Canggu, Bali…
Angin laut berembus lembut, membawa aroma garam dan kesejukan pagi yang membelai kulit. Langit masih biru pucat, dengan matahari yang baru saja muncul dari balik cakrawala, menumpahkan cahaya keemasan yang memantul di permukaan air. Suara deburan ombak berpadu dengan kicauan burung pantai, menciptakan simfoni alam yang menenangkan.
Rania berdiri di balkon vila yang disewanya, mengenakan kimono tipis berbahan satin yang melambai ditiup angin. Rambutnya masih sedikit kusut, tetapi matanya berbinar menatap panorama laut yang terbentang luas di hadapannya. Pasir putih, air laut jernih dengan gradasi biru kehijauan, dan para peselancar yang sudah menaklukkan ombak sejak subuh.
Setidaknya, di sini… Rania bisa bernapas.
Tidak ada Prabu yang terus mengusik pikirannya. Tidak ada Mireya yang menamparnya. Tidak ada Rayyan yang tiba-tiba menghilang entah ke mana.
Dia menghela napas panjang. Kalau memang mau nge-ghosting, kenapa harus mulai dulu?
Menyingkirkan pikiran itu, Rania masuk kembali ke dalam kamar. Vila ini bukan yang terbesar di Canggu, tapi cukup mewah untuk membuatnya nyaman. Interior modern dengan sentuhan kayu, jendela besar yang membiarkan cahaya masuk, serta aroma lavender dari diffuser yang menyebar ke seluruh ruangan.
Hari ini, dia punya banyak pekerjaan.
Setelah mandi dan mengenakan pakaian kasual yang tetap stylish—linen top berwarna putih dan celana pendek krem—Rania menyambar kunci motor yang disewanya. Tak ada supir pribadi, tak ada mobil mewah. Di Bali, naik motor jauh lebih menyenangkan. Angin langsung menyapa wajah, jalanan kecil lebih mudah diakses, dan sensasi kebebasan terasa lebih nyata.
Kafe cabang Ruang Rasa di Bali memang belum resmi dibuka, tapi sudah kebanjiran pesanan. Seminar pendidikan lusa ini salah satunya. Nama mereka memang sudah mulai dikenal, dan karena Rania serta teman-temannya sangat menyukai uang, pesanan ini tentu saja langsung diterima.
Begitu tiba di lokasi, bangunan kafe yang masih dalam tahap penyempurnaan sudah dipenuhi para pekerja. Aroma kayu baru bercampur dengan wangi kopi yang mulai diseduh. Begitu melihatnya, beberapa staf langsung menyambut.
"Selamat pagi, Mbak Rania."
"Pagi semuanya. Haduh, rajin sekali kalian." Rania melepas helmnya, rambutnya jatuh dengan sempurna. "Lagi bikin apa ini?"
"Pie dulu, Bu," salah satu koki menjawab sambil menunjuk nampan yang berisi adonan berwarna kuning keemasan.
Rania mengamati dapur dengan antusias. Makanan yang akan mereka siapkan untuk seminar ini bukan menu sembarangan. Ia ingin menampilkan sesuatu yang khas Indonesia, tetapi tetap mewah, menggugah selera, dan mendunia.
Di bagian pastry, Klapertart—hidangan manis asal Manado—dipanggang perlahan dalam oven besar, aroma butter dan kayu manis menyebar ke seluruh ruangan. Di sisi lain, Rendang Wagyu dimasak dengan teknik slow-cooking selama berjam-jam, dagingnya empuk dengan bumbu yang meresap sempurna.
"Kita juga akan buat Lobster Gulai Aceh, Bu," seorang staf menimpali.
"Bagus. Terus Foie Gras Lodeh udah siap?" tanya Rania.
"Semua bahannya sudah sia, Bu," jawab koki dengan bangga.
Rania mengangguk puas. Ini bukan sekadar catering biasa. Mereka mengolah makanan khas Indonesia dengan bahan premium, menciptakan pengalaman kuliner yang mewah. Ini juga alasan mengapa seminar pendidikan di hotel bintang lima memilih mereka sebagai penyedia hidangan.
Setelah memastikan dapur berjalan sesuai rencana, Rania menuju bagian office untuk melihat daftar tamu undangan dan pemateri seminar.
Ia duduk di depan layar komputer, menggulir daftar nama satu per satu, matanya menangkap detail yang penting. Ada beberapa nama pejabat pendidikan, akademisi, dan entrepreneur muda yang akan hadir. Tak lupa, ia juga mengecek kolom alergi dan preferensi makanan masing-masing tamu.
Namun, jemarinya tiba-tiba berhenti.
Matanya terpaku pada satu nama yang tidak seharusnya ada di daftar ini.
Prabu Astana Dewangga
Pemateri Spesial
Rania terdiam.
Sial.
Jauh-jauh pergi ke Bali untuk kabur dari semua kekacauan, malah kembali bertemu Prabu?
Hingga suara kaca jatuh membuat Rania tersadar. CRAI!
Suara pecahan botol menggema di dalam dapur, membuat semua orang menoleh. Rania segera keluar dari ruangan office, menegakkan tubuh, menyingkirkan pikirannya tentang Prabu, dan kembali ke kenyataan.
"Kenapa?" tanyanya, matanya langsung menangkap seorang staf dapur yang terlihat panik, tangan gemetar saat mencoba mengumpulkan pecahan kaca di lantai.
"Duhh, maaf, Bu, saya… tidak sengaja menjatuhkan minyak kelapanya… saya… minta maaf…"
Rania melirik lantai yang basah oleh minyak kental, aroma kelapa memenuhi udara. Dia menghela napas, mencoba tetap tenang.
"Gak papa, bersihkan saja. Itu untuk dipakai besok masak, ‘kan?"
"Iya, Bu, tapi ada makanan yang harus pakai ini juga. Saya akan beli dulu, pakai uang saya kok, Bu, sebagai gantinya."
Rania menggeleng. "Gak usah, biar saya yang keluar saja. Kamu di sini aja bantu yang lain."
"Tapi, Bu—"
"Gak papa," potong Rania cepat, memberikan senyuman tipis.
Sebenarnya?
Ini bukan sekadar soal minyak kelapa.
Ini kesempatan. Kesempatan buat pergi sejenak, buat menghindari kenyataan bahwa Prabu ada di sini.
Rania segera mengambil helmnya dan melangkah keluar. Udara Bali yang hangat menyentuh kulitnya saat ia menghidupkan mesin motor. Tak butuh waktu lama, roda berputar membawa dirinya menjauh dari kafe, menuju pasar tradisional yang tidak terlalu jauh dari area Canggu.
Di jalan, ia mencoba mengatur napas, menenangkan pikirannya. Prabu di sini? Kenapa harus dia lagi?
Pasar tradisional selalu hidup, meskipun hari belum terlalu siang. Aroma rempah, kayu manis, dan buah segar bercampur dengan suara tawar-menawar para pedagang. Rania menelusuri gang sempit di antara lapak-lapak, mencari toko kelontong yang menjual minyak kelapa murni berkualitas.
Setelah menemukan yang dicari, ia mengambil satu botol besar dan menyerahkannya kepada penjual.
"Berapa ini, Pak?"
Namun, saat hendak mengambil dompetnya…
CEKREK!
Suara kamera terdengar dari belakang.
Refleks, Rania menoleh cepat.
Seorang pria berdiri beberapa meter darinya, mengenakan kaus putih sederhana, rambutnya sedikit berantakan tetapi tetap terlihat memikat. Wajah yang sangat dikenalnya.
Seorang pria yang tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa kabar.
Rayyan.
Mata Rania membesar, bibirnya terbuka sedikit, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Loh? Kak Ray?!"
Rayyan menurunkan kameranya, menatapnya dengan senyum miring yang selama ini Rania rindukan.
****
“ini buat kamu, jangan cemberut lagi nanti cantiknya hilang," ucap Rayyan, menyodorkan lolipop ke tangan Rania.
Rania menatap permen itu, lalu kembali menatap pria di hadapannya dengan mata sedikit menyipit. "Abis kasih ini pasti kakak tiba-tiba hilang lagi deh."
Rayyan terkekeh pelan, tampak sedikit bersalah. "Maaf ya, Cantik. Serius, hape aku ke-reset, terus pekerjaan menumpuk. Niatnya, aku mau langsung nemuin kamu kalau tiba di Jakarta."
Rania mendengus pelan, tetapi tetap menerima lolipop itu juga. "Ya, tapi tetap aja…"
Rayyan duduk di bangku kayu di samping Rania, keduanya kini menatap pantai yang luas dan berkilauan. Angin sepoi-sepoi membelai rambut mereka, ombak bergulung pelan, menciptakan suasana yang begitu tenang.
"Kesal banget ya?" tanya Rayyan, menoleh ke arahnya.
"Yaa... lumayan sih, kayak yang dipermainkan."
Rayyan menghela napas kecil, lalu menggenggam tangan Rania dengan hangat. "Nggak, Ra… sabar ya. Aku butuh waktu buat beresin banyak kerjaan dulu."
Sekejap, sentuhan itu membuat hati Rania berdebar pelan. Entah kenapa, meskipun kesal, genggaman itu membuatnya sedikit luluh.
"Gimana kalau kita main hari ini sebagai gantinya?" lanjut Rayyan. "Besok kamu sibuk ‘kan buat acara besar? Dan... aku mungkin juga sama. Jadi nggak tahu kapan ada kesempatan kayak gini lagi."
Rania berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. "Hmmm, boleh deh. Tapi anterin dulu minyak kelapa ini."
Rayyan tersenyum kecil. "Oke, aku yang boncengin kamu ya."
Rania mengangguk lagi, lalu naik ke belakang motor Rayyan. Dengan sedikit ragu, tangannya melingkar di pinggang pria itu. Rasanya canggung, tapi juga… menyenangkan.
Setelah menyerahkan minyak kelapa ke kafe, mereka pun mulai menjelajahi Bali. Mereka menghabiskan waktu di berbagai tempat. Rayyan membawanya ke Ubud, berjalan santai di tepi sawah hijau yang luas. Mereka mampir ke kafe kecil dengan pemandangan terbuka, menyeruput kopi Bali yang khas, menikmati suasana yang jauh lebih tenang dibandingkan hiruk-pikuk Canggu.
Setelah itu, Rayyan mengajaknya ke Pantai Melasti di Uluwatu, tempat dengan tebing-tebing tinggi yang menjulang di pinggir laut. Pasir putihnya halus, airnya jernih kebiruan. Rania melepas sandalnya, menikmati sensasi pasir di kakinya, sementara Rayyan berjalan di sampingnya, sesekali menatap ke arahnya dengan senyum samar.
"Kamu kayaknya benar-benar butuh liburan."
Rania menoleh, mengangkat alis. "Maksudnya?"
"Dari tadi kamu senyum terus, kayak anak kecil yang baru pertama kali ke pantai."
Rania tertawa kecil. "Yaa... mungkin aku memang terlalu banyak mikir selama ini."
“Jangan banyak pikiran aku, Ra. Tenang aja, kita akan selesaikan semuanya setelah kontrak aku sama tempat sekarang aku kerja selesai, setelah itu aku bikin studio fotoku sendiri. Jadi kita punya banyak waktu.”
Berhasil membuat Rania salah tingkah. “Apasih,” ucapnya sambil berlari menjauh dan Rayyan memotretnya.
Setelah puas bermain air di Melasti, mereka pergi ke Seminyak, mencoba naik ATV melewati jalur pasir dan lumpur. Awalnya Rania ragu, tapi Rayyan membimbingnya, membuat mereka berdua akhirnya menikmati sensasi berkendara dengan penuh tawa.
Hingga malam itu, mereka berakhir makan di warung seafood di Sanur, yang jauh lebih murah dibanding restoran mewah di Canggu. Tempatnya sederhana, tetapi rasanya luar biasa.
Rania menikmati kepiting saus Padang dengan semangat, sementara Rayyan fokus dengan ikan bakar dan sambal matah.
"Aku nggak pernah nyangka kamu makannya seantusias ini," komentar Rayyan, menggeleng pelan.
"Namanya juga pecinta makanan," sahut Rania santai. "Kakak gak tahu aja gimana aku antusias sama rsep baru."
Rayyan terkekeh, lalu tanpa ragu menyeka sudut bibir Rania dengan jarinya. "Tuh kan, belepotan."
Rania membeku sejenak, merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Namun, ia segera mengalihkan tatapannya ke piringnya lagi.
Setelah makan malam, mereka kembali ke pantai. Kali ini bukan pantai mewah seperti sebelumnya, melainkan kawasan yang lebih ramai dan murah, dipenuhi suara gelak tawa para turis dan penduduk lokal yang menikmati angin malam.
Rania duduk bersandar, memejamkan mata sebentar, mendengar suara deburan ombak yang tenang. Namun, akhirnya ia sadar waktu sudah terlalu larut.
"Kak, aku harus pulang deh. Kakak jadi anterin aku kan?" tanyanya sambil menatap Rayyan.
Rayyan mengangkat alis. "Ya iyalah, jauh ke Canggu itu."
Rania terkekeh kecil, tetapi ia juga sadar satu hal. "Nanti Kakak ke sini lagi naik apa?"
"Gampang, nggak usah dipikirin," jawab Rayyan santai. Ia lalu berdiri dan meregangkan tubuhnya. "Bentar ya, aku ke kamar mandi dulu."
Rania mengangguk, ditinggalkan di tempatnya sambil tersenyum.
Seharian bersama Rayyan benar-benar membuatnya lupa segalanya.
Mungkin, ini yang selama ini dia butuhkan.
Namun, kebahagiaan itu lenyap saat Rayyan kembali dengan raut wajah penuh rasa bersalah. "Ra, kamu nginep di tempatku aja ya? Aku nggak bisa anterin kamu."
Rania mengernyit, merasa ada yang aneh. "Loh? Kenapa, Kak?"
Rayyan menghela napas, tampak ragu sebelum menjawab, "Ada masalah di studio. Aku harus balik sekarang juga. Kamu nginep di hotel aja ya? Aku yang bayar."
"Gak bisa, Kak. Aku besok banyak kerjaan buat acara," tolak Rania langsung. "Gak papa, aku pulang sendiri aja. Lagian masih rame kok."
"Ih, jangan! Aku khawatir, Ra."
"Ya tapi aku harus balik, Kak. Aku gak bisa nginep sembarangan, masih ada banyak tanggung jawab."
Rayyan terlihat semakin gelisah. "Duh, gimana ya... Aku gak enak ngelepas kamu sendirian."
"Kak, aku bisa jaga diri," ucap Rania mencoba meyakinkan, meskipun dalam hati ia sendiri merasa ragu.
Rayyan masih tampak enggan, tetapi melihat Rania bersikeras, akhirnya dia menyerah. "Ya udah… Tapi kalau ada apa-apa, langsung kabarin aku, oke?"
"Oke," jawab Rania dengan senyum kecil.
Namun, begitu ia meninggalkan Rayyan dan mulai berkendara menuju Canggu, rasa tidak nyaman menyelinap ke dalam dadanya. Pulang tengah malam sendirian? Sial.
Motor melaju perlahan, melewati jalanan yang semakin lama semakin sepi. Awalnya, Rania masih tenang, tetapi setelah beberapa kilometer, ia mulai panik. Ia tidak kenal tempat ini, hanya mengandalkan Google Maps yang suaranya terus mengarahkan. Lampu jalan semakin jarang, dan tidak ada satu pun rumah atau toko yang tampak.
Rania menelan ludah. Lalu, ia merasakan sesuatu.
Ada motor lain di belakangnya. Awalnya ia mengabaikan, tetapi ketika menoleh, perutnya langsung mencelos.
Dua motor. Empat pria.
"Hai, cantik," sapa salah satu pria dari motor sebelahnya.
Rania langsung merapat ke sisi kiri, berharap mereka hanya lewat. Tapi tidak. Motor itu tetap sejajar dengannya, salah satu pria bahkan tertawa kecil.
"Malam-malam begini sendirian? Bahaya loh."
Rania menggigit bibirnya, mempercepat laju motornya. Namun, mereka juga ikut mempercepat.
"Santai aja, kita nemenin!"
Sial. Ini buruk.
Rania menarik gas lebih dalam, mencoba menjauh. Tetapi dua motor itu malah mengepungnya dari dua sisi.
"Jangan kabur, sayang. Kita cuma mau ngobrol!"
"Jangan sentuh gue ya, anjing!" bentak Rania, tangannya gemetar di setang motor.
Mereka tertawa.
"Aduh, galak banget. Makin seksi aja."
Salah satu dari mereka bergerak ke depan, menyalip Rania dan memperlambat lajunya, sementara yang lain tetap di sampingnya.
Detik berikutnya, BRAK!
Seseorang menendang motor Rania.
Rania kehilangan kendali. Motor oleng, tubuhnya terlempar ke aspal.
"Aaaaaahhh!"
Dengkuran mesin berhenti. Sakit menusuk di lutut dan sikunya. Tangan Rania bergetar saat ia mencoba bangkit, tetapi lututnya terasa perih dan lecet.
Keempat pria itu masih mengendarai motor, mendekatinya perlahan. Sengaja mempermainkan.
Rania merangkak, mencoba berdiri, lalu berlari secepat mungkin. "Tolong! Tolong!" teriaknya, matanya mulai berkaca-kaca.
Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada rumah. Tidak ada suara selain langkah kaki mereka yang mendekat.
"Jangan lari dong, manis," ucap salah satu pria dengan nada licik.
Lalu, tiba-tiba— BRAK!
Suara hantaman keras menggema di jalanan.
Rania menoleh.
Dua motor yang tadi mengepungnya kini terguling di jalanan, satu terlempar ke semak-semak, satunya lagi terseret beberapa meter ke depan.
Dan di belakangnya, sebuah mobil berhenti dengan kasar.
Seorang pria keluar. Sosok yang begitu dikenalnya.
"Bapakkkk!"
Suara Rania pecah, ia langsung menangis, kakinya lemas seketika.
Prabu berjalan cepat ke arahnya, tanpa mempedulikan empat pria yang terkapar di jalan. Begitu sampai di hadapan Rania, ia langsung menariknya ke dalam pelukannya.
"Tenang, saya di sini," suaranya rendah, dalam, tetapi ada amarah yang membara. "Tidak apa-apa."
Rania membenamkan wajahnya di d**a Prabu, tangisnya pecah.
Sementara itu, Prabu menoleh ke arah empat pria yang kini mengerang di aspal.
Mati tidak ya?