Kristen duduk di bangku ruang tunggu Unit Gawat Darurat, tangannya menggenggam erat jari-jari tangannya sendiri. Tubuhnya terasa kaku, dan matanya tidak pernah lepas dari pintu ruangan di mana putrinya, Seraphine, sedang ditangani oleh dokter. Setiap detik berlalu bagaikan tahun. Dia tidak bisa berhenti berpikir tentang Seraphine, yang baru saja muntah darah dan nyaris kehilangan kesadaran. Terlintas di pikirannya kenangan saat pertama kali melihat Seraphine lahir—putri yang datang dari luka terdalam dalam hidupnya, namun menjadi alasan Kristen bertahan hingga hari ini. Air mata menggenang di sudut matanya, dan dia bergumam dengan lirih, "Maafkan Mama, Sera... Mama seharusnya bisa memberikanmu kehidupan yang lebih baik..." Suaranya gemetar, mencerminkan rasa bersalah yang terus menghantui