Seperti perjanjian sebelumnya, Alina dan Sakya kini duduk bersama di sebuah meja yang tersedia berjejer di taman kota. Beberapa buku terbuka didepan mereka.
Alina diam sambil bertopang dagu memperhatikan Sakya yang tengah mengerjakan soal. Jujur ia agak terkejut dengan Sakya yang nyatanya tidak seburuk yang ia pikirkan sebelumnya berdasarkan nilai ujian. Memang awalnya Sakya kebingungan dengan berbagai materi dasar, namun saat Alina coba menjelaskan sedikit, Sakya langsung paham dan bisa menelaah materi lainnya dengan sangat cepat. Sudah jelas, Sakya ini bukan bodoh, tapi sebelumnya hanya memang tidak niat saja.
"Udah nih, gini kan?" Sakya yang selesai mengerjakan sebuah soal matematika pendek namun jawabannya lebih dari satu halaman itu ia perlihatkan pada Alina yang sebelumnya juga mengerjakan soal yang sama namun sudah selesai terlebih dahulu.
"Hasilnya sama, berarti kita bener. Yeay!" Alina tersenyum senang serta puas karena ini adalah soalnya yang cukup rumit untuk diselesaikan.
"Yeah!" Sakya ikut senang sambil bertepuk tangan dengan Alina karena merasa sudah memiliki sebuah pencapaian yang luar biasa.
"Untuk hari ini kayaknya udahan deh."
"Lah kok udahan?"
Alina menatap Sakya lelah, "emang kamu ga capek? Kita udah belajar dua mata pelajaran hari ini. Bahkan lihat, berapa jenis soal matematika yang kita selesaikan," gadis itu menunjukkan banyak lembaran yang sudah berisi rumus dan angka.
Sakya tertawa sambil melihat ke sekitar yang tadinya sepi sudah mulai ramai, "ah benar juga, ini sudah sore."
"Ish, kamu bilang nggak sanggup belajar lama, nyatanya malah ketagihan. Dengan kemapuan kamu ini aku ga percaya kamu bisa dapat nilai yang buruk seperti kemarin."
Sakya tertawa, "kan aku baru belajar sekarang Alinaaa."
"Bukan gitu, kamu dari awal nggak seburuk itu."
"Udahlah, yang penting kita lihat next ujian aja. Toh yang kemarin cuma ujian coba-coba. Thanks ya Lin, udah mau bantu." Ujar Sakya agak malu pada Alina.
"Ga papa kok, aku seneng kok. Sambil belajar juga."
"Belajar apalagi sih? Kamu kan udah pinter."
"Sepinter apapun itu, aku kan bisa aja lupa. Ga ada yang sia-sia." Alina tersenyum sambil menyeruput minuman dingin miliknya.
Sakya mengangguk, "oh iya, kamu kesini dikasih ijin sama orang tua kamu? Maaf sebelumnya, tapi dari gimana Iyan pernah cerita, sepertinya orang tua kalian sedikit keras."
Alina tersenyum miring, "boleh kok, kan aku ijinnya pergi belajar."
"Hoo, syukurlah kalau begitu."
"Hm Sakya, aku boleh nanya nggak?" Alina seperti akan bertanya serius tapi ragu.
"Nanya apa?"
"Waktu itu kamu bilang nggak bakal lanjut kuliah, apa itu bener?"
Pertanyaan Alina membuat Sakya terdiam hingga akhirnya menghela napas pendek, "iya."
"Kenapa?"
"Bukankah orang sepertiku akan sia-sia kalau kuliah? Menyelesaikan SMA saja aku seperti ini."
Alina menggeleng, "sia-sia gimana? Kamu hanya perlu untuk sedikit lebih serius dan berada di jurusan yang memang kamu senangi. Aku yakin kok kamu bisa jauh lebih baik."
"Kuliah itu bukan sebuah kewajiban kan? Untuk orang sepertimu itu memang seharusnya demikian. Aku tidak ingin menyulitkan bunda, kami tidak punya cukup uang untuk sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak yakin untuk melakukannya."
Ucapan Sakya membuat Alina merasa agak bersalah, "apa kamu punya rencana lain?"
Sakya menyisir rambutnya ke belakang dengan tatapan jauh ke depan, terlihat ia seperti sedang memikirkan banyak hal, "bunda kesulitan mencari uang sendiri, ia bahkan sangat sibuk dan tak punya waktu untuk dirinya sendiri sejak ayahku tiada. Aku akan membantu sepenuhnya di toko dan mencari pekerjaan lain. Aku ingin adikku bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik nantinya karena kapasitas otaknya sangat jauh dibandingku dan tak boleh disia-siakan."
"Andari beruntung sekali punya kakak yang sangat perhatian sepertimu."
Sakya menggeleng sambil tertawa, "tapi itu pasti tidak sebanding dengan sikap menyebalkanku padanya. Dia sering bertanya kenapa dia harus menjadi adikku."
Alina ikut tertawa melihat Sakya yang bergerak merapikan buku di meja, "lalu bagaimana dengan bakatmu dalam menyanyi? Kamu sangat baik dalam hal itu."
Sakya mengangguk dengan wajah agak canggung, "disisi lain aku ingin mengembangkannya. Satu-satunya hal yang membuat hidupku b*******h hanyalah musik."
"Terlihat jelas, saat bernyanyi kamu tampak seperti sosok yang berbeda."
"Oh ya??"
Alina mengangguk dengan cepat, "kamu seperti pangeran yang datang dari negeri entah berantah dengan pesona yang luar biasa."
Penjelasan Alina membuat Sakya tertawa lebar, "kamu berlebihan sekali."
"Ih seriussss!! Bahkan kamu memiliki banyak fans karena itu. Kemarin saat kamu tampil di kafe sebagian besar wanita yang hadir disana seperti jatuh cinta padamu." Alina menjelaskan tapi ujungnya terlihat tak suka.
"Pantas saja setiap aku selesai tampil selalu ada yang meminta kontakku." Sakya memberi tahu dengan santai tapi membuat Alina semakin tak senang.
"Kamu kasih!?"
"Cuma kasih tahu nama i********: aja, lumayanlah demi menambah follower, tahu aja nanti bisa jadi selebgram," canda Sakya pada Alina yang masih saja memasang wajah serius.
"Kalau kamu beneran jadi penyanyi dan terkenal, pasti akan sulit sekali untukku."
Sakya mengerutkan dahinya menatap Alina, "aku yang jadi penyanyi kenapa kamu yang kesulitan??"
Alina balas menatap Sakya dengan wajah sedih, "sekarang saja aku sakit hati melihat para wanita terus memujimu dan menyukaimu, apalagi nanti? Aku harus belajar sabar dari sekarang."
Mendengar Alina langsung membuat Sakya geleng-geleng kepala, "kamu kenapa sih Lin?"
"Ya kamu mana paham jadi aku yang cemburuan walau ga punya status apapun? Astaga kok kalau dipikirin aku menyedihkan sekali ya?" Alina tersadar dan mengusap d**a sendiri coba menerima semuanya dengan lapang d**a.
Sakya garuk kepala, "kamu kenapa sih?"
"Orang udah dibilang aku suka kamu, ya tapi kan kamunya ga suka. Yaudah aku mencoba sabar aja. Yang penting aku udah ada deket kamu aja udah bersyukur, selagi kamunya juga ga sama cewek lain, aku juga akan baik-baik saja." Alina mengangkat alisnya sembari tersenyum pada Sakya.
Sakya menahan tawanya mendengar penjelasan Alina, "kamu sendiri mau lanjut kuliah dimana? Luar negeri ya? Aku dengar umumnya anak-anak pintar di sekolah kita banyak yang akan lanjut ke luar negeri, terlebih umumnya mereka yang kaya dan ada banyak tawaran beasiswa."
Pertanyaan Sakya membuat Alina terdiam dan kembali ingat dengan masalahnya sendiri.
"Hey!? Kamu melamun?" Sakya menjentikkan jari di depan Alina yang sejak tadi diam dengan tatapan kosong, "nanti kesambet loh."
Alina tersadar dan dengan cepat menggeleng, "aku bingung."
"Bingung??"
"Semua orang seolah menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan." Alina bercerita dengan wajah lesu.
"Hm.., apa ada masalah?"
"Orangtuaku menyuruhku kuliah bisnis ke luar negeri, guru di sekolah juga merekomendasikan berbagai hal yang seolah memaksa dan membuatku tidak nyaman."
Sakya mengerutkan dahinya bingung, "pasti rekomendasi guru sesuai prestasimu, dan itu juga sejalan dengan permintaan orang tuamu. Kamu luar biasa dalam bidang ekonomi dan sejenisnya kan? Aku tidak menemukan permasalahan di dalamnya."
"Saat kita baik dalam satu hal, itu bukan berarti kita senang dalam hal itu."
"Tunggu! Apa artinya kamu tidak ingin melanjutkan dalam bidang yang selama ini kamu geluti dengan sangat baik? Ini tidak masuk akal! Kamu menyia-nyiakan semua prestasimu? Terus selama ini kamu ngapain?"
Alina tertunduk karena tidak yakin memberikan jawaban apa atas pertanyaan Sakya, "aku hanya melakukan permintaan mereka. Aku memang baik dalam hal itu, tapi keinginanku bukan disana."
"Wah Alina, kamu sangat mengejutkan."
"Pihak sekolah terus mendesakku, dan saat di rumah orang tuaku menekanku. Saat bicara dengan teman-temanku mereka bilang aku aneh."
Sakya memperhatikan Alina yang tampak memang sedang dilema berat, "memangnya apa yang kamu inginkan?"
"Aku tidak ingin ke luar negeri, aku tidak mau urus perusahaan nantinya, aku ingin tetap disini dan ingin belajar tentang hukum." Alina memberi tahu apa yang sebenarnya ia inginkan pada Sakya yang tengah menyimaknya dengan seksama.
"Kamu susah memberi tahunya pada orangtuamu tentang keinginanmu itu?"
Alina menghela napas panjang, "sulit untuk mengatakan tidak pada apapun yang mereka suruh padaku. Aku masih sangat takut pada respon mereka nantinya mengetahui aku tidak ingin melakukan apa yang mereka kehendaki."
"Kenapa?"
"Orang tuaku sejak awal terus berharap banyak padaku, terlebih tentang perusahaan nantinya. Mereka mengatakan hanya aku satu-satunya harapan karena Iyan benar-benar tak bisa dikendalikan, kalau aku ikut membangkang seperti Iyan, apa yang akan terjadi nanti? Apa tanggapan orang tuaku nanti? Awalnya aku memang baik-baik saja, tapi makin kesini aku merasa kesulitan dan tak bisa bertahan lebih lama lagi dengan jalan yang orang lain bentuk secara paksa untukku."
Sakya ternganga mendengar cerita Alina, "aku pikir hidupmu sudah sangat sempurna. Ternyata tidak juga."
"Aku bingung sekali."
"Hanya ada dua pilihan, ikuti jalan yang ada walau hatimu sakit atau buat jalan sendiri walau kakimu sakit menapakinya."
Alina mematung memikirkan ucapan Sakya untuk beberapa saat, "aku benar-benar ingin berjalan di jalan yang aku tentukan sendiri. Tapi sangat sulit untuk berhadapan dengan orang tuaku."
"Kamu ingin mengambil hukum tapi memperjuangkan keinginanmu sendiri saja tidak bisa? Itu adalah hal yang sangat buruk, kalau begitu memang sudah jalanmu terus diatur oleh orang lain." Sakya menyimpulkan begitu saja dengan santai.
"Sakya! Kok gitu!?" Alina tak terima.
"Apa aku salah?"
Alina tertunduk merasa sangat malu dan tidak tahu harus bicara apa lagi. Sakya memang benar.
"Hidup kamu milik kamu. Apapun keinginan kamu, ya hanya kamu yang bisa perjuangkan. Untuk sekarang aku lihat kamu tidak memiliki keberanian bahkan hanya untuk sekedar jujur pada diri sendiri."
Alina mengangkat kepalanya lagi untuk melihat Sakya, "aku harus gimana?"
"Boleh aku memberi saran?"
Alina mengangguk polos, "tentu."
"Bicara dan jujur pada dirimu sendiri tentang apa sebenarnya yang kamu inginkan."