Jam baru menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit ketika Laras turun ke ruang makan. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi udara. Di ujung meja, Adrian sudah duduk rapi dengan kemeja putih dan celana bahan gelap, jas dokter tersampir di sandaran kursinya. “Duduk,” ucapnya singkat, tanpa menoleh, matanya tetap pada tablet yang menampilkan grafik dan data pasien. Laras mengangguk kecil, menarik kursi perlahan. Di depannya sudah tersedia piring berisi telur rebus, potongan buah, dan segelas s**u hangat. Ia mulai makan pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. “Cepat, we have to leave before seven.” katanya sambil menyesap kopi. “B-baik, Pak,” jawab Laras, menelan suapan terakhirnya dengan hati-hati. Tidak ada obrolan lain. Hanya suara sendok yang beradu pelan dengan piring, diseli

