Cinta adalah hal yang seakan memusuhi Freya. Itulah yang diyakininya sejak ia merasakan yang namanya patah hati sebanyak lima kali. Dimulai dari masa remajanya ketika ia masih berusia lima belas tahun yang berlanjut hingga usianya saat ini. Tiga puluh satu. Enam bulan yang lalu ia baru saja putus dari Michael. Pria yang dipacarinya selama hampir empat tahun dan hubungannya putus begitu saja karena Michael memutuskan untuk menikahi perempuan yang dipilihkan oleh keluarganya.
Meski diliputi sakit hati yang luar biasa menyakitkan, Freya tetap bertahan. Life must go on, right? Dan karena kegagalannya dalam percintaan, akhirnya hari ini Freya berada di sini. Di sebuah restoran hotel berbintang empat dalam balutan gaun hitam selutut dengan tali spaghetti yang membalut pas tubuhnya yang ramping. Rambut lurusnya yang panjang dan hitam dibiarkannya tergerai bebas. Make up natural menghiasi wajahnya yang cantik alami. Bukan karena operasi plastik. Keturunan dari ibunya yang memiliki setengah darah negri kincir angin.
Di atas meja bundar terdapat dua piring steik well done yang entah mengapa tidak berhasil membuat perut Freya terasa lapar dan segelas wine merah yang usianya lebih tua darinya. Di hadapannya seorang pria berusia di atas empat puluh tahun tak mau berhenti memandangnya. Pria yang katanya menyandang gelar dokter jantung di salah satu sebuah rumah sakit ternama di ibu kota.
“Kamu cantik sekali Freya,” puji pria itu.
“Terima kasih,” jawab Freya singkat lalu menyesap wine miliknya.
“Sesuai dengan ucapan ibumu. Aku tidak akan kecewa setelah bertemu denganmu,” imbuhnya.
Freya menarik sebelah sudut bibirnya. Ibu mana yang akan menjelekkan putrinya sendiri? dengusnya dalam hati. “Sebelumnya saya minta maaf. Tujuan saya menerima ajakan anda makan malam bukan untuk menerima perjodohan yang dilakukan oleh ibu saya.”
“Lalu untuk apa?” tanya pria itu dengan kening bertautan. Perasaan buruk mulai memenuhi hati dan pikirannya.
“Untuk menolak anda.” Freya memandang lurus pria dengan rambutnya yang mulai menipis. Mungkin karena berpikir terlalu banyak. “Sebelumnya saya berterima kasih pada anda sudah meluangkan waktu untuk saya, hanya saja saya benar-benar minta maaf karena saya tidak bisa menerima perjodohan ini.”
Pria itu terdiam untuk satu menit sebelum akhirnya tertawa meremehkan. Membuat Freya sedikit terkejut melihat reaksi pria itu. Meski begitu dia tetap berusaha untuk tetap tenang karena Freya tak mau menjadi pusat perhatian malam ini. Di restoran ini.
“Beri saya alasan terbaik yang kamu punya untuk menolak saya, Vincent Perkasawijaya.”
“Kita tidak saling mencintai. Bahkan hari ini adalah hari pertama kita bertemu.”
“Lalu mengapa kamu bisa yakin menolak saya jika kita baru saja berbicara selama dua puluh menit?”
“Karena ketika pertama kali saya melihat anda, hati saya tidak merasakan getaran apapun dan anda sebagai seorang dokter jantung pasti paham sekali artinya bukan?”
Mendengar kalimat terakhir Freya, darah Vincent mulai memenuhi kepalanya. Mukanya tampak merah akibat amarah yang memenuhi hatinya. Cengkeramannya akan gelas wine yang berada di atas meja mulai menguat hingga tanpa terduga tangannya melayangkan air itu ke wajah Freya. Sontak beberapa pasang mata mulai tertuju ke arahnya saat ini. Termasuk sepasang mata cokelat yang duduk di sudut ruangan dekat jendela kaca yang besar ikut melihatnya.
“Perempuan sombong!! Pantas saja tak ada pria yang mau menikahimu! Jika tidak mengingat permintaan ibumu yang mengemis padaku, aku tidak akan mau menemuimu!” Setelah puas mengatakannya Vincent pergi meninggalkan Freya yang masih terduduk di tempatnya. Bisik-bisik dari beberapa tamu yang melihatnya mulai terdengar di telinganya. Hingga akhirnya seorang pelayan menghampirinya dan memberikan sebuah kain putih bersih untuk membersihkan wine yang berada di wajahnya.
Setelah mengucapkan terima kasih, pelayan itu mengundurkan diri dan membiarkan Freya membasuh wajahnya. Dalam diamnya Freya membersihkan wajahnya dalam diam tanpa memedulikan beberapa tamu yang masih memandang iba ataupun membicarakannya secara diam-diam. Setelah yakin sudah bersih, tanpa di duga Freya bangkit berdiri dan meraih clutch miliknya lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan dagu terangkat dan anggun. Tanpa mengetahui jika ada sepasang mata yang terus memandangnya sejak awal ia datang ke tempat ini.
“Kamu kenal perempuan itu?” tanya perempuan cantik di hadapannya.
Pria itu mengalihkan tatapannya dari wanita yang sejak tadi menarik perhatiannya ke wajah perempuan cantik di hadapannya. “Tidak,” jawabnya singkat.
Setelah itu ia pun memutuskan untuk melanjutkan makan malamnya dengan pikiran dipenuhi oleh sosok perempuan itu. Apakah dia atau hanya seseorang yang mirip dengannya?
***
“Aduh nak, bagaimana bisa kamu berbicara seperti itu? Ibu jadi tidak enak sama Vincent,” cerocos ibu. Pastilah si dokter itu sudah melaporkan kejadian versi pria itu kepada ibunya. Benar-benar menyebalkan sekaligus melelahkan. “Padahal dia sudah rela menyediakan waktu untuk bertemu denganmu. Kamu tahu sendirikan sesibuk apa seorang dokter? Lagi pula kenapa kamu tidak mencoba menjalani hubungan dulu sama dia? Pria seperti apa yang sebenarnya kamu cari”
Freya menarik napas panjang. Jika sudah seperti ini akan membutuhkan waktu lama bagi dia dan ibu untuk menyelesaikan masalah ini. Padahal hari sudah larut. Besok dia harus bangun pagi untuk bekerja. “Kami hanya kurang cocok, Bu. Bersabarlah sedikit. Jodoh Freya yang sebenarnya mungkin sedang tersesat,” hiburnya.
“Pusing Ibu sama kamu. Ingat umur Freya. Juga ingat ibumu yang sudah tua ini. Tidak tahu usianya bertahan berapa lama lagi. Jadi, tolong segeralah menikah,” keluh Ibu dari seberang sana.
“Hush! Ibu ini kalau ngomong jangan sembarangan. Memangnya ibu tidak mau melihat cucu ibu?” imbuh Freya. “Sudah ya Bu. Sudah malam, besok Freya harus bangun pagi untuk kerja.”
“Tentu saja ibu mau melihat cucu ibu kelak. Makanya segera bawa calon suamimu atau ibu akan mulai mencari lagi. Sekarang cepatlah tidur,” omel ibu mengakhiri percakapan diantara mereka.
Setelah ibu mengakhiri panggilannya, Freya menarik napas lega. Jika diingat-ingat pertemuan malam ini adalah pertemuannya yang ketiga dengan pria asing pilihan ibunya. Memang ibunya itu pantang menyerah. Terutama di kota kecilnya, Bogor. Sebagian besar teman masa kecilnya sudah menikah di usia mereka yang terbilang cukup muda, sedangkan dirinya menemukan pasangan yang tepat saja belum. Jadi bagaimana bisa menikah secepat itu?
Kepala Freya mulai berdenyut nyeri jika memikirkan masalah pernikahan. Maka ia pun memutuskan masuk kamar mandi untuk membersihkan diri dan tidur. Karena tidur selalu menjadi jalan keluar terbaik yang ia miliki ketika masalah sedang menyerangnya. Hal itu sudah menjadi kebiasaannya sejak ia remaja yang selalu berakhir dengan mendengar omelan dari ibunya. Dengan harapan esok hari ia akan menemukan jawabannya.
***