Jam satu siang bel berbunyi ... itu tandanya kegiatan Sekolah untuk hari ini pun sudah berakhir. Semua penghuni sekolah berhamburan keluar layaknya anak ayam yang baru saja keluar kandang.
“Kalian berdua mau jalan?” Tanya Billa.
“Nggak, gue mau tidur siang. Sumpah ini mata gue ngantuk berat, guys. Tadi aja pas pelajarannya Bu Arini, gue nyaris ketiduran,” jelas Mutia dengan wajah lesunya.
“Iya, gue juga mau pulang aja,” imbuh Kania.
“KAlau gitu gue duluan, ya. Mau nyusulin orang tua gue,” ujar Billa.
“Oke, bye.”
Billa pamit dan segera menuju mobilnya, begitupun dengan Mutia dan juga Kania yang menuju ke mobil mereka masing-masing.
***
Ia segera menuju Cafe yang sudah diberitahukan mamanya tadi lewat pesan singkat. Setibanya di tempat yang dimaksud, ia menghampiri meja receptionist.
“Maaf, Mbak, saya mau cari meja atas nama William Adyaksa. Di sebelah mana, ya?” Tanya Billa pada petugas receptionist.
Si Mbak itu langsung mengecek nama yang disebutkan Billa dan mencari list nama pada sebuah buku tamu.
“Meja Atas nama Bapak William Adyaksa, ada di nomor 15. Di lantai dua, sebelah kanan, Mbak,” jelas petugas receptionist itu mengarahkan Billa dengan ramah.
“Makasih,ya, Mbak,” ucap Billa berlalu dan segera menuju ke arah yang dimaksudkan oleh receptionist itu.
Ya, tak lama mencari... bahkan tak perlu ia ari pun , karena dengan sekali lirik kedua orang tuanya langsung ketemu.
“Ma, Pa,” panggil Billa sambil berjalan menghampiri papa dan mamanya yang berada tak jauh dari posisinya.
“Sayang,” balas mamanya sambil melambaikan tangan.
Ia segera menghampiri dengan sedikit berlari.
“Kok, lama... keluyuran dulu, ya?” Tanya William yang lebih tepat disebut sebagai tuduhan.
“Ih, papa, curigaan amat sih, sama anak. Aku langsung kesini dari Sekolah. Ini aja masih pakai seragam Sekolah,” jelas Billa sambil duduk di kursi yang ada di samping mamanya dengan memasang wajah cemberut.
“Papa uma becanda kali, Bill.”
“Oh, iya sayang... kenalin, ini Om Doni dan Tante Mla,” ujar Jessica memperkenalkan sepasang suami dan istri yang juga duduk diantara mereka.
Billa ikut mengarahkan pandangannya pada sepasang suami dan istri yang usianya tak beda jauh dengan orang tuanya, kemudian dia tersenyum manis.
“Hai Om, Tante, kenalin, Aku Billa.” Ujarnya menghampiri dan memperkenalkan diri sambil mencium punggung tangan keduanya secara bergantian.
“Hai, sayang,” sapa Doni.
“Kamu cantik bangt,” puji Mila.
“Makasih Tante,” jawab Billa malu-malu kucing.
Menurut penerawangan otak sebelah kirinya, Mila ini orangnya riang, keibuan, jelas sekali dari wajahnya yang lembut itu. Tapi kalau Doni, orangnya agak cuek, dari raut mukanya, sih, beliau bukan termasuk sosok ayah yang humoris. Lebih terlihat dingin, seperti si Guru Killer. Lah, ini kenapa dia malah teringat dengan guru itu?. Pasti ada yang aneh dengan otaknya.
“Ma, aku ke toilet bentar, ya?” ujar Billa pamit pada mamanya.
“Ya sudah, sana, jangan lama-lama.”
“Iya. Aku Cuma ke toilet kok Ma, bukan untuk bobok cantik.. jadi nggak akan lama kok , Ma” canda Billa sambil berlalu pergi.
“Kamu ini,” gerutu Jessica menanggapi ocehan putrinya.
“Ini anak, kok lama banget ya, datangnya,” ujar Mila pada suaminya.
“Coba di telepon.”
Pada saat ia hendak menelpon, tiba-tiba pandangannya mengarah pada seseorang yang sedang di tunggu-tunggu.
“Ah, itu dia sudah datang,” sru Mila yang melihat sang anak dari kejauhan yang sedang berjalan menuju ke padanya.
Seorang pemuda berperawakan tinggi, menghampiri Mila dan Doni... kemudian mencium punggung tangan keduanya. Begitu pun hal yang sama dilakukan pada Willian dan Jessica.
Pada saat hendak duduk, di saat yang bersamaan Billa yang baru juga kembali dari toilet juga hendak kembali duduk di kursinya.
Bruggkk!!’
“Aduh!!” pekik Billa heboh.
“Astaga, Billa.”
“Kalian nggak apa-apa?” tanya Mila.
“Jalan hati-hati dong, Bill,” omel William dengan tingkah putrinya.
Ya ampun, ia sangat yakin dengan pasti kalau ini bukan salahnya. Tapi kenapa malah ia yang kena omel. Dan wah... betapa kagetnya ia saat melihat siapa orang yang sudah menabraknya. Bahkan, dia jugalah yang menabraknya di sekolah, tapi kok malah tidak mau mengaku.
“Kamu.”
“Bapak,” kaget mereka berdua secara barengan.
“Aduh... Bapak kok hobby banget ya, nabrak saya. Nggak di Sekolah, nggak di sini,” omel Billa langsung kembali berdiri dari duduk manisnya di lantai.
“Kamu menuduh saya nabrak kamu lagi?” tanya Seno tak kalah sewotnya.
“Ah, terserah Bapak lah... toh Bapak juga pasti nggak akan mau disalahkan,” cerocos Billa.
“Ehem.”
Deheman Doni membuat semuanya kembali duduk ke kursi masing-masing, termasuk Seno dan Billa sendiri.
“Lah, ini Bapak kenapa juga ikut-ikutan duduk di sini?” tanya Billa heran.
“Tenang dulu, sayang.” Sergah Jessica menenangkan putrinya.
“Nabilla sayang.. apa kamu kenal dengan dia?” tanya Mila pada Billa sambil menunjuk ke arah Seno yang masih duduk bersandar di kursi dengan tampang dinginnya.
“Ya, dia Guru di Sekolah aku, Tan,” jawab Billa seadanya.
“Menurut pendapat kamu, dia gimana orangnya?” tanya Jessica yang ikut-ikutan bertanya.
“Hah?” pertanyaan macam apa itu.
Billa agak bingung. Masa ia ditanya mengenai pendapatnya tentang Seno yang baru dia kenal beberapa jam saja. tapi setidaknya bisa ia pastikan kalau Seno adalah tipe cowok yang menyebalkan.
“Iya, menurut kamu Seno itu gimana?” ulang Jessica.
“Jujur,nih,ya... meskipun saya baru ketemu hari ini, tapi menurut saya Pak Seno itu, hmm... nyebelin pake banget, ngeselin, dingin dan juga muka tembok. Rasanya pengen banget cakar-cakar muka dia dan jambak-jambak rambutnya.” Jelas Billa dengan semangat menggebu-gebu, yang langsung di balas dengan tatapan membunuh dari Seno dan itu benar-benar menakutkan.
Billa pun tertawa receh. “Sorry ya, Pak. Ini jangan di sangkut pautkan dengan nilai saya loh, Bapak harus profesional sebagai seorang Guru. “Eh, ngomong-ngomong ini Bapak kenapa di sini?” tanya Billa menyadari kembali hadirnya Seno.
Billa baru sadar kenapa dari tadi si Guru Killer ini juga ikut-ikutan duduk di sini. Nggak mungkin juga kan kalau ini Guru mengikutinya. Kalau seandainya benar begitu, sudah jelas pasti dia sangat kurang kerjaan.
“Billa, Seno ini anaknya Tante Mila, sama Om Doni,” jelas Jessica.
“Apa?!”
Jujur saja Billa sangat terkejut mendengar penuturan mamanya. Itu berarti, dari tadi ia baru saja menjelek-jelekan anaknya Tante Mila sama Om Doni. Oh astaga, ini benar-benar memalukan.
“Jadi?” Billa mengedarkan pandangannya pada Seno, Mila, dan Doni secara bergantian.
“Iya sayang. Seno adalah putra kami,” ungkap Mila.
“Dan Seno jugalah yang akan kami jodohkan dengan kamu sayang,” sambung Jessica menambahkan.
“Whatt!!!”
Oh astaga, belum reda rasa terkejutnya kalau Seno adalah anak dari Doni dan Mila, sekarang ditambah lagi dengan ucapan mamanya barusan. Demi apa ia akan dijodohkan dengan Seno, yang jelas-jelas adalah gurunya sendiri.
“Mama, bercandanya nggak lucu,” ujar Billa dengan senyuman terpaksa.
“Ini serius,” tegas Jessica.
“Astagaaa!!!” Billa seolah menahan rasa terkejutnya agar tak terlalu histeris. Gelas-gelas yang ada di meja seakan mau retak mendengar keterkejutannya.
“Kok Cuma aku aja yang kaget, Bapak nggak kaget gitu dengarnya?” tanya Billa pada Seno yang masih duduk dengan santainya, seolah-olah tak terkejut atau apa lah itu sejenisnya.
“Saya sudah tahu,” jawab Seno singkat.
Billa langsung memasang muka juteknya mendengar jawaban dari Seno.
“Saya mau bicara sama Bapak,” ujar Billa langsung menarik tangan Seno dan membawanya keluar dari Cafe. Sungguh ia benar-benar geram dengan masalah ini.
“Hei, lepas!” bentak Seno sambil menunjuk tangan Billa yang masih memegang pergelangan tangannya.
“Ih, Bapak kok nyebelin banget sih,” geram Billa melepaskan tangan Seno dengan kasar.
“Kamu dari tadi terus memanggil saya dengan sebutan, Bapak. Memangnya saya sudah bapak-bapak?” Kesal Seno yang tak terima dipanggil bapak oleh gadis di hadapannya.
“Loh, kan Bapak Guru saya.”
“Iya, itu kalau di sekolah.”
“Ah terserahlah. Bapak sudah tahu awal kan, kalau saya yang di jodohin sama Bapak?” tanya Billa.
“Ya,” jawab Seno singkat.
“Pantesan jutek,” cetus Billa.
“Biasa saja.”
“Oke, kalau gitu, saya minta Bapak buat tolak perjodohan ini,” pinta Billa.
“Maaf, saya bukan seorang anak yang mau hancurkan keinginan orang tua saya. Kenapa bukan kamu saja?”
“Pak, kalau saya yang batalin, nanti semua fasilitas saya bakal disita. Hancur dong hidup saya.” Sudah jelas ia tidak ingin mimpi buruk itu terjadi.
“Ya sudah kalau begitu jalani saja... gampang kan?” ujar Seno singkat sambil berlalu pergi meninggalkan Billa dan kembali ke dalam Cafe.
“Aaaakkhhh!!!” teriak Billa Frustasi atas sikap Seno yang menurutnya sangat menyebalkan. Mudah sekali dia berpikir dan menjawab sesimpel itu. Masalah ini menyangkut kehidupannya selanjutnya.
“Jadi, semua sudah setuju, ya?” tanya Mila.
“Iya dong Jeng. Seno sudah terima, Billa juga gitu, jadi ya, kita lanjutlah,” sahut mamanya Billa.
“Lanjut?” tanya Billa bingung.
“Kami sudah sepakat kalau kalian besok akan tunangan... terus, hari minggu kalian menikah.”
“Hah?”
Semoga saja saat ini jantungnya dalam keadaan baik-baik saja. meskipun ia tahu dijodohkan, tapi nggak harus secepat ini juga rencana menikahnya. Mana mungkin dalam beberapa hari saja statusnya akan berubah menjadi seorang istri.
“Tapi, Ma, Pa, Om dan Tante... apa ini nggak terlalu cepet bangt ya. Ini nikah beneran, loh.” Ujar Billa mengingatkan.
Ya, siapa tahu saja ibu-ibu dan Bapak-bapak ini lupa, apa itu menikah.
“Iya kami memang ingin cepat-cepat saja. biar kamu ada yang jagain Bill,” ujar Jessica.
“Dan Seno ada yang ngurusin.” Imbuh Mila yang di balas tatap nggak jelas dari putranya. “Dan satu lagi, Bill. Jangan panggil Seno dengan sebutan Bapak terus dong... umur kalian kan Cuma beda 3 tahun, panggil Kak Seno aja,” imbuh Mila menjelaskan.
Billa hanya membalas dengan anggukan tak jelas. Apalagi yang akan ia lakukan selain itu?
Setelah semuanya beres, Mila malah memaksanya pergi bersama Seno untuk membeli cincin tunangan. Dengan hati yang sangat dipaksakan lagi akhirnya ia turuti juga.
“Awas ya, kalau Bapak sampe ngasih tahu orang satu sekolah tentang ini semua,” peringat Billa yang saat itu sedang berjalan di belakang Seno. Malahan ucapannya tidak mendapatkan respon apa-apa. Tapi ia yakin, kalau Seno mendengar ucapannya barusan.
Setibanya di Toko Perhiasan, mereka berdua langsung disambut oleh sang pemilik toko.
“Eh, Mas Seno. Mau ambil pesanannya ya?”
“Iya,” angguk seno mengiyakan.
“Ini siapa nya Mas? Tanya pemilik toko itu sambil menunjuk ke arah Billa yang berdiri di samping Seno. “Adiknya ya, Mas?” tebak sang pemilik toko karena melihat Billa yang masih mengenakan seragam sekolah SMA.
‘Ih enak bener ini orang ngomongnya. Masa iya gue yang cantik, imut-imut gini dibilang adeknya si muka tembok’ batin Billa merutuki perkataan si pemilik Toko.
“Kenapa? Biasa aja dong mukanya,” ujar Seno yang melihat ekspresi muka Kesal Billa yang tak terima kalau dikira adiknya.
“Ini, Mas cincinnya,” ujar pemilik toko yang kembali sambil membawa sepasang cincin.
Seno tiba-tiba saja menarik tangan Billa dan itu tentu membuat Billa kaget.
“Eh.. eh.. mau ngapain” tanya Billa. Tapi Seno tetap memegang tangannya dan tertuju pada jari manis.
“Sudah pas atau belum?” tanya Seno.
‘Ooo.. mau cobain cincin, kirain...’
“Gimana, udah pas atau belum?” tanya Seno lagi tanpa menatap ke arah Billa.
“Iya.”
Duh, ini calon istrinya Mas Seno. Maaf, saya kira tadi adiknya Mas. Soalnya masih pakai seragam Sekolah. Kok bisa sih Mas? Mas nganu ya, Eee.. hamilin dia duluan?” tanya pemilik toko yang tah berhenti-berhenti, yang hanya dijawab dengan tatapan tak suka dari Seno.
‘Gila!! Gue dikira bunting duluan gitu? Kurang ajar! Ni orang mulutnya minta di tabok kayaknya. Dia kira gue cewek apaan’ gerutu Billa dalam hati.
“Maaf, Mas,” ujar pemilik toko seolah tau arti dari ekspresi wajah Seno.
Setelah selesai untuk urusan cincin, keduanya kembali ke mobil. Dalam keadaan berdua beginilah, Billa menjadi sangat canggung.
“Ini kita mau kemana?” tanya Billa yang menyadari kalau ini bukanlah arah jalan pulang ke rumahnya.
“Makan, saya lapar,” jawab Seno dengan dinginnya.
Bukan hanya Seno yang merasa lapar, Nabilla pun juga begitu. Pada pertemuan di Cafe tadi, ia tak dipersilahkan untuk makan terlebih dahulu. Sungguh keterlaluan sekali orang tuanya.
“Saya pikir Bapak nggak punya rasa lapar,” ledek Billa sambil tertawa lepas.
“Saya juga manusia yang bisa merasakan lapar.” Jawab Seno sinis.
“Benarkah?” tanya Billa bercanda. Tapi Seno malah membalasnya dengan tampang sangarnya, yang otomatis membuat ciut dirinya. “Bercanda kali, Pak.” Billa menyadari tatapan yang ia terima dari Seno itu begitu menakutkan.
“Saya sudah bilang, jangan panggil saya dengan sebutan Bapak,” protes Seno untuk yang kesekian kalinya masalah panggilan Billa padanya.
“Iya, iya, maaf, Pak. Eh maksudnya, Kak.” Ulang Billa pada perkataannya, meskipun agak berat dan terdengar aneh.
Keduanya sampai di restoran dan memilih untuk duduk di meja bagian paling ujung.
“Ini menunya, Mas, Mbak,” ujar seorang pelayan Cafe sambil menyodorkan buku menu pada Seno dan Billa
“Saya pesan salad, sama minumnya green tea,” ujar Seno sambil menyodorkan buku menu pada pelayan Cafe dan menatap Billa seolah bertanya mau makan apa? Tapi nggak mungkin juga seorang Seno mengatakan itu secara langsung.
“Saya pesan chicken saos teriyaki,” jawab Billa.
“Sebentar, Mas, Mbak,” ucap pelayan Cafe itu sambil pergi berlalu.
Saat makan pun, Seno dan Billa tak bicara apa-apa. Apa yang akan dibicarakan, menurutnya, Seno bukanlah lawan bicara yang baik.
“Bapak vegetarian?” Tanya Billa membuka pembicaraan.
“Bukan,” jawabnya singkat.
“Terus kenapa?” tanya Billa sambil menunjuk ke arah piring
Seno.
“Memangnya Cuma seorang vegetarian saja yang boleh makan sayur?” tanya Seno balik.
“Hehehe, iya, ya.” Balas Billa cengengesan. Tapi sebenarnya dalam hati ia malah memikirkan seekor kambing.
“Dan satu lagi ... Jangan pernah berbicara di saat sedang makan, itu sangat tidak sopan.” Jelas Seno mengingatkan, masih dengan tampang dinginnya yang menurut Billa sangat kelewat batas, seperti orang yang tidak punya ekspresi wajah yang lain.
“Peraturan apa itu?” Tanya Billa. Tapi pertanyaannya tidak ditanggapi begitu saja oleh Seno.