Bab 12. Terpaksa Berbohong

1171 Kata
Akhir-akhir ini, semenjak Nathan dan Nala dimasukkan ke sekolah taman kanak-kanak, ada saja pertanyaan yang diajukan mereka berdua pada Zara, dan yang paling utama mengenai ayah mereka. Semuanya, berawal mereka melihat kebersamaan teman-temannya bersama ayahnya. Belum lagi kadang ada saja teman mereka bercerita mengenai kegiatan atau kebersamaan mereka dengan ayah dan ibunya. Semula Nathan dan Nala percaya jika ayah mereka bekerja di daerah yang begitu jauh seperti yang Zara ceritakan, dan dengan berlalunya waktu si kembar tampak biasa saja. Namun, tidak berlaku saat mereka sudah mulai bersekolah. Sedikit demi sedikit pastinya mereka ingin tahu sosok ayah, sosok pria dewasa yang mereka dengar bagaikan pahlawan dari cerita teman-temannya. Apalagi ada dorongan di hati Nathan, saat ada beberapa teman di rumahnya membully karena ia tidak memiliki sosok seorang ayah. Zars menarik napasnya sebelum menanggapi pertanyaan Nathan, dan berusaha untuk tetap tenang. “Nathan, Nala, daddy tidak bisa pulang buru-buru. Daddy kerja di kapal yang ada di lautan sana. Buat telepon daddy aja susah, nanti Mommy akan bilang ke bu guru kalau daddynya Nathan dan Nala sedang bekerja, sebagai gantinya Mommy yang akan menemani kalian berdua pas acara ya,” ujar Zara begitu lembut. Nathan nampak menghela napas kecewa, lalu membuang mukanya menatap mainnya. “Telus apan daddy puyang? Emangnya daddy ndak angen cama Nathan dan Kak Nala?” tanya Nathan begitu lirih, seakan menunjukkan jika ia ingin sekali melihat wajah ayahnya, hanya saja terbentur dengan seribu alasan yang dibuat mommynya. Zara menggigit bibirnya, ucapan bocah tampan itu cukup menohok dan tanpa disadari ia harus siap menghadapi hal seperti ini. Mungkin tidak sekali dua kali, tapi bisa ribuan kali hingga sampai diujung titik lelahnya. Anak pasti akan selalu tumbuh besar, emosi dan logikanya mulai jalan untuk berpikir. Wanita itu mengusap lembut pucuk kepala Nathan. “Sayang, nanti Mommy akan coba hubungi daddy. Semoga bisa cepat pulang ya, daddy juga pasti sangat rindu sama Nathan dan Nala. Jadi, Mommy minta jangan sedih ya,” bujuk Zara, lagi-lagi ia berdusta. Sementara Hesti yang mendengarkan mendesah pelan. “Nathan, Nala, bagaimana kalau ikut Tante ke indoapril yuk. Tante mau jajan es krim nih,” ajak Hesti, memecahkan suasana yang kurang nyaman saat ini. Jika didiamkan berlarut-larut bisa-bisa si kembar menangis, mendesak Zara dengan beragam pertanyaan mengenai ayah mereka. Padahal kenyataannya sampai kapan pun Zara akan menutup rahasia mengenai ayah mereka. Nathan dan Nala serempak menengadahkan wajahnya. “Beli es krim, Ante?” tanya Nala mengulanginya, takut salah dengar. “Yoi, kita beli es krim dulu yang banyak. Ayo siapa yang mau ikut Tante,” ajak Hesti sembari beringsut dari duduknya di atas karpet. Begitu pula disusul si kembar dengan ekspresi wajahnya yang langsung ceria, tidak sendu seperti tadi. “Ante, Nathan oleh minta dua ya es klaimnya,” pinta Nathan dengan menunjukkan kedua jari mungilnya. Sahabat Zara itu tersenyum tipis. “Mau beli 10 juga bakal Tante belikan kok, Nathan, asal jangan dimarahi sama mommy aja,” balas Hesti sembari mengedipkan matanya pada Zara. Zara menggelengkan kepalanya seraya beranjak dari duduknya. “Jangan banyak-banyak belinya Hesti, nanti mereka bisa batuk,” ujar Zara sembari menepuk bahu Hesti dengan tatapan terima kasihnya. “Tenang aja, mereka berdua paling hanya sanggup makan dua, dari pada mereka bertanya mana bapaknya,” balas Hesti agak sedikit berbisik. Zara tersenyum getir dan anggukan pelannya, lantas membiarkan kedua makhluk kecilnya mengikuti langkah Hesti. “Huft, ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Maafin Mommy, Nathan, Nala. Daddymu pun tidak akan mau menerima kehadiran kalian berdua. Itu akan semakin menyakitkan buat kita bertiga. Kita masih bisa hidup bahagia hanya bertiga, tanpa daddy. Mommy akan cari cara agar kalian berdua tidak menanyakan,” gumam Zara seraya berpikir keras mencari jalan keluar. Jalan keluar apa yang akan ditempuh oleh Zara? Apakah ia akan mencari sosok pria yang mau berpura-pura untuk menjadi sosok daddy untuk si kembar? Atau akan berterus terang pada Davendra? Ah, untuk solusi yang terakhir mungkin akan sangat ia hindari, apalagi dengan ucapan Davendra di telepon. Sementara itu di hotel, menjelang malam. Keluarga Davendra dan keluarga Camilia sama-sama berada di restoran yang ada di hotel untuk menikmati makan malam bersama. “Kak Dave, aku udah bilang sama ibu dan ayah, kalau kita ada niatan untuk membeli rumah baru untuk mereka, jadi nggak perlu tinggal di gang sempit lagi,” ujar Camilia dengan wajahnya tampak sumbrigah, sedangkan Davendra tampak bingung dengan ucapan Camilia. Kapan ada pembicaraan mau membeli rumah untuk kedua orang tua Camilia? “Alhamdulillah Nak Dave, Ibu sangat bersyukur kalau kamu mau membelikan rumah baru buat Ibu dan Ayah, kebetulan Ibu naksir salah satu rumah di Green Like View, harganya juga tidak mahal, hanya lima milyar. Barusan Ibu sama Camilia sempat ke sana,” balas Farida—ibunya Camilia. “Mmm.” Davendra bergumam, sembari tersenyum kikuk pada calon mertuanya, sedangkan Camilia bergelayut manja seraya menunggu pesanan makan malam mereka disajikan. “Resmi jadi suami istri aja belum, udah disuruh beli rumah, hebat,” batin Meyda berpura-pura meneguk teh hangatnya yang baru saja disajikan oleh waiters. Farida mengalihkan pandangannya ke arah calon besannya yang tampak sederhana penampilannya, namun sangat memukau jika dipandang. Berbeda dengan penampilan dirinya yang sudah menggunakan pakaian mahal tetapi tetap saja kesan sosial menengah ke atasnya tidak ada di dirinya. Justru kelihatan sekali wong desonya. “Bu Meyda, saya sangat bahagia bisa memiliki menantu seperti Nak Dave, selain tampan, terkenal tapi begitu royal pada kami. Terima kasih banyak Bu Meyda beserta suami mau menerima kami menjadi besan,” ujar Farida dengan ramahnya. Ya, Davendra sangat tampan, kaya raya, anak dari keluarga sultan Turki. Tetapi sayangnya ia tidak sempurna yang dilihat secara tampilannya, masih banyak kekurangan yang ada didirinya. Nyatanya sampai sekarang ia tidak bisa memecahkan kasus kejadian lima tahun yang lalu. Namun, wajarlah, manusia memang tidak ada yang sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Allah. “Belum menantu, Bu, tapi baru calon menantu.” Meyda meralat ucapan Farida dengan tegasnya. “Eh.” Farida tersenyum kikuk, mendadak salah tingkah. “Tapi beberapa bulan lagi mereka juga akan menikah ‘kan, Bu Meyda, jadi sama saja,” ujar Farida membuang rasa kikuknya yang sempat menyergap hatinya. “InsyaAllah kalau mereka berjodoh semoga dimudahkan jalannya. Jika nyatanya tidak berjodoh, kita harus menerima dengan lapang d**a. Manusia punya rencana, tetapi Allah pula yang menentukan hasil akhirnya. Untuk saat ini kita jangan terlalu pongah usai acara pertunangan anak kita, Bu Farida. Banyak berdoa, bukan banyak meminta pada Davendra,” sindir Meyda dengan halusnya. Tamparan telak buat Farida dan Camilia, memangnya Meyda tidak tahu jika bulan kemarin baru saja Davendra membelikan mobil mewah atas permintaan Camilia untuk kedua orang tuanya. Dan sekarang terang-terangan Camilia minta rumah baru untuk orang tuanya kembali. Di mana letak attitude Camilia menjaga perasaan orang tua Davendra, yang memang tidak akan iri karena mereka sudah memiliki semuanya. Namun, ini seperti aji mumpung pikir Meyda. “Mah,” panggil Davendra merasa tidak nyaman. Wanita paruh baya itu menolehkan wajahnya. “Kenapa Dave? Kamu tersinggung dengan ucapan mama barusan? Takut calon mertua kamu tersinggung?” cecar Meyda dengan tenangnya, tanpa meninggikan suaranya. Camilia mendengkus kesal, lalu menarik tangannya yang sempat bergelayut manja di lengan tunangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN