagi. "Apa kamu bisa menjamin?" tanya Aji, pandangannya pun langsung beralih pada kedua tangan si tetangga yang mengepal erat. "Lihat, bahkan kamu tidak bisa mengendalikan amarahmu sendiri. Mana bisa aku percaya, di dekatmu, perempuan itu, pacarku, bisa aman?" Si tetangga aneh tak menanggapi. Justru ia terlihat semakin marah. "Kamu tidak bisa menjamin, bukan? Aku yang memutuskan. Aku yang akan mengijinkan apakah kamu boleh bertemu dengan pacarku atau tidak. Tapi, sebelum itu, kamu harus bisa mengendalikan emosimu itu. Kamu pikir, Dita akan mau berbicara dengan orang yang gampang marah? Orang yang emosinya tidak stabil? Kurasa tidak." "Terserah. Aku pasti akan bicara dengannya nanti. Satu yang pasti, kalian tidak boleh membuka garasi itu." Aji tak berkata tidak atau pun berkata iya. Laki-laki itu memilih untuk meninggalkan si tetangga aneh dan kembali ke dalam rumah. Aji masuk dengan membuka pintu pelan-pelan. Dita rupanya masih sibuk memasak. Entah apa yang tengah gadis itu buat, tapi aroma wangi sudah tercium ke seluruh ruangan. "Masak apa hari ini? Ehe." Aji menghampiri Dita yang sedang berlagak jadi chef hotel bintang lima. "Ini, omelet! Spesial pokoknya! Enak!" Aji melihat masakan itu. "Itu kayak telur dadar." "Itu omelet! Udah diem sana." Aji mengangguk dan kembali ke ruang tamu. Tak lama setelah itu, Dita datang. Wajahnya semringah. "Ini dia!" teriaknya. "Eh, bentar. Aku mau ambil hape dulu. Kayaknya ada di ... kamar." Aji menatap Dita. "Kenapa? Kamu jadi takut ke kamar?" Dita menggeleng. "Aku jadi agak risih aja." "Gak apa-apa. Atau, kita makan di sana aja?" "Hah? Di mana?" "Di kamar kamu." "Ih, maaf, ya. Kamu jangan berpikir yang macam-macam." Aji menampilkan wajah datar. "Kamu yang berpikir macam-macam. Aku gak berpikir apa-apa, loh. Maksud aku tuh, supaya kamar kamu suasananya gak nyeremin lagi. Kalau kita ada aktivitas di satu ruangan yang sepi, ruangan itu gak akan terasa menyeramkan lagi. "Ehehe. Oke, kalau gitu. Kalau memang pikiranmu bersih kayak gitu, aku mau. Tapi syaratnya, pintunya dibuka, ya." Aji mengangguk. "Oke. Terserah Nyonya Dita saja." Dita tersenyum malu. Kemudian, di sinilah Aji dan Dita sekarang. Di kamar Dita yang dingin, dengan pintu kamar yang sengaja dibuka, keduanya duduk di lantai. Masing-masing mulai menyantap omelet buatan Dita. "Gimana rasanya?" tanya Dita. Aji menguyah, dan menimbang-nimbang. "Ehm, lumayan." "Lumayan?" "Iya. Lumayan asin." "Heh! Masa?" "Enggak, becanda. Enak, kok. Makasih, ya." "Oke, sama-sama." Aji melihat sekeliling. Seperti tengah mencari sesuatu. Dita yang melihat Aji yang sedang melihat sekeliling merasa penasaran. "Kenapa? Ada yang aneh?" tanya Dita. "Enggak, aku cuma mau lihat-lihat aja. Aku mau mastiin di sini emang aman." "Tuh, kan. Aku bilang juga apa. Di sini aman. Gak ada, kan? Hantu atau siapa kemaren itu?" "Orang tua Tian?" "Nah!" "Ada, kok. Mereka lagi liatin kita makan." []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN