Episode 6

1644 Kata
Vina yang baru kembali dari warung, saat melihat ada sebuah gerobak bakso di depan rumahnya. Ternyata ayahnya serius saat mengatakan bahwa dirinya ingin berjualan bakso keliling. Vina memandangi gerobak bakso itu dengan seksama. Gerobak bakso ayahnya ini terlihat rapi dan fungsional. Terbuat dari aluminium yang jauh lebih ringan dan juga dilengkapi dengan tabung gas dan kompor. Di bagian atasnya terdapat sebuah etalase kecil yang berfungsi untuk menyimpan berbagai macam bumbu. Seperti kecap manis, saos, sambal dan yang lainnya. Di bagian steling kaca atas, difungsikan untuk menyusun bahan baku bakso sehingga lebih menarik oleh pembeli. Secara keseluruhan gerobak bakso ini fungsional dan sempurna. Masalahnya Vina tidak tega membayangkan, ayahnya yang dulunya berpenampilan rapi dan necis, harus mengendarai gerobak bakso bermotor untuk berjualan seperti ini. Bayangkan saja, dulu ayahnya mempunyai 8 gerai bakso terkenal. Nama bakso Pak Kumis sudah menjadi jaminan mutu. Bakso buatan ayahnya memang gurih dan lezat. Karena ayahnya mencampurkan daging dan tepung dengan takaran yang sesuai. Tidak seperti penjual lainnya, yang hanya mencampurkan daging sepersekian dalam baksonya. Sehingga kalau dimakan nyaris terasa mengunyah tepung bakso alih-alih daging bakso. Oleh karena itu bakso-bakso mereka sangat terkenal. Terkadang ada pelanggan yang hanya membeli bakso mentah untuk dimasak di rumah. Bakso-bakso mereka lagu keras setiap harinya. Dan ayahnya, Ramli Hadinata terkenal sebagai seorang juragan bakso. Banyak pelanggan yang sudah mengenal ayahnya. Walaupun tidak kaya sekali, tetapi ke mana-mana ayahnya disopiri oleh Mang Pardu. Atau minimal mengendarai mobilnya sendiri. Kehidupan mereka dulunya lebih dari mapan. Sebelum badai yang berwujud kakaknya yang bercerai dengan Reyhan dan gemar berjudi, membuat keuangan keluarga mereka goyah. Puncaknya adalah kemunculan monster yang berwujud Ghifari Albani yang menghancurkan semua usaha mereka, hanya karena ingin membalas dendam atas perbuatan jahat kakaknya. Mereka yang tidak tahu apa-apa harus terkena imbas perbuatan Dina. "Bagaimana menurutmu, Vin? Bagus tidak gerobak bakso, Ayah?" Pak Ramli muncul dari balik pintu. Sebenarnya ia sudah berdiri cukup lama di belakang pintu. Tetapi ia sengaja belum menampakan diri, karena ia ingin menenangkan hatinya terlebih dahulu. Ia tidak boleh terlihat sedih di depan putri bungsunya. Istimewa ia melihat air muka putri bungsunya itu begitu merana. Pasti putrinya ini merasa sedih dengan keadaan mereka sekarang. Dan dirinya sebagai ayah sekaligus kepala keluarga, berkewajiban untuk menenangkan hati putrinya. Walaupun sesungguhnya ia sendiri juga tengah terpuruk. Tetapi ia harus tetap semangat. Ia tidak ingin ikut-ikutan sedih, sehingga membuat putrinya semakin down. "Bagus, Yah. Hanya saja, apa ayah bisa mengendarainya? Membawa motor dengan gerobak itu berbeda dengan mengendarai motor biasa lo, Yah? Keseimbangannya sangat jauh berbeda." "Ayah tahu, Vin. Karena itulah sebelum Ayah berani memesan gerobak ini, Ayah sudah lebih dulu belajar mengendarai gerobak buburnya Pak Dudung. Ayah sudah belajar dua hari lalu. Dan kata Pak Dudung, Ayah lulus dengan baik. Ayah hebat 'kan, Vin?" Pak Ramli tertawa bangga. Ia menaikturunkan alisnya dengan jenaka. "Iya, Ayah hebat. Ayah bisa menjadi apa saja," ucap Vina dengan suara tersendat. Ia tahu kalau sesungguhnya ayahnya juga tidak baik-baik saja. Kelelahan dan tekanan batin telah membuat wajah ayahnya semakin menua. Kantung mata yang menurun, dengan dua bercak hitam di bawah mata, sudah menjelaskan bahwa ayahnya kurang tidur. Selain karena semalaman kakaknya terus berteriak-teriak histeris, pasti juga karena ayahnya banyak pikiran. Namun ayahnya tetap menampilkan air muka yang ceria. Ayahnya memang hebat! "The power of kepepet, Nak. Kalau kita telah berada di titik seperti ini, kita akan semakin kreatif dengan sendirinya. Otak manusia itu kan luar biasa, kalau dipaksa. Jadi kamu tidak usah terlalu mengkhawatirkan Ayah ya, Nak? Ayahmu ini hebat kayak Rangers merah. Rangers merah yang sudah alot maksudnya." Ayahnya kembali tertawa. "Iya, Yah. Vina paham kok. Ayah memang hebat." Vina mengacungkan jempolnya. Ayahnya berbohong, untuk menenangkannya. Dan ia juga berbohong. Untuk membuat ayahnya percaya, kalau ia sudah tenang. Menyedihkan. Sejurus kemudian, terlihat ibunya keluar dari rumah dengan dandanan rapi. Sebuah tas tergantung di bahu ibunya. Vina heran, mau ke mana ibunya pagi-pagi seperti ini? Apalagi ibunya tampak tergesa-gesa. "Ibu sudah siap, Yah. Ayo kita berangkat. Vina sudah pulang kan?" "Ayo, Bu. Ayah juga sudah siap kok. Kita naik motor ini saja, sebelum motornya ayah gandeng dengan gerobak besok pagi. Kita buat kenang-kenangan dulu dengan si jago ya, Bu?" Seperti inilah ayahnya. Ia selalu menyikapi sesuatu dengan humor. Si jago ini sebenarnya adalah motor yang digunakan oleh Mang Pardi, supir mereka dulu. Mang Pardi menggunakan motor ini sebagai alat transportasinya pulang pergi. Mang Pardi telah mereka rumahkan sekitar dua minggu lalu. Mobil mereka sudah dijual. Tentu saja kehadiran Mang Pardi sebagai sopir sudah tidak dibutuhkan lagi. Ayahnya telah memberikan pesangon yang pantas untuk Mang Pardi. Sebagai tanda jasa dan pengabdian Mang Pardi selama ini. Hebatnya lagi saat ayahnya memberikan motor tua ini kepada Mang Pardi, si mamang menolaknya. Mang Pardi mengatakan kalau ia telah membeli sebuah motor baru. Jadi dia tidak membutuhkan motor ini lagi. Pada waktu itu mata ayahnya berkaca-kaca. Karena ayahnya tahu bahwa Mang Pardi mengatakan itu semua demi menjaga harga dirinya. Mang Pardi tahu bahwa ayahnya sangat membutuhkan alat transportasi saat ini. Makanya ia menolak diberi motor tua ini. Namun cara Mang Pardi sangat keren. Ia menolak. Namun Ia tetap menjaga harga diri ayahnya. "Ibu dan Ayah mau ke mana pagi-pagi begini?" Vina Menghadang langkah kedua orangtuanya yang bersiap-siap naik ke atas motor. "Ibu dan Ayah mau ke rumah Kak Linda, Vin." "Kak Linda? Kak Linda rentenir itu maksud ibu?" Mendengar ibunya ingin bertemu dengan seorang rentenir, satu pemikiran memasuki benak Vina. Ditambah dengan anggukan kepala ibunya, semakin Yakinlah Vina akan sesuatu. Jangan... "Jangan bilang kalau ibu ingin meminjam uang panas pada Kak Linda ya? Ibu tahu 'kan kalau Kak Linda gila-gilaan menentukan suku bunga?" tandas Vina lagi. "Ibu bukan ingin meminjam uang, Vin. Tapi Ibu ingin menggadaikan cincin ini." Dengan apa boleh buat Bu Misna mengatakan hal yang sebenarnya. Ia sudah kehabisan alasan untuk membohongi Vina. Anak bungsunya ini sangat cerdik. Ia pasti sudah melihat kejanggalan-kejanggalan didirinya. "Hah, Ibu ingin menggadaikan cincin pernikahan Ibu dan Ayah? Jangan dong Yah, Bu. Itu 'kan kenang-kenangan pernikahan Ayah dan Ibu." Vina membelalakkan mata. Ia tidak habis pikir mengapa kedua orang tuanya ingin menggadaikan cincin pernikahan bersejarah mereka. "Tidak apa-apa, Vin. Kita membutuhkan uang untuk biaya terapi dan obat penenang kakakmu. Kamu lihat sendiri 'kan, bagaimana kakakmu semalaman histeris terus?" tutur Bu Misna pelan. Sebenarnya Ia juga sangat berat menjual cincin belah rotan pernikahannya ini. Namun kesehatan mental dan spiritual putrinya lebih penting dari arti sebuah cincin. Dina sedang sakit dan membutuhkan pertolongan dengan segera. "Iya Vin, tidak apa-apa. Kalau ada rezeki, nanti akan segera Ayah tebus cincinnya. Kalaupun tidak, Ayah yakin pasti akan ada rezeki yang lain. Saat ada rezeki berlebih nanti, Ayah akan membeli cincin pernikahan yang baru dengan ibumu. Cincin yang mahal dengan berlian segede bakso kalau perlu. Kamu tidak usah khawatir ya, Vin? Semuanya telah Ayah dan Ibumu pikirkan dengan baik. Kami akan prioritaskan dulu mana hal-hal yang lebih penting." "Ya sudah, kalau menurut Ayah dan Ibu begitu," Vina mengalah. Walau menyayangkan keputusan kedua orang tuanya, namun ia tahu kalau mereka benar. Dirinya melarang pun tidak ada solusi. Karena ia juga sudah tidak memiliki simpanan dana lagi. Gaji terakhirnya telah ia gunakan untuk membayar kontrakan. "Kakakmu masih tidur, Vin. Ibu minta tolong, jaga kakakmu baik-baik ya? Jangan sampai membiarkannya keluar rumah seorang diri." Vina mengangguk. Ia bisa apa lagi. "Tapi sepertinya kakakmu tidurnya akan lama. Kakakmu baru tidur menjelang subuh, Vin. Kalau ia belum bangun biarkan saja ya?" Vina kembali mengangguk. Sesungguhnya ia juga masih ingin melanjutkan tidurnya. Karena kemarin ia juga tidak bisa tidur. Jeritan histeris kakaknya di dalam kamar, tidak mungkin tidak ia dengar. Apalagi ia tidur di sofa panjang ruang tamu. Suara teriakan kakaknya nyaring terdengar. Bahkan nyaris terasa di samping telinganya. Baru saja kedua orang tuanya berlalu, Pak Dudung pulang dengan mengendarai gerobak buburnya. Itu artinya dagangan Pak Dudung sudah habis. Pak Dudung memang hanya berjualan bubur di pagi hari. Siang harinya Pak Dudung akan berjualan mie ayam hingga malam, atau sampai habis. Saat melihat gerobak bubur Pak Dudung yang telah kosong, Vina tiba-tiba mendapatkan satu ide. Dia ingin belajar mengendarai gerobak bubur. Selama ini selain mengendarai mobil, ia juga mumpuni dalam menggendarai motor. Namun ia tidak pernah mengendarai motor yang diberi gerobak di atasnya. Ia ingin belajar mumpung ini hari Minggu dan ia tidak bekerja. Siapa tahu suatu hari ayahnya tidak bisa berjualan entah karena sakit atau hal apapun, maka ia akan bisa menggantikan berjualan. Dan setengah jam berikutnya, ia telah mahir keliling-keliling pekarangan rumah dengan mengendarai gerobak bubur Pak Dudung. Pak Dudung bertepuk tangan keras. Dia mengatakan bahwa dirinya adalah benar-benar titisan Pak Ramli. Yang cepat sekali dalam mempelajari apa saja, dan tidak pernah malu melakukan apa saja. Pak Dudung tahu bahwa sebelumnya ekonomi keluarga mereka cukup mapan. Pak Dudung dulu sering membeli bakso Pak Kumis, dan beberapa kali bertemu dengan ayahnya. *** Vina lelentukan saat menunggu nama kakaknya dipanggil. Saat ini ia tengah duduk di kursi panjang apotik rumah sakit, untuk menebus resep obat. Ia lelah dan mengantuk sekali. Sejuknya pendingin udara membuatnya serasa ingin memejamkan mata saja. Sudah beberapa hari ini depresi kakaknya kian menjadi-jadi. Setiap malam kakaknya akan menjerit-jerit histeris, atau menceracau sepanjang malam. Dan pada siang harilah kakaknya akan tidur pulas. Kakaknya menjadikan siang seperti malam. Demikian sebaliknya. Dan yang paling merana tentu saja dirinya dan sang ayah. Ia harus bekerja, sementara ayahnya harus berjualan bakso dengan berkeliling di kompleks perumahan. Obat penenang kakaknya tidak boleh habis. Kalau habis, kakaknya akan mengamuk tidak terkendali. Dan malam ini, ia kebagian menebus resep obat kakaknya, sementara ibunya menemani kakaknya berkonsultasi sekaligus terapi. Dan biasanya kedua hal itu memakan waktu yang cukup lama. Padahal ia baru saja pulang bekerja. Ia bahkan belum sempat mandi dan mengisi perut. Tetapi mau bagaimana lagi. Tidak mungkin ia membiarkan ibunya membawa kakaknya sendirian ke rumah sakit. Karena ayahnya belum pulang berjualan. Mungkin dagangan ayahnya belum habis. "Vin, ngapain kamu di sini?" Panggilan berikut tepukan pelan di bahunya, sontak membuat Vina terjaga. Reyhan Kawilarang. Mantan suami kakaknya dan Rajata, atasannya! Oh Tuhan, drama apalagi ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN