Amira menatap nanar saat Daffa memutuskan panggilannya begitu saja. Handphone itu masih menempel di telinganya, tapi sorot matanya kini berubah tajam. Senyum semangat yang tadi tergurat di wajahnya lenyap sudah. “K-kenapa?” tanya seorang perempuan berambut pirang yang kini sedang duduk di hadapannya. Amira tersenyum kecut, lalu meletakkan handphone-nya di atas meja. “Dia nolak, ya? Hahaha … duh, ternyata ada juga yang berani menolak seorang Amira,” ledek perempuan itu. Amira mengembuskan napas gusar, lalu menatap perempuan yang duduk di depannya itu. Saat ini mereka berdua sedang sarapan di sebuah kafe yang cukup mewah. Sosok perempuan berambut pirang itu juga telihat seperti kaum sosialita. Barang-barang branded dan bermerek terlihat menghiasi dari ujung kaki hingga kepalanya. Perem