05. Berbaur Dengan Manusia

908 Kata
Cahaya yang begitu terang benderang menerpa wajah cantik Vanilla dan membuat gadis itu mengerang pelan dan membuka perlahan kedua kelopak matanya. Vanilla bangun dan duduk di hamparan pasir, nyawanya baru saja terkumpul setengah. Vanilla kembali mengucek-ngucek matanya dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. 'Ah, aku kelelahan saat berenang dan tertidur di tepi laut,' batin Vanilla ketika sudah sadar sepenuhnya. Vanilla berdiri dan pada saat itu juga ia sadar kalau ekornya telah berganti menjadi sepasang kaki manusia. Vanilla terpekik girang, berdiri dan menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Dengan bahagia ia melompat-lompat merasakan kedua kaki barunya. Ah, jadi seperti ini rasanya memiliki sebuah kaki. Tanpa Vanilla sadari, sepasang mata menatapnya sejak tadi dengan dahi mengernyit heran. Orang yang menatap Vanilla tadi pun menghampiri gadis yang tampak aneh di matanya itu. “Hey!” Vanilla menoleh, menatap orang yang baru saja menyapanya. Dalam hati Vanilla menerka-nerka, makhluk apa yang sedang mengajaknya berbicara. Makhluk immortal ataukah manusia? “Kau baik-baik saja?” tanya pemuda yang kini berdiri di depannya. “Ah, aku baik-baik saja.” Vanilla membalas sambil tersenyum. Sebisa mungkin ia meredakan keantusiasannya dengan dunia yang baru saja ia datangi. Pemuda itu melihat senyuman maut Vanilla hanya bisa terdiam sambil meneguk air liurnya sendiri. Gadis di depannya sangat cantik, batinnya terkagum-kagum. “Aku Elios,” pemuda itu memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangannya. Dengan senang hati Vanilla membalas uluran tangan pemuda yang menurutnya tampan itu. “Vanilla.” Elios tersenyum dengan lebar. “Nama yang manis, seperti orangnya,” goda Elios. Vanilla hanya bisa tersenyum malu-malu menanggapi ucapan pemuda bernama Elios itu. “Terima kasih.” “Kau siapa?” tanya Vanilla dengan ambigu. Elios mengernyitkan dahinya tidak mengerti. “Apa maksudmu?” Vanilla mengerjap beberapa kali dan kemudian tersenyum malu. “Abaikan ucapanku barusan.” Vanilla menggaruk kepalanya yang tidak gatal Elios menganguk walau wajahnya masih terlihat bingung. “Apa hari ini kau mau menemaniku? Ini adalah hari terakhirku di kota ini, karena libur kuliahku akan segera berakhir,” ujar dan pinta Elios. “Apa itu kuliah?” Vanilla bertanya dengan heran. “Kau tidak tahu apa itu kuliah?” tanya Elios tidak percaya. Vanilla hanya mengangguk polos. Ingin rasanya Elios mencubit pipi tembam Vanilla saking gemasnya dengan tingkah gadis itu. “Kuliah itu sama seperti sekolah, tapi bedanya kuliah itu berada di tingkat akhir,” jelas Elios. Vanilla mengangguk paham. Di laut juga ada sekolah tapi namanya bukan kuliah, di negerinya juga ada kelas para bangsawan dan hanya ada beberapa kali pertemuan tiap bulannya. “Kau menginap di mana?” tanya Elios, memandang wajah cantik Vanilla. Vanilla memikirkan jawaban dari pertanyaan Elios, tidak mungkin ia menjawab kalau sejak kemarin ia tertidur di tepi pantai ini. Sangat tidak lucu sekali! “Haruskah aku beritahu?” tanya Vanilla balik, ragu-ragu. Elios tersenyum dan menggeleng. “Tidak diberitahu juga tidak apa,” balasnya enteng sambil mengedikkan bahu. Vanilla hanya tersenyum kecil, tapi kemudian pipinya bersemu merah saat perutnya berbunyi dan itu terdengar sangat jelas. Dia yakin Elios mendengar suara perutnya, cacing-cacing di perutnya sudah berdemo. Astaga, Vanilla sangat lapar sekarang! Terakhir ia makan kemarin siang! Elios tertawa melihat wajah Vanilla yang merona karena malu. “Ayo kita cari makanan,” ajak Elios dengan semangat. Vanilla mengangguk dan ia pun mengikuti Elios. Sebenarnya Vanilla juga merasakan tidak enak pada Elios, tapi bagaimana pun juga is memang lapar.  Mereka berdua tiba di sebuah restoran cepat saji dan Elios membawa Vanilla duduk di sudut dekat jendela restoran tersebut yang menyajikan pemandangan jalanan yang penuh dan gedung-gedung yang bertingkat. “Kau ingin makan apa?” tanya Elios sembari melirik ke buku menu. Vanilla sekarang bingung, ia tidak tahu manahu tentang makanan di darat. Biasanya ia selalu makan ikan mentah di Istana. “Hm, samakan saja denganmu,” ujar Vanilla akhirnya. Elios mengangguk dan berjalan ke tempat order makanan dan memesan makanan mereka. Sekitar lima menit menunggu, Elios pun kembali ke mejanya bersama Vanilla dengan membawa dua buah roti isi, seporsi spaghetti dan dua buah kaleng coca cola. “Makanlah,” titah Elios sambil menyodorkan roti isi ke hadapan Vanilla. Vanilla mengambil roti isi yang telah Elios buka dari bungkusnya. Vanilla mencoba roti isi itu dengan gigitan kecil, jelas ia masih merasa ragu dengan makanan manusia di sini.  Matanya melotot saat mulutnya telah mengunyah dengan sempurna roti isi itu, rasanya sangat lezat! Bahkan lebih enak dari pada ikan-ikan mentah yang ada di laut. Tekstur makanan itu sangat lembut. Elios terkekeh melihat Vanilla yang makan sangat lahap. “Hei, pelan-pelan, nanti tersedak.” Elios mempertingati. Vanilla hanya tersenyum malu lalu memelankan kunyahan di mulutnya. “Kau lapar atau suka?” tanya Elios, menyeringai kecil. “Dua-duanya,” balas Vanilla sambil tersenyum polos. “Apa aku boleh memakan itu?” tanya Vanilla malu-malu sambil menunjuk piring yang berisi spaghetti. Elios tersenyum kecil dan mendorong piring spaghetti itu tepat di hadapan Vanilla. Vanilla tersenyum lebar, kemudian ia ambil garpu dan melilitkan spaghetti itu dan mulai menyuapkan spaghetti itu ke mulutnya. Demi Dewa Neptunus! Makanan di dunia manusia sangat enak! Vanilla sangat menyukainya! Vanilla beramsumsi bahwa pemuda di depannya ini adalah seorang manusia, makhluk fana. Bukan seperti dirinya yang merupakan makhluk immortal, dan Vanilla senang bisa bertemu dengan Elios yang merupakan orang baik. “Kau belum makan berapa bulan, huh?” tanya Elios sambil tertawa renyah. Vanilla benar-benar sukses membuatnya tertawa beberapa kali. “Sejak kemarin aku belum makan,” jawab Vanilla polos dan terdengar sangat jujur. Aduh, kini Elios benar-benar gemas terhadap Vanilla yang begitu polos dan sangat jujur. “Apa ini bisa diminum?” tanya Vanilla sambil menunjuk Coca cola di depannya. Elios mengangguk. “Tentu saja bisa.” Elios memasukkan sedotan ke dalam kaleng coca cola itu dan menyuruh Vanilla menyeruput minuman itu. Vanilla meneguk minuman yang ia tak tahu apa namanya itu pun dengan banyak. Sedetik kemudian matanya membola dan lidahnya berdecak tidak suka. Vanilla menjauhkan coca cola itu dan meletakkannya kembali ke meja makan. Elios hanya memperhatikan wajah Vanilla yang mengerut lucu menatap minuman coca cola, ia tengah menanti respon polos Vanilla selanjutnya. “Minuman jenis apa ini? Kenapa seperti menggigit lidahku?” kesal Vanilla, menjauhkan minuman aneh itu dari jangkauannya. “Aku tidak suka minuman ini,” lanjut Vanilla. Elios tertawa. Ya ampun, Vanilla seperti orang yang tidak pernah meminum cola saja. “Ini coca cola.” Elios memberitahu. Vanilla memangut-mangut paham lalu kembali berdecak pelan. “Nama minumannya aneh, pantas saja rasanya tidak enak,” ujar Vanilla akhirnya, sekali lagi Elios tergelak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN