Rahasia dan Sandiwara

1268 Kata
Prabu Astana Dewangga, pria berusia 35 tahun itu memang memiliki pacar. Hanya saja, hubungannya dengan Mireya sudah dipastikan tidak akan pernah mendapatkan restu dari kedua orangtuanya. Alasannya? Mireya adalah seorang model, wanita mandiri dengan karier cemerlang di dunia fashion dan entertainment. Sementara itu, Ibu Dahayu, seorang perempuan Sunda yang memegang teguh nilai-nilai keluarga, percaya bahwa seorang istri boleh bekerja, tetapi tetap harus mengutamakan kewajibannya sebagai pendamping suami dan ibu dari anak-anaknya. Baginya, peran seorang istri bukan hanya sekadar menemani, tetapi juga harus bisa menjadi sosok yang mengurus rumah tangga dengan penuh dedikasi. Dan yang paling memperparah situasi? Mantan istri Prabu, Nayara, juga dulunya seorang model. Pernikahan itu gagal total. Nayara tidak tahan diatur dan akhirnya memilih kebebasan, meninggalkan rumah tangga mereka, dan bercerai hanya setahun setelah melahirkan Daisy. Bagi Ibu Dahayu, seorang model bukan sosok istri yang ideal untuk anaknya. Tidak peduli sebaik apa pun wanita itu. Itulah sebabnya, Mireya dan Prabu selama ini menjalani hubungan diam-diam. Rania menatap dua orang di hadapannya dengan mata membulat, penuh keterkejutan. Jadi… wanita ini pacar Prabu? Bahkan sebelum dia bisa memproses semuanya, Mireya justru tersenyum santai dan berkata, "Saya sudah dengar tentang kamu kok. Tolong kesepakatan kalian buat jalin hubungan pura-pura Tolong bertahan sampai saya selesai ya.” “Maksudnya, Mbak?” "Beres project film ini, saya akan kembali ke Prabu dan siap untuk go public," lanjut Mireya dengan nada santai. "Untuk saat ini, saya andalkan kamu dulu buat jadi pacar pura-puranya. Sebelum saya pensiun lah.” “Mbak gak takut gitu? Dia nyuruh saya buat datang kesini siapin makan malam loh,” ucap Rania sambil melirik Prabu yang tengah mengawasi pelayan yang membereskan guci pecah. Mireya malah terkekeh pelan. "Ya enggak. Lagian kamu bukan tipe dia." “Tapi kan gak harus jadi pacar pura-pura juga, Mbak?” “Kalau gak gitu, Prabu bakalan dijodohin sama pilihan Ibunya. Saya kan harus selesaikan project film dulu.” Rania terkekeh hambar, canggung. “Tapi, Mbak…. Dengan saya jadi pacar pura-puranya?” sekali lagi mengkonfirmasi apakah pasangan ini benar-benar normal? “Saya bilang kamu bukan typenya, dan juga itu seimbang dengan kamu yang skripsi 2 tahun mangkrak sekarang mau dilanjutin ‘kan? Bukan hal mudah itu, bahkan kamu sempat membuat Mas Prabu ke Rumah Sakit ‘kan?” “Ma-maaf untuk hal itu, Mbak.” Mireya tertawa melihat ekspresi wajah Rania. “Tidak apa, saya juga minta maaf karna melihat adegan yang tidak seharusnya. Saya ini sering keluar kota, jadi seperti ini kalau bertemu.” Kemudian Mireya menatap jam tangannya. “Saya harus pergi sekarang, kapan-kapan kamu masakin saya ya.” “Loh, kemana, mbak? Ini beneran saya… disini?” “Ya memang kenapa? Kasarnya kan kamu Cuma diaggap pelayan kayak orang yang beresin guci itu.” Kali ini kecanggungan Rania langsung lenyap digantikan dengan tatapan wajah mehh… pelayan, katanya. Membuat Rania kesalm dia enggan bertahan jika bukan karena skripsi. Terpaksa harus melihat hal kotor, adegan perpisahan penuh dengan pelukan dan juga ciuman. Sebelum akhirnya benar-benar pergi dan meninggalkan mereka berdua. Rania masih berdiri disana. “Saya minta maaf atas kejadian tadi, Pak,” ucapnya menunduk. “Gak papa, salah saya juga tidak memberitahu hal lain. Tolong kamu masak ya. Oh iya, kamu juga ambil uang jajan dari sana, ongkos kesini.” Kemudian Prabu pergi ke kamarnya, pria itu tampak lelah setelah berpisah dengan Mireya. Rania sampai heran, pria itu tidak menyebalkan seperti biasanya. Tapi mungkin saatnya Rania juga bersungguh-sungguh dengan bagiannya, maka dia memasak makanan terbaik juga, resep dari sang Ibu. *** Dita sebagai penggemar Pak Rektor tampan jelas kaget mendengar Prabu sudah punya anak, mantan istri, dan bahkan sekarang sedang berpacaran. "Astagaa, ternyata model yang ninggal itu mantan bininya?" tanyanya dengan mata membesar. Mereka sedang menikmati sore di kafe yang mulai ramai. Layaknya pengunjung lain, mereka hanya mengawasi keadaan sekitar sambil menikmati minuman masing-masing. "Iya, gue juga kaget ternyata model yang dulu meninggal itu punya anak. Dulu digosipin hamil duluan, ternyata hamil sama rektor kita." "Terus anaknya di mana?" "Gak tahu, gue gak liat anaknya selama ke apartemen beberapa kali," jawab Rania sambil mengaduk es kopinya. Iya, dia sudah pergi ke sana beberapa kali. Menunaikan tugasnya sebagai koki pribadi sang rektor, membuatkan makanan, dan tidak ada lagi perseteruan. Semuanya berjalan layaknya hubungan dosen dan mahasiswa. Tidak ada yang aneh, kecuali fakta bahwa ia masih menjadi pacar pura-pura Prabu di hadapan keluarganya. Untungnya keluarga Prabu juga tidak muncul lagi. “Gak aneh sih, dia ganteng masa gak punya pasangan. Mana gue ngiranya dulu suka laki. a*u banget.” Obrolan mereka terpotong saat Tasha tiba-tiba datang terburu-buru, membawa sebuah buku catatan tua. "Ra! Ra! Lo harus lihat nih!" Rania mengerutkan dahi. "Apaan sih?" Tasha membuka halaman yang sudah ia tandai. "Gue lagi cari resep di bekas rumah makan nyokap lo, eh malah nemu daftar tamu VIP. Pak Prabu masuk, loh. Dia ternyata langganan catering tiga kali sehari." Dita ikut melihat daftar itu dan langsung melotot. "Astaga! Pantesan dia demen banget sama masakan lo! Dari dulu juga ternyata suka sama masakan nyokap lo!" Rania menatap daftar itu, masih sulit percaya. Sejak dulu Prabu ternyata sudah terbiasa dengan rasa masakan yang selama ini ia sajikan. Jadi... itu alasan kenapa pria itu menyuruhnya memasak? "Masih pacaran, Ra, bisa lo pepet lah," saran Dita dengan penuh semangat. Rania hanya mendecak, malas menanggapi. "Gak usah mikir aneh-aneh, gue gak mau diviralin sama ceweknya Pak Rektor. Mana sekarang lagi syuting film Air Terjun Janda." Dita dan Tasha langsung ngakak, tapi Rania tetap serius. "Udah ah, gue mau ke apartemennya dulu sebelum Pak Prabu pulang lebih cepat. Titip kafe, ya." Ia meraih tasnya dan segera pergi. Dengan taksi, ia melaju menuju apartemen Prabu. Sudah terbiasa, jadi begitu sampai, ia langsung masuk menggunakan pin yang sudah diberikan. Prabu belum pulang. Artinya, Rania bisa leluasa melakukan pekerjaannya. Ia membuka kulkas, menimbang-nimbang menu apa yang akan dimasak malam ini, sambil berpikir akan membeli apa sepulang dari sini. Maklum, uang di ATM Prabu masih banyak, dan Rania memang suka jajan. Soal skripsi? Belum ada perkembangan signifikan. Prabu baru meminta dia untuk mempelajari materi lebih dalam sebelum mulai bimbingan minggu depan. Masih ada waktu, jadi sekarang prioritasnya adalah ke café saja. Ia memutuskan untuk membuat nasi tutug oncom, lengkap dengan lalapan segar dan sambal terasi sebagai menu utama. Untuk pendampingnya, ia menyiapkan pepesan ikan mas, ditambah sayur asem agar semakin lengkap. Dessertnya? Colenak, tape bakar yang disajikan dengan kinca gula merah dan kelapa parut. Setelah semua makanan siap, ia menatanya di meja dengan rapi, memastikan semuanya terlihat menggugah selera. Setelah merapikan dapur, Rania bersiap pulang. Namun, begitu ia membuka pintu, jantungnya hampir lompat dari tempatnya. Ibu Dahayu berdiri di depan sana. "Loh, kamu di sini?" suara lembut wanita itu membuat Rania langsung panik dalam hati. Rania buru-buru menunduk dan tersenyum sopan. "Selamat sore, Bu." Ia mencium tangan Ibu Dahayu dengan gugup. "Saya... saya habis masak buat Pak Prabu. Ini mau pulang," lanjutnya, berharap bisa segera pergi tanpa banyak pertanyaan. Namun, Ibu Dahayu tampak santai. "Kok mau pulang? Memang Prabu sudah di sini?" "Be... belum, Bu. Memang biasanya gini," jawabnya, semakin canggung. Saat itu, barulah Rania menyadari sesuatu. Ibu Dahayu tidak sendiri. Wanita paruh baya itu tengah menggandeng seorang anak perempuan kecil, berusia sekitar lima tahun, dengan rambut hitam lurus yang diikat dua. Bocah itu memandangi Rania dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu, sebelum akhirnya bertanya, "Eyang, ntuu sapa?" Ibu Dahayu tersenyum lembut pada cucunya. "Ini Bundanya Daisy." “Bunaaa? Sisy puna bunaa?” “Punya dong, itu Bundanya Daisy, Pacarnya Ayah Prabu.” Rania refleks ingin membantah, tapi sebelum sempat membuka mulut, anak itu langsung melepaskan tangan Ibu Dahayu dan berlari memeluk kaki Rania. "Bunaaaaa!" Rania mematung. Apa-apaan situasi ini?!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN