Masa Lalu 'Mereka' (2)

1033 Kata
"Ji, sebenernya, kamu beneran berkomunikasi sama arwah bocah itu?" tanya Dita. Hari sudah hampir malam, tapi tetap saja, rasa penasaran Dita belum tuntas. "Iya, aku bisa. Aku gak tahu, tapi jujur aja, baru seharian tinggal di sini, kemampuan aku udah terasa banget. Mungkin karena aura dan para penghuni di rumah ini juga banyak." "Hah? Sebanyak apa, sih?" Dita meringis. "Ehe. Aku gak tahu tepatnya. Tapi seperti yang aku bilang, ada sesuatu yang tersembunyi di salah satu tempat rumah ini. Garasi itu." Dita mengangguk. "Iya, garasi itu. Jangan-jangan di sana tempatnya para mahluk halus berkumpul lagi. Jumlahnya mungkin banyak di sana." "Nah, itu aku juga belum tahu. Kita bakalan tahu kalau kita udah bisa buka garasi itu." Dita menggeleng. "Pamanku bilang, jangan. Gak ada yang boleh buka garasi itu." "Iya, tapi tetep aja. Cepat atau lambat, bakalan ada alasan-alasan buat kita supaya berusaha untuk buka garasi itu." Dita hanya diam. Mungkin, perkataan Aji memang ada benarnya. "Ta, kamu mau tahu cerita lengkapnya?" "Cerita lengkap apa?" "Soal arwah bocah? Aku kasih tahu, namanya Tian. Dia itu umurnya sekitar delapan tahunan." Dita mengangguk. Ia mau menyimak. "Tian itu, korban tumbal." "Hah? Tapi kan, delapan tahun itu, masih gak berdosa. Maksudku, anak-anak, kan ...." Aji mengangguk. "Iya. Dia gak ada niat buat ganggu kamu atau siapa pun. Dia cuma menyimpan sedikit kemarahan sama orang tuanya." "Orang tuanya?" "Iya, Ta. Siapa lagi. Kan orang tuanya yang bikin Tian jadi tumbal." "Iya, sih." "Orang tuanya ini, pengen kaya raya dan mereka dengan teganya, mengorbankan Tian demi keinginan mereka itu." "Oh, iya. Tapi, apa hubungannya sama rumah ini?" Aji menatap Dita lekat. "Itu dia, Ta. Rumah ini adalah tempat di mana ritual penumbalan dilakukan." Dita menggeleng tak percaya. "Gak, gak mungkin." "Kenapa? Kamu gak percaya? Atau justru baru tahu?" "Aku gak percaya. Itu gak mungkin. Rumah kakekku bukan tempat yang kayak begitu, Ji." "Oke, maaf. Mungkin aku yang salah. Tapi aku cuma menyampaikan apa yang Tian sampaikan. Aku gak berbohong soal itu." Dita yang masih tak terima, segera pergi ke dapur dan langsung menghabiskan segelas air. Ia merasa itu tak mungkin. Rumah ini pernah dijadikan praktek aneh semacam itu? Apa itu terjadi sebelum rumah ini ditinggali oleh kakeknya? Dita kembali ke Aji. "Oke, kapan tepatnya peristiwa itu berlangsung?" tanya Dita sambil matanya menatap tajam ke arah Aji. "Aku gak tahu. Tian gak bilang sampe sana. Aku juga belum nanya ke situ." "Oke, apa mungkin kalau rumah ini memang pernah dijadikan tempat ritual? Tapi, kan. Bisa jadi itu adanya sebelum rumah ini ditinggali sama kakekku. Iya, kan?" "Aku gak tahu, Ta. Itu bisa aja, sih. Mungkin, nanti aku harus tanyain soal ini ke Tian." "Tanyain lagi?" "Iya. Aku bisa ngerasain kalau Tian juga ada di antara kita sekarang." Dita mendekat ke arah Aji, bahkan nyaris menempel. Aji berusaha menahan tawa. "Kenapa?" "Ya, ternyata bener. Kalau ada cowok-cewek lagi berduaan, yang ketiganya itu kan ...." "Eh, husssh!" Aji memberi isyarat ke Dita dengan cara menempelkan jari telunjuk ke bibir. "Kenapa?" "Gak kenapa-kenapa." "Oke, jadi, Tian ada di sekitar sini?" Aji mengangguk. "Dan dia, dia sepertinya gak keberatan berkomunikasi dengan kamu." "Hah?" "Kalau kita penasaran, kita harus mencoba mencari tahu, Ta. Ini saatnya." "Tapi, Ji ...." "Ayo, kamu mau? Kamu penasaran? Gak apa-apa, kok. Dan gak akan lama." Dita sebenarnya ragu-ragu, tapi melihat bagaimana usaha Aji meyakinkan dirinya, gadis itu pun akhirnya mengangguk. "Oke. Ayo kita berdiri." Dita mengiakan. Ia menurut apa yang dikatakan oleh Aji. "Sini, tangannya." Gemetar, Dita menyerahkan tangannya kepada Aji. Aji yang merasakan tangan Dita yang dingin, mulai ragu-ragu. "Kamu takut? Oke, gak apa-apa kalau ...." Dita menggeleng. "Ayo, kita coba aja dulu." Dita menggenggam erat tangan Aji. Perlahan, seolah ada aliran hangat yang menjalar dari tangan Aji. Dan perlahan juga, Dita mulai mendengar suara-suara tak jelas. Sebuah buku jatuh dari atas lemari. Entah buku apa, tapi untuk sesaat, Dita membeku. Pandangannya tertuju hanya pada satu titik. Di pojok lemari. Dita melihatnya. Ia menelan ludah demi menyaksikan itu. "Ta ... are u ok?" Dita menggeleng. Gadis itu perlahan menangis dan segera melepaskan tangan Aji. Aji terdiam. Ia tahu, mungkin Dita memang tidak siap untuk hal semacam ini. "Oke, mungkin kamu memang gak siap untuk hal semacam ini. Biar aku aja yang komunikasi sama Tian." "Maaf, Ji. Aku cuma kaget. Aku kaget beneran ada mahluk lain yang tinggal selain kita di sini." "Oke, gak apa-apa." Dita menarik napas panjang. "Kamu bilang kemampuan kamu itu cuma tipis? Sedikit? Tapi tadi, bahkan kamu bisa ngasih aku penglihatan kayak gitu. Kamu bohong, ya?" Aji menggeleng. "Ini tuh gak kayak yang kamu pikirkan, Ta. Kemampuan aku ini, setahu aku emang udah lama gak diasah. Tapi, karena arwah Tian mau berkomunikasi sama aku dan nyatanya ramah, berteman, ini tuh jadi lebih mudah." Dita mengangguk. "Kalau arwah yang lainnya?" "Itu dia. Aku gak tahu. Mereka mungkin gak mau menunjukkan diri mereka. Cuma Tian yang aku tahu mau terbuka." Dita merasa itu sebenarnya penjelasan yang tidak terlalu rumit. Ia hanya takut, itu saja. Tangan gadis itu dingin, sedikit gemetar dan wajahnya pucat. Aji beranjak sedikit, hendak mengambil air minum. Namun, Dita menahannya. "Ke mana?" Aji tersenyum. "Ambil air minum. Gak apa-apa, kok. Tian udah pergi. Dia gak ada di pojok lemari." Seketika Dita langsung melihat ke pojok lemari. Memang, tanpa memegang tangan Aji, ia tak bisa melihat Tian. "Tapi Tian pernah menampakkan diri," gumam Dita. "Iya, itu ketika dia gak tahu kamu takut apa enggak. Seringnya, kamu emang pura-pura gak takut, kan? Kamu mengabaikan keberadaan dia?" "Iya, Ji." "Sekarang, Tian udah tahu. Dia gak akan ganggu kamu lagi. Kecuali aku yang meminta dia untuk berkomunikasi sama kamu. Dengan ijinku." "Oh, oke." "Aku ambil air minum ya." "Iya." Aji berlalu. Dita masih memerhatikan pojok lemari, yang walaupun kosong, masih dengan jelas bayangan kejadian tadi. Dita benar-benar melihat Tian. Bocah lelaki kecil yang menjadi korban tumbal. Dita melihat tubuhnya. Dita melihat leher Tian yang merah. Seperti habis dicekik. Bekasnya mirip seperti ketika Dita bermimpi dicekik. Sama seperti itu. Dita masih tak bisa menyembunyikan ketakutannya. Sementara hari sudah beranjak malam, Dita menutup gorden dan mulai mengunci pintu. "Aji?" tanya Dita sambil melirik ke arah dapur. Tak ada jawaban. "Aji?" Dita melangkah pelan. "Aji? Kamu di dapur, kan?" Masih tak ada jawaban. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN