Aku melamun sambil menatap bakul jamu di depanku, aku duduk di bawah pohon yang sangat sejuk dan rindang
Perkataan Hasan kemaren siang benar benar membuatku gelisah, hingga mau tidak mau aktifitasku tergangggu.
Masak iya sih mereka pacaran?! Tapi kenapa hatiku jadi sedih begini ya? Apa aku cemburu?!
Oh no....
Tidak!! Aku sama sekali tidak cemburu!! Hasan hanya sahabatku saja, tapi mengapa dia mencumbuku saat di kantor kemaren?! Aduh.
"Dek, beli jamunya dong," ucap seorang pemuda sambil menatapku nakal.
"Jamu apa?" tanyaku sopan.
"Jamu kuat syahwat," jawabnya membuatku jengah.
"Maaf, jamunya habis." sahutku ketus.
"Itu masih banyak dek," ucapnya berusaha menggangguku.
"Itu jamu buat sehat datang bulan mas, apa mas mau beli yang itu?" tanyaku tajam.
"Tidak juga, jangan galak galak dong dek, mas takut," serunya kali ini benar benar membuatku jengah.
"Sudahlah, mas pergi saja, jangan ganggu saya," ucapku lelah.
"Mau bagaimana lagi?! habis wajah kamu sangat menggemaskan." ucapnya dan mulai bersikap kurang ajar dengan mengusap pipiku.
"Keterlaluan!! Apa kau tidak bisa bersikap sopan?!" tanyaku agak keras.
"Tidak, lagipula kau mau apa?! jadi tukang jamu saja sok." ucapnya dan kali ini benar benar membuatku emosi.
Aku mengambil salah satu botol dan berniat memukul kepalanya."katakan!! mau pergi atau kepalamu hancur?!" ancamku tidak main main.
"Astaga! Itu botol masih penuh dengan jamu, besar lagi! baiklah, maafkan mas ya," ucapnya dan langsung kabur.
"Macam macam sama Dilla, habis kau." desisku emosi.
Kudengar suara seseorang sedang bertepuk tangan, lebih tepatnya di belakangku.
Aku membalik badan dan melihat Hasan di sana,"cih, mau apa dia kesini?!" bathinku kesal.
"Hai gadis kecil, aku baru tahu kalau kau ternyata sangat jagoan." ucapnya menggodaku.
"Hai juga kekasihnya Jasmin," ejekku sambil menatapnya.
Hasan tertawa dan mengambil botol dari tanganku."ini bisa berbahaya kalau kamu yang pegang," ucapnya menggodaku.
"Di mana Jasmin?!" tanyaku kesal.
"Astaga! Kau mencari Jasmin meskipun ada pria tampan berdiri di hadapanmu?!" ucapnya balik menanyaiku.
Hasan benar, dia memang sangat tampan, apalagi dengan setelan jas hitamnya, benar benar membuat hatiku ini berdebar tidak karuan.
"Hei, kau selalu melamun sayang?" tanya nya geli.
"Eh! tidak, sebaiknya kau pergi Hasan, aku mau lanjut jualan." jawabku malas berdekatan dengannya.
"Sudah aku bilang, hentikan jualan jamu itu, dan bekerjalah padaku." ucapnya memaksa.
"Tidak mau! dan jangan memaksaku." ucapku tajam.
"Kau harus mau." ucapnya sambil menatap mataku lekat.
"Kenapa memaksa sih?! Ini kan halal," jawabku keras.
"Aku tahu, tapi kalau kau terus berjualan jamu, siapa yang akan aku cumbu nanti?" ucapnya sambil mendekat ke arahku dan menarik pinggangku agar dekat ke arahnya.
"Kan ada Jasmin! Bukankah dia adalah kekasihmu?! Mengapa kau malah sibuk ingin mencumbuku?! Siapa kau?! Aish... Aku tidak mau!" seruku kesal.
Hasan memegang daguku kemudian mengangkatnya ke atas agar mataku bisa langsung menatap wajahnya.
"Jasmin memang sangat cantik, bahkan wajahnya saja bagai bidadari. Tapi percayalah gadis manis, hanya kau saja yang mampu membangkitkan nafsu liar pangeran Hasan." desahnya sambil menjilati bibirku.
Astaga! Kaki ku serasa mau lumpuh. Jantungku berdetak tidak karuan. Aku merasa bahagia tapi juga malu.
"Su..sudahlah Hasan, jangan menatapku seperti itu, malu kalau di lihat orang." ucapku gemetar.
"Kenapa harus malu, kau kan milikku," ucapnya tidak perduli.
"Aku bukan milikmu, Jasmin lah milikmu! Menjauh dariku dan cumbu lah dirinya sepuas hatimu." ucapku gelisah.
Hasan melumat bibirku dengan gemas. Tangannya semakin erat menekan tubuhku.
"Mmpphhh... Hasan lepaskan aku, aku malu jika di lihat orang," ucapku di sela sela ciumannya.
"Bekerjalah padaku," pintanya masih dengan menciumku.
"Tidak mungkin Hasan, aku sudah nyaman jualan jamu," bantahku lirih.
"Kalau begitu, aku akan terus mencium mu.. mmpphhh.." ucapnya dan kali ini benar benar membuatku gelisah.
Apalagi sudah ada satu atau dua orang menatap ke arah kami sambil tersenyum senyum. Aku benar benar bingung. Astaga!
"Hasan, baiklah." ucapku lelah.
Hasan melepaskan ciumannya dan menatapku dengan penuh kebahagiaan.
"Gadis cerdas," ucapnya geli.
"Mengapa kau selalu memaksaku Hasan, aku tidak nyaman bekerja padamu," jawabku sedih.
"Mengapa tidak nyaman? Apa alasannya?" tanya Hasan sambil mengusap kepalaku lembut.
"Kau kekasihnya Jasmin, bagaimana kalau dia cemburu? Selain itu...." ucapku ragu ragu.
"Selain itu apa? Katakanlah," ucap Hasan memaksa.
"Selain itu aku takut jatuh cinta, dasar bodoh." Bathinku emosi.
"Selain itu apa Dilla?" tanya nya lagi sambil memelukku posesif.
"Tidak ada apa apa." jawabku datar.
Hasan melepaskan pelukannya dan mengambil bakul jamu ku kemudian dia masukkan ke dalam mobil mewahnya.
"Jamu ini aku beli semua," ucapnya sambil tersenyum.
"Semuanya sepuluh juta," jawabku santai.
"Astaga! Mahal sekali!" serunya kaget.
"Segitu masih murah tuan Hasan, harga jamunya satu juta, biaya memeluknya empat juta dan untuk biaya ciumannya lima juta. Murah kan?!" jelasku sambil menatapnya.
"Astaga! mencium gitu saja lima juta?!" serunya lagi sambil menatapku intens.
"I.. iya, tentu saja." jawabku gugup.
Hasan mengarahkan bibirnya kedekat telingaku dan berbisik.
"Kalau bibirmu yang bagian bawah, apa kau akan memberi harga juga?" tanya nya nakal.
"Memangnya kau mau beli harga berapa tuan?" ucapku lagi balik menanyainya dengan gugup.
"Seluruh kekayaanku dan juga nyawaku, apa cukup buat membeli bibir yang bagian bawah itu?" tanya nya dan kali ini di sertai desahan yang membuat bulu kudukku meremang.
"Astaga! Dasar bodoh! Kau tidak perlu mengorbankan nyawa buat membelinya tuan, itu sangat tidak masuk akal." jawabku gelisah.
"Itu sangat masuk akal Dilla, karna kau tidak ternilai harganya, kau sangat mahal di bandingkan dengan apapun," ucapnya dan kembali memelukku dengan penuh kasih sayang.
"Um.. Manis sekali, apa kau juga merayu Jasmin seperti kau merayuku saat ini?" tanyaku sambil memberontak dari pelukannya.
"Dasar bodoh! Aku tidak pernah merayu siapapun. Hanya Dilla saja gadis yang pernah aku cumbu dan akan selalu aku rayu." jawabnya sambil tertawa.
Hasan!!
Kau benar benar membingungkan.
Hasan menarik tanganku dan membawaku masuk kedalam mobil mewahnya, dia meraih HP di saku nya dan menelpon seseorang.
"Bunda, Dilla tidak akan pulang untuk saat ini, kami akan pergi ke salah satu kapal pesiar Abi dan menghabiskan waktu di sana," ucap Hasan membuatku melotot kaget.
Astaga! Apa yang akan dia lakukan untuk saat ini?!
"Baiklah, Bunda Tia, terima kasih," ucap Hasan menutup pembicaraannya. Kemudian menatapku dengan pandangan puas. Apa-apaan dia ini.
"Dasar pemaksa!" seruku kesal.
"Tidak perlu cemas, ada umi Nur, Abi dan juga Jasmin di sana," ucapnya sambil tersenyum.
"Huft... Baiklah." ucapku lega.
**