> BAB DELAPAN <

1016 Kata
Aku membasuh wajahku di dalam kamar mandi sampai berulang ulang kali. Hasan benar benar keterlaluan, masak iya aku harus memegang senjatanya. Aaakkkhhhh Astaga!! Aku tidak melihat, aku tidak melihat, aku tidak melihat. Tidak!! Bahkan jantungku masih berdetak sampai sekarang, kaki ku serasa lumpuh, Lemas... Seseorang masuk dan menghampiriku sambil tertawa. "Sudahlah dilla, jangan bertingkah seperti itu, kau sudah pernah melihatnya bukan?" tanya Hasan nakal. Aku mengambil air dan menyiramkan ke wajahnya."Dasar bodoh!! Apa kau tidak punya rasa malu?! Kau benar benar keterlaluan." desisku emosi. "Mengapa aku harus malu? Kau kan sudah pernah melihat tubuh telanjangku?" ucapnya santai. Aku bingung harus berkata apa? Aku memang pernah melihatnya, tapi saat itu masih belum berbulu dan panjang seperti sekarang. Hasan benar benar membuatku gila. "Hei, apa kau dengar aku? mengapa melamun?" tanya nya geli. "Eh, tidak apa apa! Sebaiknya kau pakai bajumu dan langsung makan." perintahku gelisah. "Aku tidak mau memakai baju, kau sudah melihat segalanya, kalau kau mau protes, lepas juga bajumu dan kita sama sama telanjang," ucapnya nakal. "Tidak!" Sanggahku cepat. Aku mendorongnya ke samping dan berusaha keluar dari kamar mandi. Hasan terus tertawa sambil memegangi perutnya. "Dasar gila." ucapku kesal. Aku menuju meja makan dan menata makanan yang sudah di pesan oleh Hasan. Aku juga menyiapkan obat buat di minumnya setelah makan nanti. Hasan terus saja mengikutiku sambil tetap telanjang. Aku benar benar bisa di buat darah tinggi terus, jika menghadapi sikapnya seperti ini. "Hasan, aku mohon, pakailah bajumu, aku merasa tidak nyaman." perintahku sekali lagi. "Biarkan saja, kau kan sudah melihat segalanya sayang," ucapnya membuatku frustasi. "Hasan cukup! Aku tahu aku pernah melihatnya, tapi saat itu milikmu masih kecil, milik mu juga masih polos tanpa bulu dan ujungnya juga masih tertutup. Tapi sekarang...." ucapku dengan pipi merona merah karna malu. "Dan sekarang apa Dilla? Apa bedanya?" serunya geli. Aku terdiam, aku bingung dan melongo seperti orang gila. "Dilla, katakanlah, bedanya apa sekarang?" tanyanya lagi sambil mendekatiku. "Sekarang...." "Sekarang apa dilla?" "Coklat, panjang, mirip roti goreng." jawabku malu. Hasan tertawa dengan keras, bahkan badannya sampai ikut bergerak. Tapi fokusku bukan padanya. Melainkan pada bola kembarnya. "Astaga!! Dilla bodoh! Jangan berpikiran kotor dan jangan menatap miliknya." umpatku dalam hati. Aku memejamkan mata dan berjalan menjauhinya dengan hati hati. "Kau mau apa sayang? kenapa jalannya seperti orang buta?" tanya nya heran. "Mengambil handuk buat menutupi milikmu, percayalah Hasan, aku benar benar tidak nyaman." ucapku serius. Hasan menghampiriku dan memdekapku dengan erat."Tidak perlu memejamkan mata seperti itu, nanti kau jatuh. Baiklah, aku akan memakai handuk." ucapnya pelan. Aku merasa lega, Hasan sudah melakukan perintahku dengan baik. Aku mengajaknya makan dan memberinya obat agar sakitnya sembuh. Setelah semua perintah umi Nur terlaksana, aku mengambil tas dan berniat pulang. "Hasan, buka pintunya sekarang, aku mau pulang." pintaku memohon. "Pulang?! Siapa yang mengizinkanmu pulang?" ucapnya santai. "Hasan, ini sudah malam, kau juga sudah bertemu denganku, sekarang mau apa lagi?" tanyaku kesal. "Kau tidurlah di sini, kita menghabiskan malam bersama dan saling berbicara." ucapnya membuatku teringat saat saat dia memperkosaku dulu. Aku menjadi takut dan menolaknya dengan kasar. "Tidak!!" jawabku keras. Hasan menatapku dengan serius, dia mendekatiku dan meraih tanganku. "Sekali lagi maafkan aku dilla, aku sangat mencintaimu, mungkin kau hanya menganggapku sebagai seorang sahabat, tapi entah mengapa aku begitu sangat mencintaimu, percayalah," ucapnya lirih. "Tapi..." "Tapi apa Dilla? Apa kau tidak mau memberiku kesempatan?" tanya nya sambil menarik tanganku dan membuatku jatuh kedalam pelukannya. "Aku membencimu Hasan, kau telah menodaiku," ucapku gelisah. "Aku tahu, makanya aku ingin memperbaikinya sekarang," ucap Hasan membuatku bimbang. "Tapi..." "Tidak ada tapi tapian dilla! Kau harus jadi milikku." Ucapnya memaksa. "Tapi..." "Sssttt.. Ini sudah malam, ayo tidur," ajaknya sambil mengangkat tubuhku dan menidurkannya di ranjang. "Hasan, tapi..." "Diam!!" bentaknya dan membuatku tidak bisa berkutik. Hasan memelukku dengan erat dan mengelus elus punggungku dengan lembut. "Aku menyesal telah datang kemari." protesku lirih. "Memangnya kenapa?" tanyanya lembut. "Sebenarnya aku masih marah padamu Hasan, aku juga ingin menghindarimu," gumamku di dalam pelukannya. "Benarkah?" "Iya Hasan, bahkan aku juga berusaha untuk tidak memperdulikanmu, tapi entah mengapa kau selalu saja membuatku lemah." protesku kesal. "Itu karna kau nyaman denganku sayang. Kau marah kepadaku bukan karna aku telah menodaimu. Melainkan karna aku jauh darimu dan kau merindukan perhatianku." ucapnya sambil mengecup pucuk kepalaku. "Astaga! Sama sekali tidak." bantahku tidak suka. "Apa kau yakin?" tanya nya menggodaku. "Aku sangat yakin. Aku tidak memperdulikan dirimu, apalagi sampai merindukanmu, ih. Tidak." ucapku sambil memejamkan mata. "Tapi aku sangat merindukanmu dilla," bisiknya di telingaku. Aku pura pura tidak mendengar dan tertidur, hatiku merasa aneh. Apa yang di katakan Hasan adalah benar, Aku nyaman saat bersamanya. Kok bisa ya? Padahal aku dulu sangat membencinya. Ash.... "Hei, apa kau sudah tidur?" tanya nya sambil mengusap usap kepalaku. "Sudah." jawabku singkat. "Hem... Dilla tidak merindukanku ternyata. Astaga! Mengapa aku bisa lupa ya?! Aku kan harus menghubungi jasmin. Dia adalah gadis yang sangat aku kagumi sekarang, body nya, rambut ikal nya, mata biru nya, dan payudaranya itu benar benar sangat besar dan menggoda." ucap Hasan dan terdengar oleh telingaku. "Apa kau ingin membuatku cemburu?" tanyaku sambil membuka mata dan menatapnya tajam. "Eh, kau belum tidur? Tentu saja tidak. Jasmin memang sangat menggoda," ucapnya membuatku ingin menimpuk wajah menjengkelkannya itu. "Sudah lah! Jangan berisik. Aku mau tidur." ucapku kesal. Hasan memasukkan tangannya dan meremas payudaraku dengan pelan. Aku yang tadinya memejamkan mata langsung saja melotot. "Hasan! Apa yang kau lakukan?" tanyaku gemetar. "Mengukur milikmu dengan milik jasmin." ucapnya santai. "Kau gila ya?!" protesku sambil mendesah. "Aku memang gila, tapi setelah di pegang kayaknya lebih besar milik jasmin." ucapnya membuatku marah. "Apa kau juga pernah meremas payudaranya?!" tanyaku tidak suka. "Tentu saja." "Minggir kau!! Aku mau pulang." ucapku emosi. Hasan menatapku sambil tersenyum. Dia kembali mendekapku dengan erat. "Aku hanya bercanda manis, aku tidak pernah memegang milik siapapun kecuali milik sahabat kecilku ini." ucapnya dan langsung melumat bibirku dengan gemas. "Aku membencimu," desahku lega. "Aku mencintaimu," balasnya lembut. Akupun tertidur dengan pulas setelah beberapa jam Hasan memainkan lidah, leher, p******a serta milikku. Aku memberontaknya dengan paksa. Tapi si pemaksa itu tetap saja menang dengan cara mengikat tanganku menggunakan dasi dan kakiku menggunakan kemejanya. "Bunuh saja sekalian," desahku dan masuk ke alam mimpi. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN