16: Bersitegang [A]

1159 Kata
Gio hanya bisa terus berteriak dan meronta sejak pertama kali menyaksikan seorang makhluk dengan rupa mengerikan yang menempel seperti seekor cicak di langit-langit kamar. Ditambah kedua tangan dan kaki yang terikat kuat ke pinggiran tempat tidur. Membuat ia tak mampu melarikan diri. Apalagi berusaha memberi perlawanan. Alhasil ia pun terus menyaksikan rupa itu. Yang mana tidak peduli selama apa pun ia berusaha ”membiasakan” diri pada pemandangan di depannya. Ia tetap tak bisa beranjak terbiasa. Kehilangan kesadaran seolah menjadi merupakan satu-satunya jalan keluar. Dari pengalaman mengerikan yang tengah ia alami. * Dari balik daun pintu kamar putra Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. Tengah berdiri Romo Bartolomeus yang mengamati situasi agar tak sampai melewati prediksi. Sebenarnya secara khusus Gio Sr. memang meminta ia untuk mengawasi ”Si Junior”. Karena dirinya sendiri masih berada dalam tahap pemulihan. Setelah ”menaruh” pengawal untuk melindungi sang putra satu-satunya. Ia merasa tidak lagi yakin mampu bertahan sendiri. Jika sampai sesuatu tak terduga berhasil menyusup kembali. Semua yang habis ia alami ini memang murni kesalahannya. Gio Sr. menyadari betul hal itu. Karena sikap yang sedikit naif juga kekanak-kanakan. Itu kenapa ia tak ingin melakukan apa pun lagi sebelum benar-benar pulih. Situasi di kediamannya saat ini ia akui masih sangat rawan. Itu kenapa sikap naif harus dikesampingkan. ”HAAAAAAAKKKHH! HAAAAAAAAKKKHH! HAAAAAAAAAKKKHH!” Kala ia kembali mendengar teriak ketakutan ”Si Jr.”. Romo Bartolomeus memegang dagu seraya berpikir, ”Apakah tidak ada jalan lain yang bisa diambil untuk melindungi anak itu?” tanyanya. ”Masalahnya…” * Di kamar tidur pribadi Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. yang berbeda dengan ruangan tempat sang istri yang masih tidak sadarkan diri berbaring. “Kenapa malah kamu yang jadi naif seperti ini, Gili?” tanya Gio Sr. lemah. Latar kulit wajahnya masih begitu pucat dengan bibir kering pecah-pecah. Romo Bartolomeus menutup wajahnya yang tampak tidak nyaman kala mendengar panggilan pria di hadapan. ”Jangan panggil aku lagi dengan nama itu!” pintanya. “Kenapa? Aku sudah memanggilmu seperti itu sejak pertama kali kita bertemu bertahun lalu. Karena nama ‘Bartolomeus’ itu terlalu panjang untuk lidahku yang pendek ini,” tanya Gio Sr. pelan. Hhh. “…” Gili sendiri memang nama panggilan yang kerap Gio Sr. gunakan. Untuk memanggil dirinya sejak mereka berdua masih sama-sama muda dulu. Gili merupakan nama dari bahasa Ibrani yang memiliki makna kebahagiaan abadi. Nama yang diharapkan oleh kedua orang tuanya. Mampu menjadi doa yang memberi manusia yang baru mereka lahirkan. Kesenangan juga kepuasan sepanjang hidup. Agar bisa terus bersyukur pada Tuhan juga membagikan kedamaian serupa pada orang lain di sekitar. Namun, tampaknya doa sepasang suami istri baik hati itu. Ya hanya berakhir sebagai ucapan belaka. Boro-boro mencapai singgahsana Tuhan di langit ketujuh sana. Rasanya menembus atmosfer saja tidak. Karena ia tumbuh besar menjadi sosok yang benar-benar berbanding terbalik dengan yang kedua orang tuanya harapkan. Sangat mengecewakan. Terlampau menyedihkan. Romo Bartolomeus menjawab, ”Sudahlah, itu tidak penting. Yang jelas kau harus mencari alternatif lain untuk melindungi Si Junior tanpa perlu membuat ia merasakan penderitaan seperti itu,” ucapnya mengulang nasihat. Gio Sr. membuang muka. Berkata, ”Aku tidak peduli penderitaan maupun rasa sakit macam apa yang akan ia lalui setelah ini. Yang jelas aku mengambil keputusan paling ideal yang bisa kebijaksanaanku pikirkan. Sebagai seorang ’giorsal’. Juga sebagai papa kandung Si Jr. Ini adalah yang terbaik.” ”TUAN GIO!” panggil Romo Bartolomeus meninggikan oktaf suara. Walau tidak setinggi itu sampai mengisi seluruh udara. Bagaimanapun juga ia masih menaruh segan pada pria di hadapannya. Tidak peduli siapa ia dulu maupun kini. Gio Sr. mengayunkan telapak tangan pelan. “Sudahlah, tidak akan ada efeknya kau mau memanggil aku dengan tambahan honorifiks apa pun juga. Bahkan kalau situasi semakin di luar kendali. Aku benar-benar tidak akan segan untuk mengamputasi kedua tangan dan kaki Si Junior.” Romo Bartolomeus tampak semakin panik. Ia pegang kedua belah pundak pria itu yang tengah menyender di tumpukan bantal. Ia gelengkan kepala cepat sebelum mulut dapat terucap. ”Keputusanku sudah bulat. Tidak bisa lagi diganggu gugat,” ucap Gio Sr. yakin. “Non non, non. Hoc non faceres, D. Gio. Certus sum, quin etiam enucleare debeas iam intellego quale periculum immineat puero si perseveres et laesura. Tuus ille unicus biologicus filius, vox? Non amas illum? (Tidak, tidak, tidak. Kau tidak akan melakukan hal itu, Tuan Gio. Aku yakin tanpa perlu dijelaskan pun kau pasti sudah paham bahaya macam apa yang tengah mengancam anak itu jika terus kau tahan dan sakiti. Dia adalah satu-satunya putra kandungmu, bukan? Tidakkah kau mengasihi dirinya?)” tanya Romo Bartolomeus dalam bahasa Latin. Salah satu jenis bahasa asing yang kerap mereka gunakan untuk berkomunikasi saat masih muda. Tanpa disadari alam bawah sadar Romo Bartolomeus membuat ia menggunakan bahasa itu. Agar lebih terjalin ”bonding” (kedekatan) di antara mereka. Agar pria beranak tiga di depannya bersedia merubah keputusan yang ia percaya. Padahal tidak akan ada gunanya juga. SREET. Gio Sr. dengan tangan yang masih lemah. Menarik pakaian Romo Bartolomeus agar pria itu dekatkan lagi tubuhnya. “Quam? Non cogitas quod dixi? (Bagaimana? Tidakkah kau memikirkan apa yang aku ucapkan?)” tanya Romo Bartolomeus. Penuh harap. ”Tam stultus es (Kau sangat bodoh),” umpat Gio Sr. pelan. Glek. “…” “Nunc iam non sum in animo ad solam prioritatem meam salutem. Item c*m unico filio biologico. Natus est in mundo spiritus et specimen quod pater implere non potuit (Saat ini aku sudah tidak lagi berada dalam pikiran untuk hanya mengedepankan keselamatan diri sendiri. Begitu juga dengan satu-satunya putra kandungku. Ia terlahir ke dunia untuk melanjutkan semangat juga cita-cita yang papanya ini tak mampu wujudkan),” ucap Gio Sr. Seraya menekankan pada kalimat bernada, “…creo (…aku wujudkan).” Romo Bartolomeus membelalakkan kedua mata. Ia hela nafas tanpa suara. Hhhh. ”Non potuisti implere votum tuum et iam sacrificas pro eo filium tuum. Etiamsi faciliores sunt facultates, si iisdem cogitationibus pergis perseverare (Kau tidak mampu mewujudkan harapanmu dan sekarang malah menumbalkan putra kandungmu sendiri untuk harapan itu. Padahal ada kemungkinan yang lebih tidak bisa dibayangkan jika terus bertahan dengan pikiran serupa)” Gio Sr. tetap bersikeras dengan pendiriannya, “Non paenitebit me. Puer ille in oculis huius par Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika erit in oculis reliquis vitae suae. Natoque libero numquam. Etiamsi omnis inhibitio paulatim sani- tatem exedit. Manet omnia. Nil mutabit consilium (Aku tidak akan mengubah pikiranku. Anak itu akan terus ada dalam pengawasan sepasang mata Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika ini untuk sepanjang hidupnya. Ia tidak akan pernah merasakan kebebasan. Bahkan jika setiap kekangan akan sedikit demi sedikit melunturkan kewarasan. Semua tetap tidak akan berubah. Tidak akan ada yang bisa merubah keputusan itu). “Tu melius me desere, Gili. Plus temporis solum opus (Sebaiknya kau tinggalkan aku, Gili. Aku butuh lebih banyak waktu untuk sendiri),” pinta sang tuan rumah. Romo Bartolomeus pun menuruti apa yang pria di atas ranjang inginkan. Ia keluar dari kamar itu dengan perasaan tercampur aduk. Entah apa yang saat itu sesungguhnya ia rasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN