23: Efek Kupu-kupu [B]

1107 Kata
* Sampailah kedua anak muda laki-laki itu di hadapan sebuah rumah yang memiliki ukuran halaman depan cukup besar. Mengusung konsep American Style Farm House dengan dinding kayu bertumpuk. Berwarna hijau toska super muda dengan kusen pintu juga jendela berwarna putih yang sangat menyegarkan mata. Seperti batu giok mencolok jika dibanding dengan suasana suram serta cenderung biasa di sekitarnya. Pemandangan indah akan gaya arsitektur kediaman keluarga Susi. Membuat Gio (yang beberapa waktu terakhir telah menyaksikan banyak hal kurang menyenangkan) seolah tersapu bersih dosa-dosa matanya. Ia seperti sedang berada di latar syuting film bertema kehidupan American Next Door. Seperti yang berjudul Let Him Go atau The Devil All The Time contohnya. Tapi, versi jauh lebih bagus, mewah, berkelas, serta terawat saja. Susi tersenyum geli melihat reaksi norak sekali Gio. Yah, dia bukan yang pertama juga, sih. Orang yang tidak tinggal di daerah sini dan kebetulan melihat rumahnya (maksudnya rumah orang tuanya) memang kerap kali bersikap “kampungan” seperti itu. Bangunan rumahnya sendiri termasuk salah satu “mahakarya” arsitektur daerah tersebut. Walau juga banyak rumah besar dengan berbagai desain menawan lain sekitar sana. Bangunan ruma itu tetap terasa paling istimewa karena terkesan berani menabrak kebiasaan desain rumah kebanyakan di daerah itu. “Udah, ah. Makin jelek… maksudnya makin pucat begitu mukamu lihat rumahku," ucap Susi. Ia membatin, khu khu khu, padahal kamu belum lihat bagian dalamnya. "Buruan masuk aja, yuk,” ajak penuda itu kemudian. Ramah. Ia tidak sabar melihat reaksi kagum lain setelah anak itu melihat desain bagian dalam rumahnya. Gio pun menapaki jalan setapak berbatu menuju pintu masuk kediaman itu. Sehari-hari Susi memang tipe anak yang punya style berpakaian cukup sederhana. Kaus entah apa mereknya, celana jeans ala kadarnya, dan kets yang, yaahh, biasa saja, lah. Bukan seri terbatas dengan harga mahal seperti yang Gio kenakan. Cukup mengejutkan mengetahui ternyata ia berasal dari orang tua kaya yang memiliki kediaman sebesar dan se-instagramable itu. Cklek. Pintu terbuka. Keduanya masuk. Gio lagi-lagi terpana oleh design interiornya. Memiliki entryway yang mengusung warna netral. Memiliki kesan menyatu dengan alam. Lampu gantung berbentuk tabung berwarna putih gading. Ornamen kayu dengan warna cokelat gradasi yang menempel di langit-langit. Sofa ruang tamu berwarna abu-abu ditambah banyaknya ornamen kayu. Membuat siapa pun yang ada di dalamnya seolah tengah menyatu dengan alam di tengah hutan. Kesan itu turut diperkuat keberadaan karpet klasik yang memiliki warna dan corak senada dengan warna kayu yang digunakan. Ditambah figura yang membingkai beberapa buah lukisan klasik. Menambah kesejukan sekaligus kehangatan ruangan di lantai pertama kediaman tersebut. Warna deep green yang cukup kontras dengan warna kalem di sekitarnya membuat ruangan dengan konsep urban farmhouse itu berkesan megah. Mulai dari penempatan meja makan multifungsi berbahan dasar kayu. Kesan modern semakin tercipta berkat pemilihan bahan flooring terang dan mengkilap seperti keramik. Cat dinding gelap juga meja vinyl di salah satu sisi menambah nilai estetika ruang tengah. Usai mengagumi keindahan interior lantai pertama yang sampai tidak seperti rumah tinggal manusia saking rapi, bersih, dan indahnya. Kedua pemuda itu beranjak ke lantai dua alias tempat kamar Susi berada. Nuansa kayu masih menjadi sesuatu yang mendominasi di sana. Tempat tidur berdesain vintage yang terdapat di sisi karpet rajut berwarna broken white. Selain itu juga warna-warna “mencolok” seperti deep green masih ada menghiasi salah satu sisi dinding kamar. “Sus,” panggil Gio datar. Susi tersenyum puas. Tidak sabar menunggu kalimat pujian juga kekaguman meluncur keluar dari mulut anak itu. Ia sok bertanya, “Kenapa?” ”Kalau boleh jujur, ya. Desain arsitektur dan interior rumah kamu jauh lebih rapi timbang gaya berpakaianmu,” komentar Gio. Lagi-lagi. Datar. Plaak plaak plaak. Susi tersenyum sambil asyik mengeplaki batok kepala Gio. Gio-nya juga diam saja pasrah diperlakukan seperti itu. Kalau boleh jujur. Apa pun yang akan Susi lakukan ia akan menerima. Karena sudah diberi kesempatan akhirnya merasakan ketenangan. Setelah teror serta rasa takut nyaris tak berkesudahan. Di lingkungan tempat tinggal baru yang ia kira akan nyaman. Eh, kok dia diam saja, sih. Jadi tidak asik, deh, batin Susi malah jadi canggung. Ia membanting tubuh di sofa berwarna deep green. Melihat bagaimana Gio masih tampak berdiri. Terdiam tanpa kata seraya menengadahkan kepala. Walau sejuta tanya menggelayuti perasaan Susi. Pemuda itu tak akan membiarkan kekepoan menghasilkan sikap kurang sopan. Walau mereka tengah berada di rumahnya sendiri sekalipun. Ia akan tetap menghargai batasan wilayah privasi pemuda di hadapannya. “Bro, mau makan cemilan tidak? Sudah lapar atau belum?” tanya Susi sembari memeriksa gawai. Hanya sedikit mengalihkan pandangan. Gio menjawab, “Kan kamu tuan rumahnya, Sus. Aku sih mengikuti saja kamu maunya bagaimana. Tau sendiri kan aku bukan tipe orang yang suka makan.” Pantas aja makin hari badannya semakin kurus. Wajahnya juga kelihatan makin tirus. Padahal waktu pertama ketemu jauh lebih berisi dan bagus, batin Susi. Ia pun mendirikan tubuh. Mengenakan jaket yang tergantung di triangle stand hanger. Berkata lagi, ”Kalau begitu kamu menenangkan diri saja dulu di sini. Tenang saja rumah sedang kosong, kok. Orang tuaku paling juga baru akan pulang nanti malam.” ”Kamu mau ke mana?” tanya Gio. “Pergi ke minimarket. Ingin berbelanja cemilan yang banyak agar malam ini kita bisa bersantai. Nyalakan saja televisinya kalau bosan. Ada Netflix di sana tinggal pilih mau nonton apa,” tawar Susi rendah hati. Sikap yang sangat terpuji. Tapi, di saat yang sama juga buat bulu kuduk berdiri. Dengan tampang takut Gio langsung memeluk tubuhnya sendiri. Bertanya untuk antisipasi, ”Kamu ingin melakukan apa padaku, bro. Aku masih suka sama cewek, lho.” “Eeehh, b*****t sekali kamu,” balas Susi dengan wajah datar. Menutup pintu kamar dari luar. Blaam. Tertinggallah Gio sendirian. Duk. Ia jauhkan kedua lutut di lantai kayu. Menundukkan wajah menatap garis-garis serat kayu yang entah asli atau palsu. Sepulang dari kampus bisa merasakan ketenangan seperti ini terasa bagai mimpi. Mimpi yang bayangannya saja tak akan bisa ia dapatkan jika berada di tempat itu. Kampung terkutuk itu. Dengan kedua telapak tangan gemetar. Ia keluarkan gawai dari dalam tas. Berkali-kali ia buka dan tutup lagi kontak atas nama papanya di sana. Bukan tenang dirasa malah kegundahan semakin merajai jiwa. Haruskah aku hubungi dia? Iya? Tidak? Haruskah aku hubungi? Iya? Tidak? Haruskah aku hubungi? Iya? Tidak? Haruskah aku hubungi? Iya? Tidak? Haruskah aku hubungi? Iya? Tidak? Haruskah aku hubungi? Iya? Tidak? Haruskah aku hubungi? Iya? Tidak??? Pertanyaan yang sama sudah beberapa minggu terakhir terus bergelayut dalam perasaan pemuda itu. Di satu sisi ia benar-benar ketakutan oleh segala teror yang ia alami di kampung Tangga Teparo. Tapi, di sisi lain ia juga ingin tetap hidup terpisah dari “keluarga” baru sang papa. Tapi, di sisi lain lagi ia merasa hanya bisa mendapatkan rasa aman dari pria itu. Manakah yang akan ia pilih pada akhirnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN