“Meskipun kamu punya bisnis, kamu harus tetap membereskan skripsi kamu, Rania. Dua tahun kamu meninggalkan kewajiban sebagai mahasiswa. Pendidikan itu penting.”
Suara ayahnya, masih terngiang di telinga perempuan bernama Rania.
Sejujurnya, ia sudah lupa seperti apa rasanya menjadi mahasiswa. Skripsinya? Entah kapan terakhir kali ia menyentuh file itu. Yang ia tahu, hidupnya sekarang jauh lebih menyenangkan daripada harus duduk di depan laptop dan berkutat dengan teori hukum yang sama sekali tidak menarik minatnya.
Bagaimana tidak? Ruang Rasa, bisnis kafe yang ia bangun bersama temannya, berkembang pesat. Hari ini pun ia sibuk dengan bisnisnya. Perempuan berusia 25 tahun itu mengangkat satu boks besar berisi dessert box spesial pesanan pelanggan, lalu berjalan tergesa menuju titik jemputan. Namun, alih-alih berhenti di lokasi yang sudah ditentukan, Gocar yang ia pesan malah parkir cukup jauh.
"Sial..." gumamnya sambil mengeratkan pegangan pada boks besar di tangannya.
Dengan sedikit menggerutu, Rania mempercepat langkah.
Namun, saat melewati jalur TransJakarta, sebuah mobil mewah berwarna hitam mengerem mendadak dan- BRUK! Membuat hingga dessert box spesial yang ia bawa berserakan di aspal, hancur tak berbentuk. Mata Rania membulat penuh amarah.
Pintu mobil terbuka, seorang pria dengan jas rapi keluar dengan ekspresi panik.
"Maaf, Mbak."
Rania langsung bangkit dan menatap pria itu dengan tajam.
"Maaf?! Lihat pesanan saya jadi hancur gara-gara Mas-nya! Lagian ini jalur TransJakarta! t***l banget malah nyelonong di sini!"
Pria itu tampak hendak bicara, tapi Rania tidak memberinya kesempatan.
"Jalur TransJakarta itu buat bus, Mas, bukan buat mobil pribadi. Mau macet kek, jalanan padat kek, ya tetap harus taat aturan! Apa gunanya jalur umum kalau semua orang egois? Mas pikir bisa seenaknya masuk jalur ini cuma karena buru-buru? Nggak semua hal bisa dipaksa, dong! Ini namanya ketidakadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tahu nggak?!"
Pria itu tetap diam, mungkin karena sadar tidak ada celah untuk membela diri.
Namun, alih-alih menjawab, ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalam jasnya, lalu menyerahkannya pada Rania.
Rania menyipitkan mata. "Ngapain?! Nyogok?! Enggak! Situ udah salah! Ini harus dilaporin! Mobil doang mewah, otaknya kosong!”
Pria itu menghela napas panjang. "Mbak, tolong. Saya minta maaf banget. Saya harus pergi ke rumah sakit. Mbaknya juga pasti sedang buru-buru, kan? Kita ambil jalur ini saja. Saya yakin ini cukup."
Rania masih mendelik dan meraih amplop tersebut, “Emang berapa yang Mas punya sampe berani nyogok kayak gini, udah langar aturan, sekarang malah seenaknya bi….” Matanya langsung membesar. Uang di dalamnya banyak sekali.
Tapi tentu saja, Rania tidak akan memperlihatkan ekspresi kagetnya. Dengan ekspresi datar, ia mengibaskan amplop di tangannya, seolah jumlah uang itu tidak berpengaruh padanya.
"Gimana, Mbak? Cukup kan?"
Rania menatap pria itu tajam, lalu berjongkok dan mulai meraih dessert yang berceceran di aspal.
Sebelum pria itu sempat bertanya, Rania langsung mengoleskan krim dan potongan kue yang lengket ke kap mobil Porsche Panamera.
“Loh… Mbak…. Ngapain?”
"Nah, ini gantinya." Ia menepuk kap mobil dengan puas, bahkan kacanya sudah dioles krim cokelat. "Lain kali jangan langgar aturan, apapun yang terjadi. Okhey?"
Pria itu membulatkan mata, tetapi tidak bisa berkata apa-apa.
Sementara itu, Rania berbalik, memasukkan amplop ke tasnya, lalu membuka lembaran uang pertama dan mulai menghitung dengan jari yang dibasahi liurnya.
"Lumayan," batinnya sambil tersenyum miring.
****
Rania menghela napas menatap Universitas Jayakarta Darma Persada, kampus yang sudah dua tahun ia tinggalkan.
Berdiri di depan gerbang utama, ia ingin berbalik arah, tapi suara ibunya semalam kembali terngiang di kepalanya.
"Kalau belum ke kampus, jangan harap bisa masuk rumah!"
Ancaman sederhana, tapi efektif. Dengan langkah malas, Rania menyeret kakinya masuk ke dalam kampus. Tujuan pertamanya: ruang dosen. Dulu, pembimbing skripsinya adalah Pak Winarto, dosen senior yang sangat dihormati.
Namun, begitu ia masuk ke ruangan dosen, ia langsung disambut dengan berita yang mengejutkan.
"Lahhh, telat banget kamu!" seru Pak Winarto. "Saya ada pendidikan ke luar negeri selama dua tahun."
“Terus nasib saya gimana dong, Pak?"
"Ya gimana ya?" Pak Winarto mengangkat bahu santai. "Tunggu aja dua tahun kalau masih mau sama saya."
"Loh, masa begitu, Pak? Saya nanti dipenggal sama Bapak saya loh."
"Lah? Bapak kamu KDRT? Harus dilaporin itu!"
"Eh, enggak! Maksudnya, saya ini harapan orangtua, Pak. Harusnya lulus dua tahun lalu, masa harus nunggu dua tahun lagi sih, Pak? Please, tolongin."
"Ganti pembimbing ya?"
"Ah, enggak! Bapak yang kasih judul ini! Kalau sama dosen lain, saya harus cari judul baru lagi."
Pak Winarto menghela napas panjang, seolah beban dunia ada di pundaknya. "Hadeuhhh… ya udah, tunggu saya dua tahun."
“Pak…. Please? Hiks…" Rania mulai menangis. “Hiks…. Gimana saya memenuhi ekspektasi orangtua kalau nunggu dua tahu… hiks… gak menjamin dua tahun mereka masih ada… hiks… pilunya nasib saya… hiks.”
"Heh! Jangan nangis kamu!" seru Pak Winarto panik. "Yaudah, iya! Kamu lanjut bimbingan, tapi nggak sama saya."
"Kan nggak mau ganti pembimbing, Pak. Gak mau ganti judul.”
"Saya ada murid yang satu pemikiran sama saya. Sekarang udah naik pangkat di akademik. Ayok, saya anterin kamu ke dia."
Rania akhirnya mengikuti langkah Pak Winarto. Mereka berjalan melewati gedung-gedung kampus yang kini tampak lebih modern. Bahkan taman kecil di dekat fakultasnya kini berubah menjadi area bersantai dengan meja-meja kayu dan lampu-lampu estetik.
"Pak? Mau bawa saya kemana? Ketemu siapa?"
"Yang jelas bukan ketemu Tuhan sih," jawab Pak Winarto santai membuat Rania kaget.
Mereka akhirnya sampai di depan bangunan rektorat—gedung paling megah di seluruh kampus. Dulu, Rania hampir tidak pernah masuk ke sini. Kini, setelah dua tahun absen, ia malah harus ke kantor rektor.
Ternyata mereka menuju ruangan Rektor.
Pak Winarto melangkah masuk dengan santai. Membuat Rania terpana saat pintu terbuka.
Ruangan luas dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan gedung kampus dari lantai atas. Interiornya didominasi warna hitam dan abu-abu, dengan meja panjang yang tertata rapi, rak buku di satu sisi, serta sofa kulit berwarna gelap yang tampak mahal.
"Prabu!"
Seorang pria yang sedang memeriksa berkas di meja langsung menoleh. “Loh, Bapak?”
Dan saat itu juga, Rania membeku. Dia kenal suara ini.
Dunia serasa berhenti berputar ketika ia mengenali wajah pria itu. Pria dengan jas rapi, ekspresi tenang, dan sorot mata tajam itu… adalah orang yang menabraknya seminggu lalu!
Astaga.
Rania menumpahkan dessert ke mobil Porsche Panamera milik… rektornya sendiri.