14. Di Luar Batas

1562 Kata
Hari ke dua di rumah Ares, Jani bangun cukup pagi. Ketika Jani turun ke lantai bawah, keadaan rumah benar-benar sepi. Hanya ada suara-suara dari arah belakang, area paviliun yang ditempati oleh asisten rumah tangga keluarga Hadinata tersebut.   Jani mengintip dari pintu yang menghubungkan paviliun dengan rumah utama. Terlihat Bi Rominah, Mbak Imah, Mang Adun dan Pak Toto sedang duduk berkumpul di teras paviliun. Keempatnya sedang mengobrol sambil menyantap sarapan berupa gorengan dan teh hangat sebelum memulai hari.   Mbak Imah adalah yang pertama menyadari kehadiran Jani di ambang pintu. Seketika, ART yang berusia di akhir tiga puluhannya itu berdiri dari duduknya. “Eh…Non Jani? Ada yang bisa dibantu, Non?” tanyanya.   Jani langsung mengibaskan kedua tangannya. “Oh tidak kok, Mbak, silahkan dilanjutkan sarapannya.” Jani tersenyum manis.   “Non Jani mau, Non? Tapi cuma bakwan nih tadi Bi Rominah bikin…”   “Hush masa kamu nawarin Non Jani sisa sih Mah!” Bi Rominah menepuk bahu Mbak Imah, “Non Jani kalau mau nanti saya bikinin lagi yang baru , Non, gimana?”   “Tidak usah, Bi, nggak apa-apa kok. Saya tadi hanya penasaran saja makanya mengintip ke sini dan ingin tahu juga kegiatan di rumah ini sejak pagi bagaimana.”   Bi Rominah tersenyum lebar, dengan antusias ia menjelaskan berbagai kegiatan pagi di rumah Eyang Uti kepada nona baru mereka tersebut. “Iya Non, jadi kita kalau pagi biasanya memang sarapan dulu kayak gini. Sebenarnya sih ini juga jarang karena kan dulu Pak Toto dan Imah nggak menginap di sini, hanya datang saat dipanggil.” Bi Rominah berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Habis itu biasanya saya ke pasar sama Adun, tapi sekarang tugasnya digantiin sama Imah. Biasanya ke pasar dua hari sekali sih biar bahan makanannya masih fresh, kadang juga kita belanja bulanan ikut Eyang Widya sama Mas Ares ke swalayan.”   Penjelasan Bi Rominah benar-benar detail dan lengkap untuk Jani. Seolah Bi Rominah ingin lebih cepat akrab dengan lingkungan dan segala kegiatan di rumah barunya ini agar cepat juga beradaptasi.   Kehadiran Jani di rumah Eyang Uti jelas menjadi sesuatu yang baru untuk seluruh pekerja di rumah itu. Setelah selama ini hanya melayani Eyang Uti dan Ares, bertambah lagi satu orang yang perlu mereka layani. Tetapi tentu saja semua pekerja di sana tahu kalau atasan baru mereka ini adalah tipe orang yang tidak akan merepotkan mereka.   Terbukti di hari pertama pun, saat Eyang Uti melarang Jani menyentuh pekerjaan rumah sekecil apapun dan meminta perempuan itu untuk minta tolong saja kepada para ART, Jani justru terlihat sungkan. Padahal menurut info yang didapati Mbak Imah, Nona baru mereka ini berasal dari keluarga terpandang di Solo. Masih ada keturunan bangsawannya bahkan.   “Non Jani kalau misal mau request masakan, bisa bilang ke saya atau Imah. Nanti kita belanjain bahannya ke pasar atau swalayan.”   Jani menganggukkan kepala. “Saya sekali-sekali boleh ikut kan, Bi?” tanya Jani malu-malu.   “Hahhh?” Empat pekerja itu dengan kompak bersuara.   Mbak Imah mengernyitkan dahi, “Waduh bukannya nggak boleh, Non, tapi nanti kita diomelin Mas Ares…”   “Loh, kenapa?”   Mbak Imah menyenggol Bi Rominah untuk mewakilinya bicara. “Mas Ares dari kecil udah dimanja banget Non, nginjek kaki di pasar kayaknya seumur-umur juga belum pernah deh Non. Pasti marah lah kalau istrinya kita bawa ke pasar…”   Jani tersenyum mengerti. Meski sebenarnya tidak ada hubungannya antara Ares yang enggan menginjakkan kaki di pasar dengan dirinya. Karena Jani sudah terbiasa ikut asisten rumah tangganya di Solo untuk pergi ke pasar. Dan tidak seperti yang mungkin para pekerja di sana kira dengan latar belakang Jani yang cukup terpandang, membuat Jani sama sekali tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah.   Sebaliknya, Ningrum, Ibu Jani sudah mendidik Jani sejak kecil untuk terbiasa dengan pekerjaan rumah. Meski tentu saja Jani tidak mengerjakan pekerjaan rumah itu sebagai kegiatan sehari-hari, tetapi Ningrum sudah mengajari Jani sejak dini hingga gadis itu bisa.   Memasak, bersih-bersih, hingga mencuci baju sendiri pun Jani bisa melakukannya. Kata Ningrum, itu keterampilan basic untuk seorang perempuan. Meski jujur dalam diri Jani, keterampilan itu seharusnya tidak terbatas pada gender tertentu, tetapi Jani tidak membantah. Jujur, orang tua Jani memang pemikirannya masih agak kolot dan menjujung sedikit budaya patriarki. Tetapi keuntungan dari mempelajari itu semua, selama berkuliah di Oxford Jani bisa menerapkan keterampilan-keretampilan tersebut dalam kehidupannya sebagai mahasiswa rantau di sana.   “Tidak apa-apa kok, Bi, nanti Jani izin dulu sama Mas Ares. Pasti boleh.” Jani tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Membuatnya benar-benar terlihat sangat manis meski masih memakai gaun tidur dan wajah polos yang tidak terbalut riasan apapun. “Niatnya, Jani ingin mengambil alih tugas untuk memasak makan siang atau makan malam untuk Eyang Uti dan Mas Ares.”   Bi Rominah dan Mbak Imah hanya bisa mengangguk dengan ragu, karena meski niat Jani sangat baik…mereka tidak yakin dengan tanggapan Eyang Uti dan juga Ares.   ***   Siang itu, Ares akan pergi ke kantor HS untuk meeting soal project barunya sekaligus menjadi project pertama Ares setelah kembali ke dunia hiburan tanah air setelah dua tahun berkarir di Amerika.   Semalam, Ares sangat puas setelah berhasil mengerjai Jani. Melihat bagaimana ekspresi Jani yang biasanya datar berubah sangat kesal malam itu—seperti di pesta pernikahan mereka—benar-benar menjadi kepuasan untuknya. Tetapi lucunya, meski Jani kesal bukan main dengan Ares semalam, perempuan itu tetap memilihkan pakaian untuk Ares kenakan hari ini.   Tapi si b******k Ares justru turun dari kamarnya tanpa mengenakan salah satu pakaian di antara dua pilihan semalam. Benar-benar, deh!   Jani sedang duduk bersantai pada sofa dengan Ipad di tangan, tidak menyadari kehadiran Ares yang memang sengaja berjalan mengendap-endap untuk mengejutkannya.   Namun, langkah kaki Ares terhenti satu langkah sebelum dirinya bisa menyentuh pundak Jani. Posisi perempuan itu yang duduk membelakanginya membuat Ares bisa melihat apa yang sedang perempuan itu lihat pada layar ipadnya.   Seorang foto…perempuan?   Ares melongokkan kepalanya dengan penasaran, “Siapa tuh, kok cantik?” tanya Ares tiba-tiba membuat Jani tersentak di tempatnya.   Hampir saja ipad seharga belasan juta itu meluncur jatuh dari pangkuannya ke lantai. Jani mencoba mengatur napasnya yang memburu akibat ulah Ares. Kalau saja Jani punya penyakit lemah jantung, dia pasti sudah kena serangan dan tewas di tempat.   “Siapa itu? Temen kamu? Cantik banget, kenalin dong?” Ares berkata kurang ajar. Tidak peduli perempuan yang ia tanyai adalah istrinya sendiri. Kalau saja Eyang Uti tidak sedang tidur siang, laki-laki itu mana berani berkata demikian di ruang tengah seperti saat ini.   “Bukan urusan kamu.” Jani dengan cepat menutup flip case ipadnya.   Sayangnya sikap defensif Jani berhasil memancing perhatian Ares dan membuat lelaki itu justru semakin ingin mengganggunya. Lelaki itu menaikkan sebelah alis, “Duh kok langsung panik gitu? Kenapa? Takut cemburu?” godanya.   Setelah berhasil menentramkan jantungnya yang berdegup cepat karena ulah Ares tadi, Jani kembali memasang ekspresi datarnya seperti biasa. “Tidak.”   Ares tersenyum mengejek, “Jani, kamu tuh belum jatuh cinta sama aku karena aku memang sengaja nggak mau kayak gitu. Kalau aku mau, sekali bertindak pun kamu pasti bakalan dengan mudah jatuh ke dalam pesonaku. I’m a very famous celebrity for a reason,” Ares berkata dengan congkak dan penuh percaya diri. Yang anehnya, terlihat tidak dilebih-lebihkan terutama dengan bagaimana penampilan Ares saat ini.   Padahal Ares hanya mengenakan pakaian casual berupa T-shirt putih polos yang ditiban dengan denim jacket serta celana jeans hitam. Sebuah kacamata hitam tergantung di kerah bajunya dan akan ia kenakan saat menyetir nanti. Tetapi bergaya seperti itu saja sudah membuat Ares terlihat sangat menawan. Ares’s effect memang dasyat.   “Kamu harus bersyukur aku masih baik buat nggak bikin kamu jatuh cinta sama aku karena bakal repot urusannya saat kita cerai nanti,” Ares menambahkan sambil menyugar rambutnya ke belakang dengan jemari. Hari itu rambut Ares tidak tersisir rapi, tetapi justru membuatnya semakin terlihat tampan. “Jadi, siapa perempuan tadi? Kenapa kamu takut aku lihat dia lebih jelas?”   “Just mind your own business!”   Ares pikir, ia berhasil membuat Jani kesal seperti semalam. Tetapi ternyata, Jani bukan hanya kesal tetapi justru… marah. Perempuan itu biasanya hanya diam, menatap Ares dengan datar. Bahkan saat kesalpun, Ares hanya perlu menikmati ekspresi gadis itu yang seolah ingin meledak tetapi ujung-ujungnya, Jani tetap tidak melakukan apa-apa.   Namun saat ini, Jani meninggikan suaranya. Dan ekspresinya pun lebih dari sekadar kesal. Ares sampai tidak percaya bahwa perempuan yang semula ia pikir minim ekspresi ini ternyata bisa juga menunjukkan emosinya pada Ares.   Jujur, Ares memang senang mengganggu Jani. Tetapi tidak benar-benar ingin membuatnya marah seperti ini.   Sebetulnya, Jani sendiri tidak tahu kenapa ia bisa semarah ini. Padahal Jani sudah tahu bahwa Ares memang menyebalkan, tetapi entah kenapa hari ini Ares menjadi delapan kali lebih menyebalkan dari biasanya hingga Jani kehilangan kesabaran.   Bohong. Bukan Ares alasan utama kenapa Jani menjadi kesal bahkan marah. Melainkan karena perempuan yang tadi fotonya baru saja Jani lihat.   Jani tidak marah pada perempuan di foto itu yang tidak lain adalah Nadira. Iya, Nadira, perempuan yang berhasil memenangkan hati Ariano, laki-laki pertama yang berhasil membuat Jani jatuh cinta.   Jani sudah merelakan Ariano, bahkan lelaki itu datang bersama Nadira ke acara pernikahan Jani dan Ares saat itu dan Jani bisa menyalami mereka dengan senyuman. Tetapi entah kenapa, setelah menikah Jani justru semakin sering mengecek sosial media Nadira—karena sosial media Ariano terlalu jarang diupdate—untuk mengetahui bagaimana hubungan mereka.   Nadira dan Ariano belum menikah, tetapi Jani yakin kalau Ariano pasti akan membawa perempuan itu naik ke pelaminan. Ketika mereka menjadi tamu di pernikahannya pun, Jani bisa melihat bagaimana Ariano tidak pernah melepaskan tatapan penuh cintanya dari Nadira. Mereka begitu serasi hingga membuat siapapun seolah dipaksa untuk menjadi iri.   Termasuk Jani.   Ia pikir, menikah dengan Ares dapat mengubah perasaan Jani. Tetapi yang ada Jani justru terjebak dengan laki-laki menyebalkan seperti Ares. Saat Jani bahkan memutuskan untuk menyerahkan dirinya dan betul-betul menerima pernikahan mereka meski tanpa cinta, Ares justru membuat surat perjanjian yang seolah mempertegas bahwa pernikahan mereka tidaklah nyata.   Ares baru akan membuka mulut untuk bertanya, namun Jani lebih dulu meninggalkan Ares yang kemudian hanya bisa mengumpat pelan pada kekosongan di hadapannya, “What the f**k is going on?” 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN