10. Consent Not A Duty

1106 Kata
[ 18+ ] t/w: Slight s****l scene . . . Malamnya, mereka makan malam di rooftop bar restaurant. Tentu saja hal itu dilakukan sedikit terpaksa karena demi memenuhi reservasi yang sudah dilakukan oleh Eyang Uti agar sepasang suami itu dinner romantis di sana.   “Nggak mau minum?” tanya Ares saat Jani sama sekali tidak menyentuh gelas berisi winenya. “Enak kok, ini sweet wine dibuatnya pakai semillion, rasanya manis.”   Jani menggeleng sambil mengiris tipis potongan steaknya. “Saya tidak bisa minum alkohol.”   Ares menatap Jani setengah tertawa. “Bohong, lo kan tinggal di luar. Ya kali nggak pernah minum? Bahkan bir yang ada di minimart?”   Jani menggeleng. “Saya bilang tidak bisa bukan tidak pernah.” Jani lalu membalas tatapan Ares, “Saya pernah coba cicip sekali, tapi tidak suka.”   “Mungkin karena lo minum yang nggak enak.” Ares menyodorkan gelas Jani yang masih utuh. “Nih, cicip dikit. Manis, gue nggak bohong.”   Jani menatap gelas itu ragu. Tetapi kemudian Jani menuruti apa kata Ares dan menyecap sedikit sweet wine itu. Ares tidak berbohong jika rasanya manis di lidah tetapi namanya alkohol tetap saja meninggalkan sensasi terbakar di tenggorokan. Apalagi wine bernama Sauternes itu ternyata memiliki kandungan alkohol yang tinggi.   Jani mengerjap saat merasakan sensai terbakar itu di tenggorokannya. “Nggak suka.” Lalu Jani menjauhkan gelas itu dari jangkauannya dan tidak menyentuhnya lagi hingga acara makan malam mereka berakhir.   Mereka kembali ke kamar dengan keadaan kenyang dan sedikit mengantuk. Untuk Ares, lelaki itu juga sedikit mabuk karena menghabiskan dua gelas setengah wine. Lucunya, efek alkohol membuat pipi lelaki itu memerah seperti menggunakan blush on.   “Kamu perlu dibantu?” tanya Jani melihat Ares kesulitan membuka kemejanya.   Ares tersenyum miring. Lagi-lagi Jani memberi Ares kesempatan untuk mengganggunya. “Boleh, sini bukain.”   Jani pun benar-benar menghampiri Ares dan membantu lelaki itu membuka kemejanya. Saat tangan Jani membuka kancing terakhir kemeja Ares, lelaki itu menggenggam kedua tangan Jani, memberikan tatapan seductive. “Jani, apa lo suka sama badan gue, hm?”   Jani mendongak, menatap Ares sambil berkedip inosen. “Apa?”   “Lo, suka sama badan gue. Lo bahkan nggak berpikir dua kali waktu gue suruh lo bukain baju gue. Lo pingin menyentuhnya, kan?”   Alis Jani menyatu karena kernyitan di dahinya. “Kan tadi kamu yang minta tolong, saya hanya mau bantu kamu.”   Meski Jani berusaha terlihat biasa saja, Ares bisa menangkap samar kemerahan di pipi Jani. Perempuan itu tersipu. Lucu. Hal itu membuat Ares semakin ingin mengganggunya.   Ares menyondongkan wajahnya ke arah Jani, yang sayangnya justru menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Ares lagi-lagi mencium aroma perfume Jani seperti tadi siang. Dan aroma itu bahkan jauh lebih kuat saat ini, bercampur dengan aroma asli tubuh Jani yang seperti aroma bunga. Mungkin berasal dari aroma sabun mandi yang Jani gunakan?   Ares berdeham, mencoba mengatur kewarasannya yang nyaris menghilang karena aroma lembut itu. Sial! “Lo yakin nggak mau coba pegang badan gue, hm? I will let you tonight.” Ares dengan sengaja membimbing tangan Jani untuk menyentuh otot perutnya yang kotak-kotak. Tetapi sepertinya hal itu hanya membuat Ares semakin kehilangan akal karena tidak menyangka betapa lembutnya kulit telapak tangan Jani di atas kulitnya.   Jani berkedip, menatap Ares datar meski sesungguhnya ia juga gugup. Jani tidak pernah sedekat ini dengan lawan jenis. Apalagi sampai menyentuh tubuh.   Ares tahu ini gila. Dan jika mengikuti tubuhnya, Ares jelas kalah. Tetapi otak Ares pun seolah tidak ingin berfungsi saat ini dan selanjutnya yang Ares lakukan adalah memajukan sekali lagi wajahnya sehingga hidungnya menyentuh leher Jani. “Lo wangi, Jani.”   Tangan Jani refleks mencengkram ujung kemeja Ares ketika lelaki itu mengecup kulit lehernya dengan kecupan seringan bulu. Berbeda dengan tadi siang saat Ares hanya bermain-main, entah kenapa saat ini kecupan itu terasa berbeda.   “Ah…” Jani refleks merapatkan kedua bibirnya yang tanpa sengaja mengeluarkan desahan. Itu semua karena Ares yang tiba-tiba memberikan Jani hisapan di dekat telinganya.   “Tubuh lo nggak sepolos yang gue kira, ya?” Ares memberi kecupan lagi di ititk kemerahan yang baru saja ia ciptakan di leher Jani. Lelaki itu lalu menegakkan tubuhnya dan menarik tangan Jani menuju ke kamarnya.   Setengah mendorong Jani ke tempat tidur, Ares melepas kemejanya dengan tergesa. “Let’s do it, Jani,” kata Ares sambil melepas jam tangannya dan melemparnya ke atas nakas. Setelah itu, Ares langsung beranjak ke atas tubuh Jani tanpa menindihnya.   Jani tidak menolak, tetapi tidak juga merespon karena sesungguhnya Jani tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa ini efek alkohol yang diminum Ares atau memang Ares menginginkannya, Jani tidak yakin.   “Lo harum, gue suka.” Ares berkata pelan sebelum kemudian kembali menciumi leher Jani. Sepertinya leher adalah area favorit lelaki itu. “Manis kayak permen, tapi juga lembut…”   Jani memejamkan mata ketika Ares memberikan kecupan-kecupan kecil hampir di seluruh area lehernya. Kecupan itu terus bergerak naik hingga kini ke rahang Jani. Tetapi gerakan Ares terhenti ketika lelaki itu memberikan Jani kecupan di sudut bibirnya.   “Jani, denger. Gue bakal berhenti kalau lo memang nggak mau, tapi kalau lo mau terusin gue nggak bakal berhenti.”   Jani berkedip. Ekspresinya masih datar seperti biasa. Jani mengangguk, membuat Ares tidak berpikir dua kali untuk segera menarik gaun Jani dalam sekali gerakan hingga hanya pakaian dalam saja yang tersisa di tubuh perempuan itu.   Tubuh Jani berukuran standar. Payudaranya bukan p******a terseksi yang pernah Ares lihat tetapi tidak memungkiri kalau Jani punya p******a yang cantik. Bentuknya bulat pas, mengundang untuk diremas dan kulum.   Tangan Ares sudah akan melepas bra yang dikenakan Jani saat melihat perempuan yang terbaring di bawahnya itu menitikkan air mata. Ares langsung merasa tubuhnya seolah ditabrak truk. Memberinya kesadaran seketika.   Ares langsung berpindah tempat dan duduk di sebelah Jani, membuat perempuan itu ikut mendudukan tubuhnya.   “Kenapa berhenti?”   Ares tidak langsung menjawab. Lelaki itu menunduk untuk memungut gaun Jani yang ia lepaskan dan melemparnya ke perempuan itu. “Pake baju lo dan balik ke kamar sana.”   “Kenapa?”   Ares berdecak. “Lo nggak benar-benar mau gue tidurin, Jani.” Ares bicara tanpa menatap Jani, “Gue nggak mau tidur sama orang yang kepaksa. Gue tahu lo diem aja dan mau gue tidurin karena lo merasa ‘mengikuti perintah suami itu wajib’ kan?”   Jani tidak menyahut karena ucapan Ares tepat sasaran.   “Gue memang b******k tetapi gue nggak akan tidur tanpa consent.” Ares lalu berdiri dan mengambil sebuah kaos putih dan menggunakannya, “Yang tadi itu bukan consent tapi lo cuma merasa sebagai kewajiban. Lo nggak benar-benar mau.”   Jani mengulum bibirnya. Tidak tahu kenapa air matanya justru semakin deras ketika ia mengenakan kembali gaunnya. Rasanya Jani sangat malu. Melebihi malunya ketika Ares melihatnya setengah telanjang tadi. Malu karena dia sudah mengecewakan Ares. Malu karena ternyata, Jani belum siap sebagai seorang istri.   Ares benar jika Jani mengizinkan Ares untuk menidurinya hanya karena merasa hal itu adalah kewajibannya. Meski Jani tidak bisa bohong ketika tubuhnya juga merasakan sesuatu atas sentuhan Ares, tetapi Jani tahu dirinya belum betul-betul siap.   “Maaf.” Hanya itu yang bisa Jani katakan sebelum meninggalkan Ares kembali ke kamarnya.   Selepas kepergian Jani, Ares mengacak-acak rambutnya frustasi. Permainan yang ia mainkan ternyata justru berbalik menyerangnya sendiri. Sejak kapan Ares jadi pecundang begini? Kenapa Ares bisa kehilangan kontrol seperti ini?   “Lo ngapain sih, Res?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN