“Apa dia sudah bangun?” gumam seseorang berwajah mungil yang tengah menatap seorang gadis di hadapannya dengan tatapan penuh harap. Lelaki dengan rambut berwarna Biru itu tampak khawatir. Tiga orang lainnya tampak memandangi gadis itu dengan tatapan yang berbeda.
“Kau tidak lihat dia belum bangun,” jawab seseorang dengan pandangan tidak suka. Lelaki berambut hijau itu tampak tak suka dengan pertanyaan Bernald Drevian. Reynald Oxfold, lelaki dengan mata dan rambut hijau itu memang selalu tidak suka jika ada seseorang yang datang ke Quantrum Tetranum. Dia selalu merasa risih dan benci setiap kali ada yang datang ke negeri ini. Berbeda dengan Reynald, Bernald justru selalu menyambut siapapun yang datang ke Quantrum Tetranum dengan antusias. Dia selalu merawat siapapun yang datang ke tempat ini dengan baik. Dia juga yang selalu membuatkan pie dan memberikan sarapan yang enak kepada siapapun yang datang.
“Masih pagi, jangan memulai keributan,” gumam Felix Rodrigues. Lelaki berambut ungu dengan mata berwarna senada itu duduk dengan buku di pangkuannya. Felix adalah pria paling tenang dan tak banyak bicara di tempat ini. Dia lebih tertarik pada buku dan mempelajari herba yang ada di hutan Quantrum Tetranum.
“Apa kau tak sabar bertemu dengannya, Bernald?” seseorang menepuk bahu Bernald dengan lembut. DIa adalah Edmund Stockholm. Lelaki itu mempunyai mata dan rambut berwarna senada yaitu abu-abu. Edmund menyodorkan secangkir cokelat panas kepada Bernald. Reynald tampak menyandarkan tubuhnya di dinding dekat jendela. Lelaki itu memandang keluar.
“Tentu saja, aku juga senang sekali mendapat teman baru,” gumam Bernald antusias.
“Teman? Sampai kapan kau akan memanggil seseorang yang datang ke sini dengan sebutan teman. Mereka ini hanya tumbal,” sarkas Reynald dengan pandangan tidak suka.
Tidak ada yang salah dari perkataan Reynald, hanya saja Reynald agak berlebihan saat ini. “Mereka hanya jiwa-jiwa tersesat yang malang,” imbuh Reynald.
“Apa kau lupa apa yang terjadi terakhir kali?”Reynald berkata lagi. Bernald menjadi sedih jika mengingat hal terakhir kali yang dimaksud oleh Reynald. Edmund menepuk pundak Bernald. Reynald sengaja ingin menyakiti Bernald dengan cara mengungkit peristiwa beberapa bulan yang lalu. Semua orang di Quantrum Tetranum juga tahu apa yang terjadi, tapi mengungkit kembali peristiwa itu di hadapan Bernald jelas membuat lelaki itu mengingat kehilangan besar yang dia alami.
"Jangan diingat lagi," Edmund memegang tangan Bernald yang bergetar, "Kau keterlaluan Reynald," ujar Edmund tak suka. Lelaki itu menghampiri Reynald dan mencengkeram kerahnya.
"Aku hanya bicara fakta. Tidak seharusnya kita memperlakukan siapapun yang datang ke sini sebagai seorang teman. Kalian juga tahu sendiri bagaimana akhir mereka di sini. Mereka hanya tumbal." ujar Reynald emosi. Edmund semakin mencengkeram kerah Reynald.
"Apa kau harus mengatakan itu di hadapan Bernald. Kau sengaja menyakitinya. Aku benar-benar membencimu," ujar Edmund dengan emosi meluap-luap di kepalanya. Felix yang sudah tidak tahan dengan keributan ini berdiri. Lelaki itu menghampiri Edmund dan Reynald yang sudah bersiap untuk saling meninju satu sama lain.
"Jika ingin bertengkar jangan di sini. Kau mengganggu ketenanganku," gumam Felix tak suka. Jemari tangan Edmund yang tadinya menegang kini mengendur kembali. Mereka sangat menghormati Felix. Tidak ada yang berani melawannya karena Felix tak banyak bicara. Sekalinya dia marah dia bisa menghancurkan tempat ini. Edmund dan Reynald saling pandang. Tampak jelas pandangan membenci mereka belum surut. Tapi masing-masing dari mereka mencoba untuk menahan emosinya.
"Dia bangun!"
Ketiga lelaki tersebut menoleh ke arah Bernald yang tengah berteriak kaget. Mata mereka langsung tertuju kepada seorang gadis yang mengenakan Maxi Dress dan terbaring di ranjang yang tengah menggerakkan tangannya.
Bernald tampak antusias. Sejenak dia lupa perbuatan Reynald yang membuatnya sedih. Lelaki itu tampak tersenyum ceria seperti matahari pagi. Felix yang tadinya mau beranjak pergi berbalik dan mendekat ke arah ranjang gadis itu. Disusul oleh Edmund dan Reynald.
Mata gadis itu pelan-pelan terbuka. Empat orang lelaki itu mengerumuninya. Reynald berdiri agak jauh dari ranjang. Lelaki itu enggan memandang gadis itu. Dia berusaha untuk mengalihkan pandangannya pada bunga yang terletak di atas meja. Namun pandangan Reynald kembali tertuju pada gadis itu.
"Kau baik-baik saja," gumam Felix dengan nada khawatir. Bernald juga hampir bersamaan menanyakan hal yang sama.
Gadis itu memegang keningnya. Kepalanya masih terasa berputar. Dia bahkan berpikir kalau ia sedang bermimpi sekarang. Pelan-pelan gadis itu membuka matanya hingga dia tersadar sepenuhnya. Dia memegang keningnya yang terasa nyeri. Ada sesuatu yang menempel di sana. Sepertinya kepala gadis itu terluka.
"Aku di mana?" gumam gadis itu dengan tatapan bingung. Ketiga lelaki itu tampak tidak terkejut dengan ekspresi pertama dan kalimat pertama yang diucapkan gadis itu. Hampir semua orang yang datang ke sini mengucapkan hal yang sama.
"Nanti aku akan menjawabnya. Apa kau baik-baik saja sekarang? Apa kau masih merasa pusing dan mual?" Tanya Felix dengan nada khawatir.
"Kalau kau butuh apa-apa aku akan membantumu," Bernald bersuara dengan malu-malu.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku. Aku di mana? Kok bisa ada di sini? Bukannya aku di Hotel Marlon tadi. Kenapa aku bisa ada di sini?" gumam gadis itu dengan heran. Terakhir kali dia ingat dia berada di Hotel Marlon karena hari itu ulang tahunnya.
"Namamu Mirabell kan?" gumam Felix. Mirabell mengerutkan keningnya. Bagaimana bisa lelaki ini mengenalnya. Dia bahkan tidak punya teman dengan rambut ungu seperti dia. Apa Felix dari sekolah lain yang datang ke pestanya? Tapi setahu Mirabell dia hanya mengundang anak-anak di sekolahnya. Itu pun hanya beberapa dan tak ada yang berambut ungu, biru, hijau dan abu-abu seperti mereka. Bahkan warna mereka sama seperti warna rambut mereka.
“Iya, kalian siapa?’ Mirabell berkata dengan pandangan takut. Meski keempat pemuda di hadapannya ini berwajah tampan tapi tetap saja mereka ini adalah orang asing. Mirabell memandang ruangan di sekitarnya. Rumah dengan atap sederhana dengan pembagian ruangan bukan dengan sekat tapi ruangan yang Mirabell tempati sekarang persis dengan rumah hobbit namun ukurannya lebih besar. Di sudut ruangan banyak sekali tumbuhan menjalar. Ada dua buah kubah dan rumah ini tidak memiliki pintu yang besar. Mirabell menatap agak jauh dan dia bisa melihat pohon-pohon menjulang tinggi seperti di film-film fantasi yang dia tonton.
Mirabell mengucek matanya. Siapa tahu dia masih berada di alam mimpi sekarang. Namun pandangannya tetap tidak berubah. Gadis itu mencubit lengannya sendiri. Ada rasa sakit bekas cubitan di lengannya berarti ini bukan mimpi.
Mirabell mulai merasa panik, “Kalian siapa? Apa kalian yang menculikku ke sini?’ Gumam Mirabell dengan tatapan takut. Felix, Edmund dan Bernard saling pandang lalu ketiganya tertawa. Mirabell semakin takut. Dalam hatinya mulai percaya bahwa dia tengah diculik sekarang.
“Ma, Pa, Kak Rion, help me!” gumam Mirabell putus asa.