Bab 10

2316 Kata
Di tengah acara makan malam, Laras bersandar sedikit dari kursinya. Ia mendekatkan wajah pelan ke arah Adrian. “Permisi, s-saya ke toilet sebentar, Pak,” ucapnya pelan. Adrian tidak menoleh. Hanya mengangguk sekali, ekspresinya tetap datar. Laras bangkit, melangkah hati-hati menyusuri sisi meja panjang yang sudah setengah ramai dengan tawa dan obrolan. Ia masuk ke dalam area toilet wanita yang sunyi dan bersih. Begitu pintu toilet tertutup di belakangnya, suara dua perempuan langsung terdengar dari arah wastafel. “Eh sumpah ya, tadi gue kira Adrian dateng sendiri,” ujar yang satu, suaranya santai tapi nadanya jelas mengejek. “Gue juga,” balas temannya. “Pas dia narikin kursi buat cewek itu, gue mikir—hah, siapa? Bukan Clara.” Laras cepat-cepat masuk ke salah satu bilik dan menutup pintunya pelan. Ia berdiri diam, memegang tas kecil di dadanya. Napasnya ditahan. “Gayanya biasa banget. Gaun murah. Make-up juga… asal aja.” “Dan dari cara dia duduk, kelihatan banget dia canggung. Kayak orang yang baru pertama kali masuk ruangan beginian.” “Untung Clara nggak dateng. Padahal biasanya dia yang selalu bareng Adrian ke acara beginian.” “Kalau Clara dateng? Wah, udah pecah tuh suasana. Sekarang malah bawa cewek yang... ya gitu deh. Sorry, tapi dari tampangnya aja udah kelihatan dia bukan dari lingkungan kita.” Laras menunduk, pandangannya jatuh ke ujung sepatunya sendiri. Tangannya mengepal pelan di sisi tubuh. Tak ada balasan. Ia hanya diam, dengar semuanya. Beberapa detik kemudian, suara hak tinggi terdengar menjauh. Pintu terbuka, lalu tertutup. Hening lagi. Laras baru berani membuka pintu bilik. Langkahnya pelan menuju wastafel. Ia membasuh wajahnya, dua kali. Lalu menatap cermin. Bayangannya terlihat lelah, diam, tanpa banyak ekspresi. “Harusnya aku nggak menerima kesepakatan itu…” gumamnya, nyaris tak terdengar. Rambutnya agak berantakan. Make-up-nya mulai luntur. Tapi Laras cuma diam menatap, seolah mencari sesuatu yang nggak kelihatan di sana. Ia tidak bilang apa-apa. Hanya berdiri, beberapa detik lebih lama, sebelum akhirnya merapikan rambut dan kembali keluar. Ruangan makan sudah lebih sepi. Meja sudah dibereskan. Sejumlah tamu tampak bersiap keluar. Laras melihat Adrian berdiri di luar restoran, berbicara dengan seorang kolega pria. Mereka sama-sama menunggu kendaraan datang. Laras melangkah pelan keluar dari restoran, matanya langsung menangkap Adrian yang berdiri tak jauh dari pintu masuk. Ia sedang berbincang dengan seorang pria berkacamata, jasnya abu gelap, dan rambutnya disisir rapi ke belakang. Adrian sempat melirik ke arah Laras saat ia mendekat, hanya sekilas, tanpa reaksi apa pun. Tak ada senyum, tak ada sapaan. Lalu ia kembali ke percakapannya. “So, the Singapore deal’s still on track?” tanya pria itu sambil melihat layar ponselnya. “Yes,” jawab Adrian singkat. “They’ll fly in next Monday. I already set the meeting for Tuesday morning. We’ll handle the legal part after that.” “Good. Are we keeping the equity division the same?” “For now, yes. Tapi nanti kita lihat lagi setelah term sheet-nya keluar,” ucap Adrian, beralih sebentar ke bahasa tanpa sadar, lalu langsung lanjut dalam bahasa Inggris, “I want to keep the leverage on our side.” Pria itu tertawa kecil. “Classic Adrian.” Laras berdiri di dekat mereka. Tak ada yang menoleh. Ia hanya berdiri di sisi Adrian, menjaga jarak setengah langkah. Tak satu pun dari dua pria itu menunjukkan tanda sadar akan kehadirannya. “By the way, Clara texted me,” lanjut pria itu. “She asked about tonight. Thought she’d be here?” Adrian mengangkat bahu tipis. “She had something else, I guess. I didn’t ask.” Pria itu mengangguk sambil mengecek lagi ponselnya. “Alright. Let’s talk again when the numbers come in.” “Sure.” Tak lama kemudian, lampu mobil sedan hitam berhenti di depan mereka. Supir Adrian turun, membukakan pintu belakang. Adrian melangkah masuk lebih dulu tanpa menoleh ke Laras. Laras mengikuti, diam, masuk ke sisi lain kursi. Di dalam mobil, tidak ada suara. Adrian membuka tabletnya dan mulai menggulir dokumen, membaca laporan dengan tenang seolah makan malam tadi tidak menyisakan apa-apa. Beberapa menit berlalu sebelum Laras bicara, suaranya pelan, nyaris ragu. “Pak…” Adrian tidak menjawab, tapi jarinya berhenti menggulir. Ia tetap menatap layar tablet, namun perhatiannya sudah beralih padanya. Laras menunduk sedikit, meremas jemarinya di pangkuan. “Maaf, saya cuma mau tanya… kenapa Bapak mengajak saya ke acara ini?” Adrian masih belum menoleh, tapi suaranya terdengar datar. “You’re my wife. Why wouldn’t I bring my own wife?” Laras menelan ludah, merasa pertahanan dingin Adrian seperti tembok batu. Tapi ia melanjutkan, suaranya makin lirih. “Tapi Bapak tidak memperkenalkan saya. Tidak bilang saya siapa…” Adrian mengangkat wajahnya. Matanya dingin, tapi ekspresinya datar. “Do you really need an introduction?” katanya. “Does that matter to you?” Laras diam sejenak. Hatinya teraduk. Lalu ia mengangguk pelan. “Saya cuma… merasa seperti orang asing di tempat itu. Dan saya dengar… orang-orang bicara—” “Kalau kamu dengar omongan mereka, kenapa kamu peduli?” Adrian memotong perkataan Laras dan kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kamu ada di sana karena saya ingin kamu ada di sana. Bukan untuk menghibur rasa ingin tahu mereka..” Laras menggigit bibirnya. Suaranya pecah saat berkata, “Saya tahu posisi saya, Pak. Tapi saya juga punya perasaan. Mereka mempermalukan saya, dan Bapak tidak melakukan apa-apa.” Adrian akhirnya menoleh, tatapannya tajam menusuk. “I don't owe anyone an explanation. You were with me, and that’s enough.” Laras menggertakkan gigi. Ia ingin percaya itu cukup, tapi dadanya masih sesak. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar saat bertanya, “Seharusnya… wanita yang bernama Clara itu yang datang malam ini, ya?” Adrian menatapnya dalam diam. Ada jeda beberapa detik yang terasa begitu panjang sebelum ia menjawab, suara Inggrisnya tetap dingin dan tegas: “No.” Hanya satu kata. Tegas. Tidak ragu. Tidak juga menjelaskan lebih jauh. Tapi justru karena itu, Laras makin bingung. Hatinya terasa semakin remuk. Kalau bukan Clara, kenapa harus dia? Ia menunduk, menahan napas dalam-dalam agar tidak tampak rapuh. “Kalau begitu, lain kali… lebih baik saya tidak usah ikut,” gumamnya. Adrian tidak membalas. Ia kembali membuka tabletnya dan menggulir layar seolah tak terjadi apa-apa. Hening. Mobil terus melaju di jalan malam yang gelap. Tapi bagi Laras, semuanya terasa seperti ruang kosong, dingin, asing, dan tak ada tempat untuknya di sisi laki-laki itu. Tanpa mereka sadari, mobil sudah sampai di basement apartemen. Sopir membukakan pintu untuk Adrian dan juga Laras. Adrian keluar dan berjalan mendahului Laras. Laras mengikuti Adrian dari belakang, berusaha menyamakan langkahnya dengan Adrian walau kakinya sakit mengenakan sepatu hak tinggi itu. Pintu apartemen terbuka. Adrian melangkah lebih dulu tanpa bicara, Mbak Rini menyambut kedatangan mereka berdua, menerima jas Adrian. Laras menyusul beberapa langkah di belakang. Suasana kamar senyap. Adrian melepas kemejanya dan menaruhnya di gantungan. Ia tidak langsung duduk atau bicara, hanya berjalan menuju lemari kecil, mengambil sebotol air mineral, lalu meneguknya. Laras berdiri diam di dekat ranjang. Tangannya masih menggenggam clutch kecil, matanya menunduk. Wajahnya tidak setegang tadi, tapi perasaan itu belum pergi. Adrian menoleh, suaranya terdengar tenang namun tajam. “You should get used to events like that.” Dia menatap Laras sejenak, lalu melanjutkan. “Your world is... different now. Dunia kamu sekarang… sudah beda.” Laras tidak menjawab. Hanya diam, lalu menunduk sedikit dan berjalan ke meja rias. Di cermin, wajahnya terlihat lelah. Ia membuka botol kecil pembersih make-up dan menuangkannya ke kapas. Satu kali usapan, fondasi tipisnya ikut luruh. Lipstik pun perlahan pudar. Adrian tidak mendekat, tidak bertanya. Ia hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung Laras sambil meneguk air untuk kedua kalinya. Lalu berkata lebih pelan, nyaris seperti gumaman, “They didn’t matter.” Tapi Laras tahu, kalimat itu tidak sepenuhnya untuknya. Mungkin juga untuk dirinya sendiri. *** Pagi itu, sinar matahari merambat lembut melalui tirai kamar utama yang ada di apartemen Adrian Mahendra. Laki-laki itu sudah berdiri di depan cermin, membenarkan dasinya yang berwarna biru tua. Kemejanya dan rambutnya tersisir rapi ke belakang seperti biasa. Ia sudah siap ke rumah sakit. Tapi ada yang mengganjal pagi ini. Biasanya, Laras akan bangun lebih dulu, minimal sudah duduk di tepi ranjang dengan wajah kantuknya yang khas. Tapi kali ini, gadis itu masih tergolek di bawah selimut, tubuhnya nyaris tak bergerak. Adrian menoleh. “Laras?” Ia memanggil pelan, tapi tak ada respons. Langkahnya pelan menghampiri sisi tempat tidur. Ia berjongkok, lalu menyentuh kening Laras dengan punggung tangannya. “You're burning up,” gumamnya. Dahi Laras terasa panas. Terlalu panas. Adrian menghela napas dan berdiri kembali. Ia tak membangunkan Laras. Setelah selesai merapikan penampilannya, ia turun ke lantai bawah dan menemukan Mbak Rini sedang merapikan meja makan. “Mbak Rini, Laras sepertinya demam,” katanya cepat. “Segera kompres dia, dan kasih parasetamol 500 mg. Kalau dia menggigil atau suhu naik lagi, segera lapor saya.” “Iya, Pak Adrian,” jawab Mbak Rini sigap. “Saya langsung siapkan, Pak.” Adrian menatapnya sejenak lalu menambahkan, “Buatkan bubur juga, yang hangat dan ringan. Setelah dia bangun, suruh dia makan sedikit sebelum minum obat.” “Baik, Pak. Akan saya siapkan,” jawab Mbak Rini. Adrian hanya mengangguk dan berjalan keluar. Sopirnya sudah menunggu, dan tak lama kemudian mobil hitam mewah itu meluncur meninggalkan area apartemen. Tak lama setelah Adrian pergi, Mbak Rini datang ke kamar membawa nampan kecil berisi semangkuk bubur hangat, sebotol air mineral, dan satu butir parasetamol. Ia membuka pintu pelan, dan berjalan masuk ke kamar. “Nyonya,” panggilnya lembut sambil duduk di pinggir ranjang. “Bangun dulu, ya. Nyonya demam. Ayo makan sedikit, terus minum obatnya ya.” Laras mengerang pelan, membuka matanya setengah. Pandangannya tampak kabur, tapi ia mengenali sosok Mbak Rini. “Mbak… aku pusing…” “Iya, Nyonya demam. Ini ada bubur, makan dikit aja dulu ya. Nanti badannya enakan setelah minum obat.” Dengan sabar, Mbak Rini menyuapi beberapa sendok bubur ke mulut Laras yang masih lemah, lalu memberikannya air dan parasetamol. Setelah memastikan Laras menelan semuanya, ia membantu gadis itu kembali berbaring dan mulai mengompres keningnya. Di dalam mobil, suasana sunyi hanya diisi oleh dengungan halus mesin yang melaju mulus di jalanan pagi itu. Di kursi penumpang belakang, Adrian bersandar sambil menatap lurus ke depan. Cahaya matahari yang menembus kaca samping mengenai sebagian wajahnya, menyoroti rahang tegas dan sorot matanya yang mengeras. Ia membuka ponselnya, mengecek layar dengan cepat, lalu menoleh ke arah Raka yang duduk di kursi depan, di samping sopir. “Raka,” panggilnya datar namun tegas. Raka langsung menoleh. “Yes, Sir?” “Hubungi dr. Edwin,” ucap Adrian, suaranya dingin dan cepat. “Bilang padanya saya butuh house call pagi ini.” Raka tampak ragu sesaat. “Dokter pribadi, Pak?” “Tell him it’s urgent. My wife’s running a fever, and she looks pale and lethargic,” katanya sambil menatap layar ponsel yang kini tergenggam di kedua tangannya. Jari-jarinya menggenggam kuat, seolah menahan kegelisahan yang tak ia tunjukkan di wajah. Tak biasanya dia merasa cemas karena sesuatu yang personal. Tapi ekspresi Laras tadi pagi, melihat wajahnya yang pucat, tubuhnya yang lemas membuat pikirannya tak tenang. “I want her thoroughly examined,” lanjutnya, suaranya lebih pelan tapi mengandung tekanan. “Vital signs, complete blood count, anything he thinks necessary. I don’t want to take any chances.” Raka segera mengangguk. “Baik, Pak. Saya hubungi sekarang.” Beberapa menit berlalu, ponsel Raka bergetar pelan. Ia melirik layarnya dan segera menoleh ke belakang. “Pak, dr. Edwin akan datang. Dia bilang bisa sampai di apartemen dalam tiga puluh menit. Sekarang sedang bersiap bersama perawatnya.” Adrian hanya mengangguk, tapi rahangnya menegang. Tangan kanannya mengepal di atas lutut. “Good.” Dokter spesialis penyakit dalam itu bukan hanya mitra medis, tapi juga teman dekat Adrian semasa kuliah. Jika ada satu orang yang ia percaya untuk memeriksa Laras secara menyeluruh, maka itu adalah Edwin. Begitu pintu dibuka oleh Mbak Rini, Edwin mengerutkan kening. “Jadi... ini beneran istri lo, Adrian?” Edwin berbicara seolah-olah ada sosok Adrian di sana. Mbak Rini hanya tersenyum kikuk, lalu mempersilakan dokter masuk. Dr. Edwin memasuki kamar Adrian yang sunyi dan hangat. Laras masih tertidur, wajahnya pucat, rambutnya berantakan. Tapi bahkan dalam kondisi seperti itu, ada sesuatu yang lembut terpancar dari wajahnya. “Dia demam tinggi sejak pagi, Dok,” lapor Mbak Rini. Dr. Edwin mengangguk dan mulai memeriksa. Ia mengenakan sarung tangan, lalu mengecek suhu tubuh Laras dengan termometer digital. “39.1 derajat. Lumayan tinggi,” gumamnya. Ia menoleh ke perawat. “Tolong ambil tekanan darah dan cek saturasinya.” Perawat melaksanakan perintah dengan sigap. Sementara itu, dr. Edwin memeriksa mata, detak jantung, serta memegang pergelangan tangan Laras untuk mengecek denyut nadi. “BP-nya 100/65, pulse 96 bpm. Saturasi oksigen 97%,” lapor perawat itu. Dr. Edwin menyipitkan mata. “Hmm. Bisa jadi viral infection ringan... Tapi perut bagian bawahnya tampak lebih sensitif saat ditekan tadi. Kita perlu tes urin cepat dan pemeriksaan lebih lanjut. Bawa pregnancy test strip juga,” ujarnya pelan pada perawatnya, nyaris berbisik. Beberapa menit kemudian… Dr. Edwin berdiri sambil membuka sarung tangannya. Ia menatap Mbak Rini dengan tenang, lalu menatap Laras yang mulai membuka mata pelan. “Beritahu Pak Adrian nanti, istrinya nggak boleh terlalu capek,” katanya. “Kenapa, Dok?” tanya Mbak Rini penasaran. Dr. Edwin tersenyum tipis. “Saya bukan spesialis kandungan, tapi ada kemungkinan lain yang harus kita pastikan.... Kemungkinan besar trimester pertama.” Jantung Laras seakan berhenti berdetak sejenak. “Ha… hamil?” Dr. Edwin menatapnya sebentar, lalu berkata dengan nada hati-hati, “Saya tidak bisa memberikan diagnosis pasti saat ini. Tapi untuk berjaga-jaga, saya sarankan langsung ke spesialis obstetri dan ginekologi, dokter kandungan.” Laras terdiam, jelas tidak menyangka arahan itu. Dr. Edwin melanjutkan dengan nada ringan seraya mengalihkan pandangannya ke Mbak Rini, “Untuk sekarang, saya akan kirimkan resep vitamin dan suplemen ringan, semuanya aman. Tapi sebaiknya Mbak Rini kabarkan ke dr. Adrian untuk menjadwalkan konsultasi ke dokter kandungan secepatnya, supaya bisa dapat kepastian dan perawatan yang sesuai kalau memang ada kondisi khusus.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN