Dita masih tak bisa percaya dengan apa yang Aji sampaikan. Kakeknya? Maksud Aji, kakeknya itu merupakan dukun atau orang pintar? Semacam itu? Tidak, tidak mungkin. Dita tidak percaya.
Mungkin benar, Dita lama tak kembali ke kampung halaman. Akan tetapi, tidak mungkin kakeknya itu menjadi seorang dukun tanpa sepengetahuan Dita. Itu mustahil. Sangat aneh. Kakeknya, bukan orang yang seperti itu dan tidak akan pernah jadi orang seperti itu.
"Kenapa?" Aji menyodorkan segelas air minum.
"Masih gak percaya. Boleh gak, sih? Gak percaya sama hantu?"
Aji tersenyum. "Boleh aja, gak ada yang maksa kamu buat percaya. Lagian, perlahan semuanya akan terbuka. Kamu akan tahu, kalau kamu mungkin belum tahu atau tidak mengenal kakekmu dengan baik."
Dita terdiam mendengar kalimat Aji. Jauh di dalam hatinya, gadis itu membenarkan apa yang Aji katakan.
Mungkin, ia memang tidak mengenal kakeknya dengan baik. Mungkin.
"Oke, kita lupakan dulu soal itu, Ta. Aku ada cerita lagi soal Tian."
"Oke, apalagi sekarang?"
"Tian ada di sini. Orang tuanya juga ada di sini. Tapi mereka tidak pernah bertemu."
"Kenapa?"
"Karena Tian selalu bersembunyi jika orang tuanya datang mencarinya. Tian tidak ingin bertemu dengan mereka."
Dita menghela napas. "Lagipula, mana ada anak yang ingin bertemu lagi dengan orang tua yang sudah menumbalkan dirinya. Itu akan menyakitkan."
"Iya. Tapi bagi kedua orang tua Tian, itu juga sesuatu yang mereka sesali."
"Mereka menyesal setelah Tian tiada, dan setelah mereka jadi hantu? Apa gunanya?"
Dita nyengir. Aji menggetok kepala gadis itu.
"Eit! Jangan sentuhan fisik!"
Aji menepuk keningnya. "Maaf! Itu kan gak sengaja, itu reflek."
"Terserah, deh. Sekali lagi, kamu begitu. Udah, pergi sana. Jangan ada di rumah ini lagi."
"Eh, yakin?"
"Eh, kamu nantangin?"
"Ah, udah-udah. Sekarang kita harus bantuin orang tua Tian, biar bisa bertemu dengan Tian lagi."
"Gimana caranya?"
"Aku akan coba membujuk Tian. Kamu di sini aja dulu."
"Emang Tiannya di mana?"
"Di deket garasi."
"Hah? Garasi? Kenapa, sih. Harus di sana?"
"Meneketehe. Aku gak tahulah. Makanya aku harus ke sana."
"Oke. Aku tunggu kamu di sini. Bilangin ke Tian. Berdamai adalah pilihan terbaik."
"Tanpa kamu suruh, aku mungkin akan bilang ke Tian kalimat yang mirip dengan itu."
"Oke. Cepet balik lagi. Bawa Tian ke sini."
Aji mengangguk. Kemudian ia beranjak ke luar rumah, menuju garasi.
Sementara itu, Dita terdiam sendiri di ruang tamu. Sesekali, matanya melihat ke luar halaman. Jujur saja, ia sebenarnya belum bisa menerima semua yang Aji sampaikan. Tian, orang tua Tian, penumbalan, pesugihan, masa lalu kakeknya, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu semua, semua itu seperti mimpi.
Sejenak, Dita pernah berharap bahwa semuanya memang hanyalah bunga tidur semata. Dita pernah berpikir bisa saja semua ini hanyalah mimpi. Dan nanti, entah kapan, ia akan terbangun. Terbangun dalam keadaan baik-baik saja. Lalu, lupa dengan mimpi itu.
Dita menunggu dan merasa bosan. Ia melihat-lihat sekeliling dan baru menyadari kalau persediaan makanan semakin tipis saja, dan belum ada tanda-tanda bibinya akan datang mengantarkan kebutuhannya.
Apa ia menghubungi pamannya saja? Ya ampun. Memikirkan uang membuatnya merasa gila. Bayangkan saja, di awal Dita kemari, ia hanya ingin menjual sebuah rumah dan mendapatkan uang. Kemudian kembali ke Jakarta dan bersama-sama membuka usaha dengan sahabatnya, Rena. Ya, sesederhana itu. Namun sekarang? Lihatlah. Kenyataan yang dihadapinya sama sekali tidaklah sederhana. Malah bisa dibilang sangat ruwet. Kusut.
"Hai."
"Eh, udah?" Dita kaget melihat Aji yang tiba-tiba saja masuk.
"Udah. Aku bareng Tian ke sini."
Dita melihat sekitar. Lupa, bahwa ia memang tidak akan pernah bisa melihat Tian.
"Mau lihat?"
Pertanyaan itu langsung disambut oleh gelengan kepala dari Dita. Gadis itu kapok.
"Jadi, gimana?"
Aji menempelkan jari telunjuk ke bibirnya, isyarat bahwa jangan ada obrolan dulu untuk beberapa saat.
Dita mengerti. Gadis itu hanya diam dan memerhatikan bagaimana Aji melihat ke satu sudut ruangan.
Apakah orang tua Tian sedang berbicara dengan Tian? Ya, mungkin saja. Itu yang tengah Dita yakini.
Beberapa saat kemudian, Aji mulai membuka suara.
"Sekarang, sudah."
"Sudah? Mereka mau berdamai?"
Aji mengangguk. "Iya. Mereka memutuskan untuk berdamai."
"Tian memaafkan orang tuanya?"
Aji mengangguk. Matanya sedikit berkaca-kaca."
"Aku baru tahu, kalau mereka yang masih belum berdamai, mereka juga punya masalah. Di dunia mereka sendiri."
Aji mengangguk. "Mungkin, kamu gak ngerti, Ta. Sekali lagi, kamu gak harus percaya dengan ini semua. Kadang, kita memang cuma harus menerimanya."
"Terus? Mereka udah gak ada lagi di sini? Udah pergi?"
"Iya, mereka udah gak ada di sini lagi."
"Mereka terbang, Ji?"
"Aku gak tahu."
"Kira-kira, mereka ke mana? Ke langit?"
Aji menggeleng. "Gak tahu. Aku gak bisa tahu sampai ke sana. Aku manusia, Ta. Kemampuanku terbatas. Aku bukan Tuhan."
"Di penglihatan kamu, mereka ke mana? Ke atas?"
"Gak tahu. Mereka menghilang gitu aja."
"Oh, aku pikir kamu tahu."
"Enggak. Aku kan udah bilang tadi. Kemampuan manusia itu, sepinter apa pun, tetap ada batasnya. Apalagi urusan seperti ini."
"Misteri, ya."
"Nah, itu. Oke, Ta. Sekarang ada satu lagi. Satu arwah yang ada di rumah kamu dan dia minta bantuan ke kita."
"Ah, siapa lagi sekarang?"
"Arwah perempuan itu ada di deket rak piring kamu, di dapur."
"Ha? Rak piring?"
"Iya. Kamu pasti pernah mendengar ada kayak orang yang mecahin piring atau mungkin ada sesuatu sama rak piring kamu itu?"
Dita menghela napas. Ia ingat betul ketika ada suara piring pecah dan rak piringnya yang tiba-tiba berpindah.
"Ji, kamu boleh percaya apa enggak. Tapi aku pikir, yang pecahin piring waktu itu, itu tuh kucing. Terus, rak piring yang pindah itu, kupikir karena pamanku yang mindahin."
Aji mangut-mangut. "Sekarang, udah tahu, kan?"
"Terus? Apa yang harus kita lakukan? Gimana caranya agar si hantu rak ini memilih berdamai dan gak tinggal di rumah ini lagi?"
"Ayo kita cari tahu," ujar Aji sambil melangkah ke dapur, diikuti oleh Dita.
Setelah berada di dapur, keduanya menatap tak piring yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa sama sekali. Sampai beberapa detik kemudian, sebuah piring berwarna putih melayang dan jatuh.
Dita terkejut. Ia membeku demi melihat kejadian itu.
"Apa yang terjadi? Kenapa?" tanya Dita, sedikit bingung dengan apa yang sudah terjadi di hadapannya.
"Sebentar," ucap Aji.
"Apa dia marah?"
Aji menggeleng. "Enggak. Bukan marah."
Beberapa saat, Aji mulai berbicara dengan arwah itu. Dita hanya diam dan menatap pecahan piring di lantai. Sungguh aneh, cara arwah ini menunjukkan kehadirannya.
"Gimana?" tanya Dita.
"Kasusnya hampir sama kayak Tian. Dia ditumbalkan."
"Terus?"
Aji pun kembali bercerita.
Nama arwah di dekat rak piring itu adalah Shila. Ia adalah remaja perempuan yang cukup cantik. Kedua orang tuanya masih hidup sampai sekarang, meskipun dalam keadaan yang tidak berkecukupan lagi.
Shila bilang, kedua orang tuanya bisa terbebas dari kutukan pesugihan itu setelah kehilangan Shila dan kakek-nenek Shila.
Mereka terbebas dari kutukan pesugihan, entah bagaimana caranya. Namun, tetap tak bisa terbebas dari kutukan kehidupan yang membuat mereka kembali jatuh miskin seperti semua, seperti saat mereka melakukan pesugihan.
Shila adalah anak satu-satunya. Anak yang sebenarnya lahir di luar nikah. Kedua orang tuanya melakukan kesalahan di masa lalu dan merasa bahwa Shila tak seharusnya lahir ke dunia.
Sebelumnya, bahkan ibunya Shila pernah berusaha untuk menggugurkan kandungannya berkali-kali. Namun, selalu gagal.
Berangkat dari sana, ditambah keadaan perekonomian yang sangat buruk, orang tuanya Shila pun memutuskan untuk melakukan pesugihan.
"Ke sini? Orang tuanya Shila ke sini juga?" tanya Dita.
Aji mengangguk. "Iya. Mereka ke sini."
"Terus?"
"Iya, yang terjadi selanjutnya hampir mirip. Setelah mereka kehilangan Shila, mereka menyesal dan ingin punya anak lagi. Sayang, takdir berkata lain. Ibunya Shila divonis oleh dokter tidak bisa mengandung lagi."
"Dibayar kontan untuk semua yang sudah mereka perbuat."
"Benar, Ta. Mereka melakukan segala cara dan bahkan ke sini lagi, mereka mencari cara agar punya anak lagi."
"Tapi tidak berhasil?"
"Tetap tidak berhasil."
"Terus?"
"Ya, orang tuanya ditumbalkan. Ayah dan ibu dari ibunya Shila pun jadi tumbal. Mereka tetap kaya raya, tapi sekali lagi, semua kekayaan mereka tidaklah membuat mereka bahagia. Tidak sama sekali."
"Oke. Sekarang, apa? Apa yang harus kita lakukan agar Shila mau berdamai?"
"Shila minta kamu berjanji akan membuka garasi dan membebaskan semua arwah di sana. Setelah kamu berjanji, ia akan pergi dengan tenang. Shila tidak akan tinggal di sini lagi."
"Hah? Janji? Aku harus janji sekarang?"
"Iya. Kamu harus janji, dan janji kamu harus ditepati. []