13. Bukan tipeku

1348 Kata
Kekerasan dalam bentuk fisik, seperti memukul sudah sering terjadi. Rei pun sering melihatnya, entah disengaja atau tidak. Responnya terhadap hal-hal seperti itu tentu biasa saja, apalagi jika dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Jika perlu membantu mungkin Rei akan melakukannya, tapi tentu saja ia tidak akan turun tangan secara langsung seperti yang dilakukannya saat ini. Dua kali melihat Mega dalam kondisi mengenaskan, dua kali juga ia membantu wanita itu. Sadar atau tidak, Rei melakukannya sendiri, tidak oleh Martin ataupun orang lainnya. Kesal dan marah adalah dua hal yang dirasakannya saat ini. Tapi Rei pun merasa bingung dengan sikapnya, kenapa ia harus peduli pada wanita itu? Apakah hanya karena sebuah tawaran waktu itu yang membuat Rei selalu ingin tahu apa yang terjadi pada Mega? Menggelikan! Tidak biasanya ia bersikap seperti itu. “Jangan dilempar,” Mega segera mengambil salep dari tangan Rei. “Terima kasih.” Lanjutnya, dengan hati-hati ia menarik benda kecil itu dari tangan Rei. Saat ini Rei membawa Mega ke apartemennya, tempat yang pernah Mega datangi sebelumnya sekitar dua Minggu lalu. “Bajunya masih di rumah teman, maaf belum sempat saya kembalikan.” Mega merasakan kengerian saat melihat tatapan tajam lelaki itu. Auranya menakutkan seolah tengah memendam kekesalan yang tidak diketahui alasannya oleh Mega. “Saya pasti akan mengembalikannya.” Tahu betul berapa harga dari pakaian yang dipinjamkan Rei malam itu, Mega pasti akan mengembalikannya. “Kenapa kamu ceroboh sekali?!” Tanya Rei setelah beberapa saat terdiam dan hanya berdiri mematung menatap tajam ke arah Mega. “Dua kali aku menemukanmu dalam kondisi mengenaskan seperti ini!” Sentaknya seolah tengah memarahi karyawan yang melakukan kesalahan. “Apa kamu tidak bisa menjaga dirimu sendiri?!” Kening Mega mengerut. “Saya sudah jaga diri kalau Pak Rei mau tahu, tapi.” “Bersihkan lukamu, cepat!” Rei memotong ucapan Mega. “Iya. Ini sedang saya bersihkan.” Mega tidak berani melawan. “Rapikan kembali kekacauan yang sudah kamu buat!” Mega menoleh ke sekeliling, mencari kekacauan yang dimaksud Rei. “Kekacauan apa? Tisu ini?” Mega menunjuk ke arah dua lembar tisu yang digunakannya untuk mengusap darah kering di sudut bibirnya. “Nanti saya bersihkan. Saya lap sebelum pergi.” Rei tidak menjawab, lelaki itu menghela lemah lantas pergi meninggalkan Mega sendirian di ruang televisi sementara ia pergi menuju kamarnya. Tapi sebelum pintu kamar dibuka, Rei berdiri mematung tanpa menoleh dan berkata, “Jangan pergi tanpa seijinku!” Ucapnya lagi. “Tapi,” belum sempat menuntaskan ucapannya, Mega sudah tidak lagi melihat sosok lelaki itu. Sosoknya menghilang di balik pintu kamar yang memisahkan mereka berdua. “Nggak boleh pergi tapi dia sendiri malah pergi!” Gerutu Mega, sambil mengusap lembut luka lebam di wajahnya. Sakitnya memang sudah reda, hanya saja lebam yang tertinggal justru semakin terlihat. Jika tadi hanya sebatas merah di bagian pipi akibat tamparan keras Rizal, kini warna merah tersebut berwarna sedikit gelap dan mungkin saja besok warnanya akan semakin gelap lagi. Mega harus menggunakan penutup wajah, seperti masker untuk menyembunyikan luka di wajahnya. Selain wajah, saat ini Mega pun mulai merasakan lapar. Perih yang dikarenakan tidak adanya pasokan makanan mengisi lambung membuat Mega meringis kesakitan. Mega masih memiliki sedikit uang yang bisa digunakan untuk membeli makanan, sayangnya ia harus terkurung di istana mewah milik Rei. “Pak Rei,” Mega memberanikan diri mengetuk pintu kamar Rei. Jika hanya duduk diam dan menunggu sampai lelaki itu keluar dengan sendirinya, bisa dipastikan ia akan mati kelaparan di dalam rumah mewah milik Rei yang mungkin saja memiliki banyak stok makanan mewah. Tapi Mega tidak diajarkan untuk mengambil makanan tanpa seizin yang punya rumah. Ia lebih baik menahan lapar daripada harus mengambil sepotong roti yang terdapat di meja makan Rei. “Pak Rei!” Teriak Mega lagi dengan suara lebih kencang. “Pak!” Tangannya mengayun di udara saat sosok lelaki itu muncul dari balik pintu. Penampilannya sudah berubah, tidak lagi mengenakan pakaian formal khas eksekutif muda, melainkan hanya memakai celana berbahan kaos lengkap dengan kaos berwarna senada yang menonjolkan lekuk tubuh Rei. Mega mengerjap beberapa kali, mencerna pemandangan indah yang terpampang nyata di hadapannya. Selama ini ia tidak pernah melihat Rei berpenampilan santai seperti saat ini. Jas, sepatu pantofel, lengkap dengan rambut rapinya selalu menjadi ciri khas Rei. Tapi hari ini lelaki itu terlihat berbeda, dan tentu saja semakin terlihat mempesona saja. “Saya mau keluar,” Tidak perlu menggunakan kata-kata untuk membuat Mega bicara, tatapan tajam dengan satu alis terangkat sudah cukup membuat Mega menyadari niat dan tujuannya mengetuk kamar Rei. “Saya lapar, saya mau keluar.” “Makan disini.” Rei melewati Mega, berjalan terlebih dulu menuju meja makan. “Masak!” Perintahnya. “Cari bahan makanan di dalam lemari pendingin, semua bahan ada disana.” Lanjutnya sambil duduk di salah satu kursi makan. “Pak Rei mau dimasakin apa? Saya nggak bisa masak menu aneh-aneh, paling menu yang biasa dan cepet aja.” “Terserah!” Mega hanya mengangguk, selain karena dorongan rasa lapar, ia pun tidak akan melewatkan kesempatan untuk menghemat uangnya. Ia akan memasak apa saja, tidak peduli Rei akan menyukainya atau tidak. Lelaki itu memiliki banyak uang, dia bisa membeli apa saja dengan mudah, tidak seperti dirinya yang harus menghemat setiap pengeluarannya. Sensasi memasak sambil diperhatikan rasanya sedikit menegangkan. Sesekali Mega menoleh ke arah Rei, yang jelas tidak melihat ke arahnya. Lelaki itu dulu memiliki senyum lembut, tutur sapa yang sangat ramah, bahkan selalu bersikap baik pada semua tamu yang datang berkunjung ke cafe miliknya. Tapi sekarang, ia justru terlihat seperti orang yang berbeda. Minim senyum, jarang bicara dan sekalinya bicara kalimat-kalimat pedas meluncur dengan sangat mudah. Kenapa dia bisa berubah seperti itu? Apakah efek patah hati ditolak Venus sedahsyat itu? “Saya cuman bisa masak telur dadar dan tumis sayur, saya nggak pandai masak.” Mega menyuguhkan menu sederhana yang dimasaknya. Menu sederhana dengan proses pembuatan yang tidak membutuhkan waktu lama. Itu yang Mega cari, sebab perutnya sudah tidak bisa menahan rasa lapar lagi. “Mungkin terlalu sederhana untuk pak Rei,” “Duduk!” Rei kembali memotong ucapan Mega. “Saya bukan tipe orang milih-milih makanan. Asal nggak beracun, saya bisa makan.” Lanjutnya. Mega hanya menganggukkan kepalanya dan duduk persis di depan Rei. Keduanya makan dalam diam, menikmati menu paling sederhana yang disantap Rei selama ini. Hidup bergelimang harta sejak masih dalam kandungan ibunya, tentu saja Rei tidak pernah menyantap hidangan hanya dengan dua menu seperti itu. Di kediaman orang tuanya, Rei memiliki seorang chef yang bekerja khusu untuk mengatur menu harian yang diwajibkan berubah setiap harinya. Lantas malam ini, menu makanannya hanya telur dadar dan tumis sayur. .Rei diam-diam menoleh ke arah Mega, menatap wanita itu dengan seksama dimana ia terlihat begitu menikmati makanannya seolah telur dadar adalah makanan terenak di muka bumi ini. “Mulai hari ini kamu bekerja padaku.” Ucapnya yang membuat Mega langsung menghentikan gerakan menyuap nasi ke dalam mulutnya. Ia menekan susah payah nasi yang sudah terlanjur ada di dalam mulutnya. “Kerja? Di kantor lagi?” Mega sangat berharap Rei memberikan kesempatan kedua untuk kembali bekerja di kantor Mahendra, karena hanya itu satu-satunya harapan untuk membuat hidupnya kembali normal, setidaknya Mega memiliki penghasilan yang bisa menjamin biaya sekolah Davin. “Saya tidak mempekerjakan karyawan yang tidak bertanggung jawab.” Kesempatan itu sirna seketika. “Pak Rei mau tidur sama saya?” Pertanyaan itu kembali terlontar dari bibir Mega. “Kenapa kamu selalu punya pikiran seperti itu?!” Rei kesal. “Begini, pak. Tujuan Pak Rei malam itu nolong saya katanya mau bersenang-senang sama saya, yang artinya Pak Rei mau gantiin si Yana. Wajar kalau saya nanya seperti itu terus karena saya juga butuh kepastian kerja apa yang akan saya lakukan. Kerja melayani Pak Rei atau apa.” jelas Mega. “Apalagi waktu di Raja Ampat saya pernah menawarkan diri, wajar kalau saya berpikir Pak Rei mau tidur sama saya.” Lanjutnya. “Tapi kamu mau tidur sama saya, kita harus dela dengan harganya dulu. Saya nggak mau tidur gitu aja tanpa di bayar.” Rei berdecak. “Kamu kerja sebagai asisten rumah tangga! Siapa juga yang mau tidur sama kamu!” Tegasnya. “Kamu bukan tipe saya!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN