> BAB LIMA <

1868 Kata
Hari yang sangat membahagiakan sekaligus menyedihkan telah tiba. Aku dan Hasan lulus dengan nilai terbaik. Tapi yang membuatku sedih adalah, Tinggal dua hari lagi Hasan pergi ke Arab dan meninggalkan aku untuk waktu yang lama. Nafsu makan ku berkurang. Meskipun semua keluarga merasa bahagia dengan nilai terbaikku, tapi tidak dengan diriku. Aku merasa sedih dan bayangan Hasan akan meninggalkanku membuatku malas buat melakukan apapun. Aku berbaring di kamar dengan perasaan tidak tenang. Tak berapa lama kemudian Bunda masuk dan duduk di samping tempat tidurku. "Sayang," Bisiknya lembut. "Hasan di bawah, ingin mengajakmu keluar." ucapnya membuatku bangkit dari tempat tidurku. "Benarkah bunda?" tanyaku bahagia. "Iya sayang, pergilah dan jangan pulang terlalu malam." ucapnya membuatku masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan badanku. Setelah selesai, aku segera turun dan menghampiri dirinya. "Kau terlihat cantik," Goda Hasan membuatku tersenyum. "Kita akan kemana?" tanyaku penasaran. "Ke danau favorit kita." ucapnya membuatku bersemangat. "Wah, ayo." ajakku antusias. Hasan menaiki taksi agar terbebas dari pandangan pak supir. Dia menarik tanganku sambil berlari. Kita ke musholla bentar karna menunaikan sholat magrib dan langsung pergi ke Danau buat naik perahu. Hasan membawaku ketengah Danau dan menjauh dari pandangan orang. "Hasan, jangan terlalu ke tengah. Aku takut." ucapku protes. "Sssttt Diamlah. Ada aku kan," ucapnya santai. "Hasan, kau akan meninggalkanku ke Arab untuk waktu yang lama. Berjanjilah agar kau tidak melupakanku." ucapku sambil menatap matanya. "Tentu saja. Aku akan selalu mengingatmu Dilla." jawabnya pelan. Hasan menatap mataku dengan tajam. Aku menjadi salah tingkah. Tiba tiba saja dia meraih tanganku dan menciuminya. "Kau ini kenapa Hasan? Jangan membuatku takut." ucapku pelan. "Aku hanya ingin memuaskan hasratku saja Dilla, sebentar lagi kita akan berpisah. Itupun buat waktu yang lama." jawabnya datar. "Iya. Tapi tidak harus cium cium tangan segala." ucapku tidak suka. "Memangnya kenapa? Kau sangat manis Dilla, Dan asal kau tahu, aku selama ini telah memendam perasaan cinta padamu." Ucapnya sambil menatapku tajam. Aku tertawa mendengar ucapannya. Aku mengacak acak rambutnya dengan gemas. "Jangan bodoh Hasan! Bercandamu sama sekali tidak lucu." gumamku sambil tertawa. Hasan meraih badanku dengan cepat. Aku benar benar terkejut. Bahkan perahu yang kami tumpangi sempat oleng dan syukurlah kami tidak jatuh. "Aku serius Dilla. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak mau berpisah denganmu." ucapnya dengan mata berkaca kaca. "Hasan. Kita masih kecil, jangan membuatku takut. Kau hanya sahabatku." jawabku ketakutan. Hasan menatap mataku dengan lekat. Tiba tiba saja dia mencium bibirku dengan ganas dan brutal. Aku berusaha memberontak. Ingatan akan ibu kandungku saat di perkosa, kembali terbayang bayang di dalam benakku. Aku tidak mau berakhir sama sepertinya. "Minggir Hasan!! Cukup." Bentakku sambil mendorongnya. "Aku memang sangat menyayangimu selama ini. Tapi hanya sebatas teman" ucapku dengan mata membulat karna emosi. Hasan tampak terkejut. Dia meraih sesuatu di dalam saku bajunya. Sebuah cairan putih entah apa itu aku tidak tahu. Dia bangkit dan mendekatiku. "Jangan bergerak! Atau perahu ini akan terbalik." ucapnya tajam. "Hasan kau?!" "Minumlah." ucapnya dan langsung memasukkan cairan putih itu kedalam mulutku dengan cepat. Hasan memaksaku buat menelannya dengan cara memencet hidungku. Karna tidak bisa bernafas maka aku segera menelannya dan bernafas melalui mulut. "Apa itu?!" tanyaku dengan mata berkaca kaca. "Hanya obat." jawabnya nakal. "Kau jangan bodoh Hasan. Aku menyesal karna mau keluar bersamamu. Tepikan perahunya sekarang." perintahku keras. "Tidak akan." ucapnya sambil berdayung dan semakin melajukan perahunya ketengah. Badanku terasa aneh. Aku merasa tubuhku memanas. "Ada apa ini?" Bathinku cemas. Sentuhan Hasan pada tubuhku benar benar membuatku merasa aneh. Setelah tiba di tengah Danau dan terhindar dari pandangan orang. Hasan mulai melepaskan pakaiannya dengan senyum sangat menakutkan. "Apa yang kau lakukan?" tanyaku gemetar. Tubuhku tiba tiba saja merasa lemas. "Aku ingin menikmati tubuh gadisku sebelum berangkat ke Arab." ucapnya dan kembali melepaskan pakaiannya. Aku gemetar ketakutan. "Jangan Hasan, aku mohon, kita bersahabat. Ingat itu, kita masih kecil." ucapku dengan bibir bergetar ketakutan. Hasan sudah telanjang sepenuhnya. Aku benar benar merasa takut. Tubuhku bereaksi sangat aneh. Bahkan baru kali ini aku merasakannya. Dia mendekatiku dan berusaha buat melepaskan pakaianku. Aku kalah dengan tenaganya. Usianya dua tahun di atasku, Dia anak laki laki pula, mana mungkin gadis berusia 11 tahun seperti aku bisa melawannya. Tubuhnya benar benar tinggi dan tenaganya sangat kuat. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Astaga, Hasan! Lepaskan." ucapku berusaha melindungi mahkotaku yang paling berharga. Tapi Hasan dengan mudahnya melepaskan pakaianku. Aku menatapnya dengan penuh kebencian. Hasan tersenyum puas. "Maafkan aku Dilla, Aku harus memuaskan hasratku sekarang atau tidak sama sekali." ucapnya dan langsung menindih tubuhku dengan kasar. Aku meneteskan air mata. Hasan benar benar tidak punya hati. Dia adalah Sahabat lelaki yang paling aku percaya. Tapi sayangnya, justru dialah yang menjadi iblisnya dan merusak semua kehormatanku. Dia semakin leluasa melihat aku menangis. Nafsunya semakin liar. Dia menciumiku habis habisan. Dia juga mulai memasukkan miliknya dengan perlahan. Aku memejamkan mata karna sangat perih. Hasan mengucapkan cinta berkali kali di telingaku. Tapi aku jijik dan benar benar sangat membenci dirinya. Setelah Hasan puas dengan perlakuaanya. Hatiku hancur, aku merasa sedih dan akhirnya pingsan. Aku sangat membenci dirinya. Kalau bukan karna Umi Nur dan juga Abi Yusuf. Aku pasti sudah melaporkannya pada polisi. flascback off. *** Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Bunda menghampiri diriku yang sedang duduk termenung di pinggir ranjang dan siap siap buat tidur. Aku menjadi salah tingkah karna sudah berulang kali menolak perintah bunda buat datang ke rumah umi Nur. "Apa kau yakin tidak mau datang nak?" tanya bunda Tia cemas. "Iya bunda, Dilla lelah, mau istirahat saja." jawabku pelan. Bunda Tia menghela nafas sambil menatapku. "Baiklah nak, bunda sama ayah pergi dulu, kau tidurlah yang nyenyak dan jangan lupa mengunci pintu, bunda tidak mau jika putri bunda satu satunya di goda pencuri," ucapnya sambil tertawa. "putri bunda harus baik baik saja dan selalu dalam keadaan suci." candanya lagi membuatku mengingat masa lalu. Bagaimana kalau bunda tahu bahwa putri kesayangannya ini sudah tidak perawan hanya gara gara hasan sialan itu. "Tidak perlu khawatir bunda, dilla bisa menjaga diri." jawabku datar. "Syukurlah kalau begitu sayang," ucap bunda dan langsung mengecup keningku mesra. "Ehem, boleh ayah masuk?" tanya seseorang sambil mengetuk pintu kamarku. Aku dan bunda sontak menoleh dan tersenyum ke arah pria yang sudah membesarkan aku itu, yaitu ayah Irwan. "Masuklah ayah, ini adalah kamar putri ayah," jawabku sambil tertawa. Ayah irwan masuk dan duduk di sampingku, tangan kekarnya mengelus elus kepalaku. "Kau tidak ikut sayang?" tanya ayah lembut. "Tidak ayah, dilla mau tidur saja." jawabku sambil menunduk. "Kenapa sayang? Apa kau sakit?" tanya ayah khawatir. "Tidak ayah. Aku baik baik saja," ucapku pelan. "Ya sudah, ayo berangkat istriku sayang, Mari kita sambut bos junior kita." ucapnya membuatku gelisah. "Kau benar sayang, dia benar benar semakin tampan, Nur baru saja mengirim fotonya Hasan saat baru turun dari pesawat." ucap bunda Tia antusias. "Astaga! benarkah? Mana coba, aku ingin lihat," ucap ayah bersemangat. Bunda segera menyalakan handphone nya dan menunjukkan pada ayah. "Ini, lihatlah," ucap bunda sambi tersenyum. "Wah... tampan sekali Tia, sebagai pria saja aku sudah merasa kagum. Bagaimana dengan wanita? Lihatlah, badannya benar benar tinggi dan sangat gagah. Aku kalah darinya, Astaga. Benarkah ini Hasan yang selalu bersama putriku dulu." ucap ayah membuatku gelisah tak menentu. "Kau benar sayang, seandainya saja aku masih belum menikah, aku pasti akan mengejar ngejarnya dan berusaha mendapatkan hatinya, dia sangat mempesona dan jauh lebih tampan di bandingkan dengan Yusuf," ucap bunda Tia semakin membuatku penasaran. "Ehem, boleh aku melihatnya?" tanyaku dengan pipi bersemu merah karna malu. Bunda dan ayah menatapku sambil tersenyum penuh arti. Aku jadi salah tingkah dan menoleh kesana dan kemari dengan gugup. "Astaga. Lihatlah suamiku yang tampan, putri cantikmu ini penasaran," ucap bunda Tia menggodaku. "Tidak! Aku hanya ingin melihat saja, kalau tidak boleh juga tidak apa apa." jawabku gugup. "Oh sayang, lihatlah. Sejak kapan putrimu jadi pemalu seperti ini." tanya bunda Tia sambil menatap ke arah ayah Irwan, Sedangkan ayah hanya tersenyum melihat bunda menggodaku. Bunda Tia kembali menatapku dan sekali lagi memaksaku. "kalau kau memang penasaran, ayo ikut bunda," ajak bunda Tia sambil mencubit hidungku gemas. "Hoam... Aku mengantuk, aku tidur ya," ucapku dan langsung bersembunyi di balik selimut. Bunda dan ayah saling berbisik yang tidak aku ketahui apa itu. Setelahnya mereka pergi dan keluar meninggalkan kamarku dengan langkah perlahan lahan. Aku bergetar ketakutan, berbagai pikiran buruk hinggap di pikiranku. Bagaimana kalau dia memerkosaku lagi? Apakah dia masih mengingatku?! Semoga saja tidak. Bagaimanapun juga aku tidak perduli. Aku sangat membenci kelakukan bejatnya itu. °°°°°°°°°°°°° "Dilla, cepat turun." teriak bunda membuat telingaku berdengung. "Astaga, sifat cerewetnya tidak pernah hilang!" protesku kesal. "iya bunda, tunggu sebentar." jawabku sambil merapikan riasanku. Aku turun kebawah dengan cepat. Aku memakan makanan yang sudah tersedia di meja. Bunda menghampiriku dengan membawa map berwarna merah di tangannya. "Sayang, ayahmu memang sangat teledor. Dia meninggalkan berkas penting ini di meja, tolong antarkan ya nak, bunda tidak mau gara gara ayahmu, sahabat bunda kesulitan," ucapnya kesal. "Maksud bunda abi Yusuf." ucapku datar. "Iya nak, kamu mau kan?" tanya bunda khawatir. "Tapi..." ucapku ragu ragu. "Tapi apa nak? kamu harus antar. andaikan saja hasan tidak sakit, pasti bunda sudah suruh dia mengambil berkas ini dan membawanya ke kantor." ucap bunda pelan. "Baiklah bunda, hasan sakit kan? karna Hasan sakit, biar dilla yang antar ke kantor," ucapku lega. Aku tadi sempat keberatan karna malas jika sampai bertemu dengan Hasan. Berhubung dia tidak berada di kantor, aku pasti akan datang ayahku sayang, "Anak yang pintar, makasih sayang," ucap bunda tersenyum. Aku segera menyelesaikan makan ku dengan cepat dan bersiap menuju kantor. Tak berapa lama kemudian, terdengar pintu ruang tamu di ketuk oleh seseorang, Bunda berdiri dan menghampiri pintu ruang tamu buat membukanya. "Hasan! Kau di sini nak?!" seru bunda membuat jantungku serasa jatuh kedasar perut. "HASAN!! DIA DISINI?!" Pekikku tertahan. Aku benar benar merasa gugup. Apa yang harus aku lakukan sekarang?! Apakah aku harus kabur?! Tapi kemana?? Bunda pasti akan merasa curiga padaku dan bertanya tentang sesuatu yang tidak ingin aku jawab. Lagipula kenapa Hasan harus ada di sini sih?! Bukankah dia sakit?! Sial. "Iya bunda, Hasan di suruh Abi buat mengambil berkas yang tertinggal." ucapnya dengan suara serak. "Baiklah nak, Tapi bukankah kau sakit, tampan?" tanya bunda pelan. "Hasan sudah tidak apa apa bunda." ucapnya singkat. "Astaga! Masuklah, Bunda terlalu terkejut." perintah bunda sambil tertawa. Aduh!! Bagaimana ini?! Jantungku serasa mau lepas. Keringat dingin membasahi dahiku. Apa yang harus aku lakukan?! "Dilla, kemarilah nak, lihat siapa yang datang." panggil bunda membuatku gemetar. Aku memejamkan mataku dan menghela nafas dengan pelan. Aku berusaha menghilangkan perasaan gugupku dan berusaha bersikap santai. Huft..... "Dilla," panggil bunda sekali lagi. "Iya bunda, dilla datang," gumamku pelan. Seorang pria dengan sinar mata yang tajam, rahang yang kokoh, hidung yang mancung di sertai bibir yang sexsi itu tengah menatapku dengan serius. Dia benar benar terlihat sangat gagah sekaligus menakutkan. Benar apa yang di katakan bunda dan ayah. Dia sangat tampan. "Dilla, bagaimana kabarmu?" tanyanya sambil mengulurkan tangan. Aku menatap bunda dengan malas. "Bunda! Berhubung dia sudah ada di sini, dilla pergi dulu ya." ucapku dan langsung keluar dari rumah tanpa membalas uluran bahkan ucapan Hasan. Aku menaiki sepeda motorku dengan cepat dan berusaha kabur dari suasana yang mampu membuat hatiku serasa mau meledak karna gugup sekaligus muak. Astaga!! Dia semakin dewasa dan tumbuh dengan begitu tampannya. Tapi aku tidak mengaguminya. Tidak sama sekali!! Tidak!! *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN