Nyatanya selembar kertas yang ia perjuangkan selama lebih dari tiga tahun itu tidak lantas memberikan Mega kemudahan dalam mencari pekerjaan. Tiga hari pasca kejadian itu, Mega terus mencari pekerjaan yang bisa menafkahi hidupnya bersama Davin. Mega menggunakan waktu dimana Rizal lengah untuk pulang kerumah mengambil beberapa barang yang diperlukannya. Setelah itu, Mega akan kembali ke rumah Nela dimana ia bersembunyi untuk saat ini.
Rasa tidak nyaman karena terus merepotkan keluarga Nela membuat Mega memilih berangkat subuh, dan kembali ke rumah setelah larut malam sekitar pukul sepuluh. Hal tersebut dilakukan Mega untuk menghindar bertemu kedua orang tua Nela dan Tama, yang mungkin sudah merasa bosan karena kehadirannya yang sudah lebih dari tiga hari.
“Gimana? Udah dapat kerjaan?” Tanya Nela, saat Mega pulang ke rumahnya. Waktu menunjukan pukul sepuluh lebih, Mega baru saja kembali dengan raut wajah yang sudah bisa dipastikan artinya.
“Belum.” Ia menghela lemah.
“Gue juga belum nemuin kerjaan untuk Lo, Me.” Raut kecewa tidak hanya terlihat dari wajah Mega saja tapi juga Nela.
“Nggak apa-apa, masih ada hari esok. Gue masih optimis ko, bakal dapat kerjaan. Setidaknya gue masih punya ini,” Mega menunjukan ijazah lengkap dengan surat lamaran yang dibawanya. “Meski akhir-akhir ini gue ngerasa nggak guna sih ini kertas.” Lanjutnya dengan senyum hambar
“Lowongan kerja sekarang banyak disebar di media online, kayaknya cari lowongan kerja dengan metode bikin surat lamaran udah nggak ada deh, Me.”
Mega mengangguk.
Ia tahu, di zaman yang semakin modern ini, semua serba online. Bahkan mencari pekerjaan pun dilakukan secara online, tapi Mega sangat tahu kapasitasnya saat ini. Sebagai mantan karyawan dengan riwayat dua kali dipecat tentu saja tidak mudah baginya melamar pekerjaan di perusahaan besar, setara Mahendra group.
“Kalau dua hari lagi gue nggak juga dapat kerjaan, gue mau balik ke rumah.”
“Yakin, Me?”
Mega menganggukan kepalanya
“Nggak ada pilihan lain, Nel. Nggak mungkin selamanya main petak umpet kayak gini terus sama Ayah. Gue yakin sekarang pun dia sedang dalam kondisi marah karena gue berhasil bikin dia kecewa.”
“Lo bukan ngecewain dia, Me. Tapi dia yang ngecewain Lo! Dia seorang Ayah, tanya seharusnya melindungi anaknya bukan malah menjualnya apalagi dengan alasan yang nggak masuk akal.”
“Hutang salah satu hal yang masuk akal, Nel. Bokap gue dalam keadaan sadar saat melakukannya.” Mega tersenyum samar. “Ternyata efek patah hati bisa bikin seseorang punya penyakit dendam ya. dendam yang nyaris ia tanam seumur hidup.”
Nela hanya bisa menghela lemah, menatap sendu ke arah Mega.
“Lo udah makan? Gue beli nasi goreng, mau?” Nela tahu, Mega tidak akan pernah mau makan bersama keluarganya, bahkan Nela pun menyadari jika Mega memang sengaja berangkat dan pulang larut malam hanya untuk menghindar agar tidak bertemu keluarga Nela
“Nggak, gue udah makan.”
“Lo harus makan. Gue udah terlanjur beli.” Nela mengeluarkan nasi bungkus yang sudah ia persiapkan sejak pulang kantor tadi. Nela memang tidak terbiasa makan malam di luar atau membeli makanan di luar, sebab Ibunya selalu menyiapkan makanan yang lezat untuknya setiap hari.
“Habisin.” Nela memberikan nasi goreng lengkap dengan es teh manis.
“Gue bakal balas jasa Lo, Nel. Suatu hari nanti kalau gue jadi orang kaya.”
“Gue Aminin. Paling kencang.” Nela tertawa, begitu juga dengan Mega.
Rasanya sangat mustahil jika saat ini Mega berharap dirinya berubah menjadi sosok dengan bergelimang harta, untuk makan saja masih sangat sulit, apalagi berkhayal memiliki kemewahan yang tidak ada dalam daftar keinginannya. .bagi Mega saat ini yang terpenting adalah mencari pekerjaan halal yang bisa membiayai hidupnya dan Davin. Dua hal itu saja, Mega tidak akan meminta lebih.
“Nel, Nela!” suara Tama terdengar dari arah luar pintu kamar Nela. Mega yang saat itu tengah menyantap nasi goreng langsung merubah posisinya, dengan membungkus Anai secara asal dan memasukkannya lagi ke dalam kantong plastik.
“Makan aja, nggak apa-apa.” Ucap Nela, sesaat sebelum ia membuka pintu.
“Abang maklum ko, dia nggak bakal komplain bau makanan di kamar, soalnya ada Lo.” lanjutnya.
“Nggak apa-apa, gue makannya nanti lagi aja.”
Mega lantas segera meminum es teh dan mengusap bibirnya agar tidak terlihat seperti orang habis makan.
“Kenapa, Bang?” Tanya Nela.
“Ada yang ingin Abang bicarakan sama Mega dan kamu, ayo kita ngobrolnya di luar aja.” Ajak Tama.
“Oh, tapi tunggu Mega makan dulu. Kasihan.”
“Oke. Abang tunggu di teras depan ya?”
Nela menganggukan kepalanya dan kembali menutup pintu kamar.
“Makannya dihabisin dulu, setelah itu kita keluar ada yang mau diomongin Bang Tama.”
Mega hanya menganggukan kepalanya sebagai persetujuan. Perutnya memang belum terisi makanan sejak siang tadi, sarapan pun hanya sekedar roti dua ribu dan air mineral. Mega pun segera menghabiskan makanannya dan bergegas menuju keluar untuk menemui Tama.
“Sini,” ajak Tama, sambil menepuk ruang kosong yang ada disebelahnya.
Mega dan Nela duduk berdampingan sementara Tama ada di hadapan kedua wanita itu.
“Aku punya kabar gembira untuk Mega,” senyum Tama mengembang sempurna. Lelaki itu memang tidak pernah gagal membuat Mega terkagum-kagum.
“Tapi bukan kerja kantoran dan gajinya pun tidak akan sebesar saat kamu bekerja di Mahendra grup.”
“Nggak apa-apa. Aku mau!” Bahkan sebelum Tama menjelaskan, Mega sudah terlebih dulu mengiyakan.
“Sebuah minimarket milik temanku, kebetulan karyawannya resign mau menikah. Kamu mau menggantikannya?”
“Tentu!” Mega begitu antusias dengan tawaran Tama. “Aku mau. Kapan bisa mulai kerja? Aku harap secepatnya!”
“Secepatnya, kamu bisa mulai kerja besok.”
“Bener?!”
“Iya. Besok aku antar kesana.”
“Terima kasih banyak Kak, nggak tahu lagi bagaimana caranya aku balas kebaikan kalian berdua.” Mega terhapus sekaligus bahagia.
“Caranya mudah, Me. Cukup jadi kakak ipar gue aja.”
“Nel, jangan bercanda deh!” Seketika Mega merasa malu, apalagi di tatapan Tama yang membuatnya salah tingkah.
Tama benar-benar mengantar Mega ke salah satu supermarket yang letaknya cukup jauh dari kediaman mereka. Lokasinya memang jauh tapi tidak akan menjadi penghalang untuk Mega kembali bersemangat mencari nafkah untuk dirinya dan Davin. Sejauh apapun lokasi pekerjaannya saat ini, asal tidak menjual diri Mega akan sengaja senang hati melakukannya.
“Nanti sore aku jemput, jangan pulang sendirian oke?!” Tama mengusap puncak kepala Mega sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan Mega di tempat kerjanya yang baru.
Sesaat sebelum Mega masuk ke dalam minimarket yang kini menjadi tempat kerjanya, sekilas Mega melihat mobil yang begitu familiar dalam ingatannya. Mega sampai menatap ke arah mobil tersebut dengan seksama seolah ingin memastikan dan ia tidak salah lihat. Tapi di dunia ini ada banyak mobil mewah serupa, khususnya di Jakarta. Para kaum elit memang senang mengendarai mobil dengan harga dan model yang luar bias, bisa saja itu mobil orang lain, bukan mobil milik Rei, mantan Bosnya. Lagipula untuk apa Rei ada di tempat seperti itu? Bukankah lelaki itu sangat sibuk?