''Dengan Eleena Mahendra?''
Seorang pria mendatangi Eleena saat dia sedang kebingungan mencari arah kantor Abimanyu yang dikatakan oleh Resepsionis. Wanita itu menatap pria yang memakai jas lengkap di depannya, mengangguk dengan kaku. ''I-iya, saya Eleena,'' jawab Elena.
Takut, khawatir, dan malu, semuanya menjadi satu dalam dirinya.
''Saya sekretaris Pak Abimanyu, beliau menyuruh saya mengantarkan Anda ke ruang tunggu selagi Pak Abi sedang rapat,'' ujar sekretaris Abimanyu pada Eleena.
Eleena mengikuti pria itu masuk ke sebuah ruangan besar dan elegan. Bibirnya menganga, terpukau dengan kemewahan ruangan itu. Eleena ingat bahwa dulu dia pernah ikut ke perusahaan ayahnya dan ruangan ayahnya di perusahaan bahkan tidak sebesar yang dia lihat sekarang.
''Silakan duduk di sana!'' titah sekretaris Abimanyu, menunjuk sebuah sofa panjang yang membentuk huruf L besar. Ada tanaman hias yang diletakkan di dua sudut ruangan, tidak lupa dengan lukisan mewah dan elegan di dindingnya. Sekretaris Abimanyu pergi setelah itu.
Duduk di sofa empuk itu, tatapan Eleena mengedar, memperhatikan setiap sudut ruangan yang menakjubkan. Setelah kepergian sekretaris Abimanyu, OB pun datang, membawa nampan yang di atasnya terdapat jus dan camilan kecil.
''Silakan di makan, Bu!'' Setelah itu OB itu keluar dari ruangan.
Eleena mengambil camilan di meja, merasa puas dengan layanan yang dia dapatkan. Setelah menghabiskan segelas jus dan sepiring camilan hingga perut Eleena pengap karena kekenyangan, pintu kaca ruangan tiba-tiba terbuka, membuat Eleena sontak menegakkan tubuhnya dengan gugup–melihat siapa yang masuk.
Abimanyu melihat seorang wanita yang sedang menatapnya dengan mulut ternganga. Membuat pria itu tanpa sadar menahan tawa karena ekspresi Eleena. Abimanyu pun berjalan dengan kaki jenjangnya, duduk di sofa yang berseberangan dengan Eleena.
''Nona Eleena?''
Panggilan Abimanyu membuyarkan lamunannya. Eleena menatap Abimanyu dengan gelagapan, Kata-kata yang sebelumnya telah dia susun untuk disampaikan pada Abimanyu tiba-tiba saja menghilang dari otak Eleena.
''Sa-saya mau Bapak tanggung jawab!'' Pada akhirnya, itulah yang keluar dari bibir Eleena.
Abimanyu mengangkat alisnya, menatap Eleena seolah dia tidak mengerti dengan apa yang Eleena katakan. ''Tanggung jawab untuk apa?'' tanya Abimanyu.
''I-itu, malam itu saya masih perawan!'' Wajahnya memerah, dia sangat ingin menggali tanah dan mengubur dirinya hidup-hidup. Eleena bahkan tidak berani menatap wajah Abimanyu lagi.
''Apa hubungan keperawanan kamu dengan saya?'' tanya Abimanyu, masih berpura-pura tidak mengerti.
Sesaat, Eleena bertanya-tanya apakah dia salah menemui orang? Apakah malam itu bukan Abimanyu yang bersamanya? Tapi kartu nama yang dia ambil itu jelas milik pria yang ada di hadapannya saat ini. ''Malam itu … Bapak enggak lupa, kan?'' tanya Eleena, memastikan.
Senyum tiba-tiba muncul di bibir sexy Abimanyu, dia menatap Eleena seperti tertarik. ''Ah, waktu di bar dan kamu ngajak saya–”
''Hus! Hus! Hus!'' Eleena menyela perkataan Abimanyu yang membuat rasa malunya mencapai ubun-ubun. ''Enggak usah di sebutin juga kali.''
Abimanyu tiba-tiba tertawa keras, matanya menyipit, Eleena merasa bahwa panah cinta menembus hatinya melihat wajah tampan yang terbahak-bahak itu. Setelah puas tertawa, dia berdehem, menampilkan senyum miring dan bertanya pada Eleena, ''Lalu, apa yang kamu mau?''
Eleena menghela nafas lega ketika akhirnya Abimanyu langsung pada intinya. Jemari Eleena bertaut, terlihat sangat gugup. ''Saya, saya mau Bapak menikahi saya,'' ucap Eleena dengan jantung berdebar.
“Gila, gila kamu Eleena.” Eleena terus mengutuk dirinya sendiri di dalam hati.
Abimanyu tertegun mendengar apa yang gadis itu katakan. Wajahnya berubah menjadi sangat serius, matanya menatap Eleena dengan tajam. ''Istri? Apa kamu enggak tau rumor tentang saya di luar sana?''
Wanita itu mengangguk dengan kaku. ''Saya tau. Saya tau Bapak punya anak, saya tau Bapak pernah menikah tiga kali. Saya enggak takut sama rumor kaya gitu karena menurut saya enggak ada manusia pembawa sial,'' ujar Eleena dengan gugup, dia hampir saja kencing di celana karena merasakan tatapan Abimanyu yang begitu tajam.
''Nona Eleena,'' panggil Abimanyu dengan suara serius. ''Minta apa pun, tapi untuk itu, saya tidak bisa mengabulkannya.''
Tangan Eleena berkeringat dingin, tubuhnya gemetar karena malu dan khawatir. Sebenarnya, dia bisa saja meminta uang langsung pada Abimanyu. Akan tetapi, pengobatan neneknya membutuhkan waktu yang cukup lama, dia butuh uang yang bisa dia dapatkan dalam jangka panjang. Bukannya Eleena tidak bisa mendapatkan uang dari pekerjaannya, hanya saja gajinya bahkan tidak setengah dari biaya operasi neneknya.
Eleena tahu bahwa apa yang dia inginkan adalah hal mustahil. Siapa juga yang mau menikahi perempuan asing yang tiba-tiba datang ke tempat kerjanya hanya karena cinta satu malam. Menghela nafas, Eleena bangkit berdiri dari sofa, membungkuk dengan sopan pada Abimanyu. ''Kalau gitu saya pergi dulu, Pak. Terima kasih sadah meluangkan waktu Bapak untuk saya.'' Setelah itu Eleena hendak melangkah pergi dari sana.
Abimanyu mengerutkan kening melihat Eleena yang menyerah begitu saja dan hendak pergi. Dia berdiri, mencekal lengan Eleena dan berkata, ''Oke.''
Kaget, Eleena lantas berbalik menatap Abimanyu. ''Maksudnya?''
Tiba-tiba ingatan Abimanyu seketika tertarik jauh ke belakang saat melihat wajah penuh keterkejutan Eleena yang mirip dengan seseorang dari masa kecilnya.
''Ayo menikah!'' ajak pria itu sambil menatap mata Eleena yang membulat.
Abimanyu termenung, sekelebat ingatan terlintas di benaknya.
''Kalau udah gede nanti, aku mau nikah sama Kakak!''
''Kalau kamu gede nanti, itu berarti Kakak udah tua.''
''Biarin, wle!''
''Pak?'' Eleena mengibaskan tangannya di depan Abimanyu, tidak tahu mengapa pria itu tiba-tiba menatapnya sambil melamun.
Abimanyu menggelengkan kepala, menghilangkan ingatan masa lalu dari benaknya.
''Bapak serius mau nikah sama saya?'' tanya Eleena memastikan.
''Hmm …,'' jawab Abimanyu dengan singkat
Bibir Eleena tertarik ke atas, membentuk lengkungan yang membuat matanya ikut menyipit. ''Makasih, Pak!'' ucap Eleena sambil membungkukkan kepalanya.
''Oke, kalau gitu–”' Kalimat Abimanyu terhenti saat suara getaran ponsel berbunyi.
Eleena merogoh tasnya ketika merasa bahwa ponselnya berbunyi. Dia melihatnya yang ternyata itu adalah pesan dari kekasih. Ralat–mantan kekasihnya.
Keanu: Sayang, kita jadi liburan besok? Aku udah kosongin jadwal aku buat kamu.
Eleena pun merinding jijik melihat pesan yang Keanu kirimkan, dia juga lupa untuk menghapus dan memblokir nomor ponsel pria itu.
Melihat Eleena yang terus sibuk dengan ponselnya, Abimanyu menatap dengan ekspresi gelap. Dia diam-diam menebak bahwa kemungkinan besar itu adalah pesan dari kekasih Eleena.
''Kamu bilang kalau kamu mau jadi istri saya, tapi kenapa kamu masih berhubungan sama pria lain?'' Pertanyaan yang dilontarkan Abimanyu mengagetkan Eleena, dia tidak menyangka jika Abimanyu akan mengatakan itu.
''Saya lagi menghapus nomor mantan pacar saya, Pak.'' Eleena buru-buru menjelaskan.
Kepala Abimanyu mengangguk dengan ekspresi puas. ''Kalau gitu kamu pulang, biar sopir saya yang antar kamu. Soal pernikahan, saya akan menghubungi kamu lagi besok.''
''Saya bisa pulang sendiri kok, Pak!'' Eleena menolak dengan perasaan tidak enak.
''Kalau kamu mau jadi istri saya, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah menuruti apa yang saya katakan,'' ujar Abimanyu dengan tegas.
Eleena tanpa sadar menganggukkan kepalanya.
***
''Menurut kamu, kenapa dia tiba-tiba mengajak saya menikah?'' tanya Abimanyu pada Leon–sekretarisnya selepas Eleena pergi dari ruangannya.
''Nenek dari wanita itu kini sedang menderita kanker, kemungkinan besar dia sedang butuh banyak uang, Tuan,'' ujar Leon menjelaskan dari apa yang dia ketahui. Ya, Leon memang mendapatkan perintah dari Abimanyu untuk menyelidiki wanita yang menghabiskan malam dengannya.
Abimanyu pun mengangguk-anggukkan kepala, manik mata hitamnya menatap sebuah bingkai yang berisikan foto seorang gadis kecil berusia sekitar sembilan tahun.