Part 7

1037 Kata
Jihan berlari dengan langkah tertatih-tatih karena kakinya terluka. Herman sempat mencekal kaki Jihan, dia agak terkejut. Tepat pada saat kaki gadis itu berhasil di lempar balok kayu olehnya, pria itu mendengar Jihan memekik. "Dia seorang wanita?" Berbisik dalam hati. Sebelum mengendarai motornya, Jihan memberikan laporan melalui arlojinya. "Lapor! misi sukses!" Jihan sampai di rumah Ardy jam dua pagi hari, setelah berganti kaos biasa dia mengendap-endap dan melompat masuk ke dalam kamarnya. Tepat pada saat itu. "Claaak!" tiba-tiba lampu kamarnya menyala. Jihan tahu itu adalah Ardy. "Dari mana kamu?!" Berdiri di sudut ruangan menatapnya dengan tatapan mata penuh selidik. "Club!" Jawab Jihan asal, merebahkan diri di kasur menutup wajah dengan selimut. "Perempuan jam segini baru pulang dari club?!" Mendelik marah. "Apa pedulimu sih? bukan gayamu banget!" Ujarnya cuek. "Wanita ini perlu diberi pelajaran!" Ucap Ardy dalam hati. "Kamu bereskan cucian sana! dari sore malah keluar!" Pura-pura marah, menarik paksa Jihan keluar kamar. Jihan menahan sakit, karena luka di kakinya. "Seeer." Cairan hangat terasa merembes membasahi ujung celananya. "Gawat! darahku mengalir begitu deras! bisa ketahuan kalau tidak segera menghindari pria gila ini!" Risau dalam hati gadis itu. Dan tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. "Maaf, saya kebelet." Ujarnya sembari melepaskan genggaman tangan pria itu. Kemudian pergi meninggalkan Ardy pura-pura menegakkan langkah seperti biasa. Akan tetapi Ardy melihat bekas-bekas telapak kaki Jihan pada lantai ada titik-titik darah membasahi lantai. "Ah apa mungkin gadis itu sedang haid!?? makanya dia nampak malu-malu untuk membicarakan tentang itu denganku?" Pikirnya lalu membuat teh jahe mengantarkan ke kamar gadis itu. "Tok, tok, tok!" Mengetuk pintu Jihan. Di dalam kamarnya Jihan sedang membalut luka pada kaki kirinya. Ada robekan sekitar lima sentimeter. "Sulit menghentikan perdarahan, sepertinya besok harus ke rumah sakit dahulu." bisik Jihan. Gadis itu melangkah tertatih membuka pintu. "Ada apa?" Tanyanya tanpa ekspresi. "Ini teh jahe supaya perutmu tidak nyeri, aku minta maaf karena aku tidak tahu kamu sedang dapat, tadi juga pasti kamu pergi untuk membeli pembalut dan terpaksa bohong padaku." Ujar Ardy polos. Jihan menatap Ardy dengan mulut menganga. "Ha ha ha ha! iya terima kasih! sakit sekali perutku, dan aku ingin beristirahat, anda silahkan keluar! braak!" Mengunci pintu kamarnya. "Dasar! Sok tahu!" Umpat Jihan dari dalam kamar. "Apa yang salah?! kenapa dia malah menertawakanku?" Ujar pria itu nampak bingung. Keesokan harinya. Pagi itu Jihan pergi ke rumah sakit untuk menjahit beberapa lukanya. Dia pergi pagi-pagi sekali sebelum Ardy terbangun. "Bi, Lina kemana?" Tanya Ardy pada bi Sumi. "Tadi katanya mau ke rumah temannya ada urusan penting." Ardy meneguk air putih di ruang makan. Setelah itu berangkat ke kampus. Di luar sana Jihan sudah sampai di kantor polisi tempatnya bekerja, dia segera menyerahkan chip yang di dapatkan semalam. Setelah di cek ternyata itu bukti penggelapan dana yang dilakukan beberapa orang. Di sana juga ada sebuah rekaman yang membuktikan bahwa keluarga Katamso tidak bersalah. Ayah Herman dipaksa oleh beberapa orang dari kalangan atas untuk bekerja sama namun dia menolaknya. Oleh karena itu keluarga mereka sedang berada dalam bahaya. "Eh ric, gimana nih kakiku masih terluka. Kayaknya mesti cuti tiga hari kalau dipakai jalan robek lagi lukanya." "Ya, nanti aku laporkan ke bos." "Tapi nanti pria c***l itu curiga gak ya?!" Tanyanya pada Erico rekan kerjanya. Erico hanya mengangkat kedua bahunya. "Kalau aku masuk ke kampus, pasti si Herman bakal ngerjain lagi! Akh tau ah pusing aku!" Memukul kepalanya. Jihan hari itu absen tidak pergi ke kampus. Herman menghubungi dari telepon. "Halo Lina..." Suara Herman. "Iya ini dengan siapa ya? oh halo, halo, maaf sinyalnya jelek. Tuuuuttt!" Pura-pura langsung menutup telepon. "Sepertinya harus di datangi langsung!" Sambil menatap kartu mahasiswi Jihan. Di sana tertulis atas nama Arlina Viandra Jl. Melati Blok.10, Herman tersenyum menyeringai. Dia mengetik pesan. "Dua puluh menit lagi aku sampai di alamat kartu mahasiswimu!" "Triiing!" Suara ponsel Jihan. Gadis itu melotot melihat pesan. "Akh sial, Ric aku balik dulu!" Buru-buru menyalakan motornya. Jihan mengendarai secepat kilat, melintas jalan raya yang tidak begitu ramai. Menerobos jalan-jalan kecil. Akhirnya sampai di rumah Ardy. Jihan sengaja masuk melalui pintu belakang. "Tet, tunggu ini kan rumahnya Ardy. Nanti ketahuan dong aku tinggal serumah sama dia!!! mudah-mudahan aja Ardy gak keburu pulang." Bisik Jihan hawatir. "Theeet!" Suara bel pintu berbunyi. Jihan segera merapikan rambutnya dengan sepuluh jarinya. Membukakan pintu. "Eh Pak Dosen... he he he" Tersenyum terpaksa, berdiri menghalangi pintu masuk. "Boleh bicara di dalam?" Ujar Herman hendak berjalan masuk. "Ah di dalam ya? anu di dalam masih kotor! ada tahi anjing, tahi ulat, tahi kuda, juga ada tahi kucing! lengkap pokoknya!!" Berusaha menutup pintu mendorong Herman keluar halaman, menuju taman sepuluh meter dari rumah Ardy. "Bau banget ya?!" Tanya Herman tak percaya. "He eh! bau banget pak. Nanti takut langsung diare!! he he he ! Iya diare!" Ujar Jihan sambil nyengir, ngoceh gak jelas cepat-cepat tanpa banyak mikir. Jihan tanpa sadar terus menarik tangan Herman, sambil tertatih-tatih meringis menahan sakit. Herman terus tersenyum melihat tangannya dipegangi oleh Jihan. Sesampainya di bangku taman Jihan tersentak kaget melihat tangannya menggenggam tangan Herman. Langsung dikibaskan spontan seperti memegang seekor ulat. "Ah maaf Pak, tidak sengaja!" Berpaling ke arah lain. "Silahkan duduk Pak." Mereka berdua duduk berjejer bersebelahan. Jihan melihat mobil Ardy berlalu di depannya lalu dia segera bangkit berdiri karena terkejut. Akan tetapi Herman menarik tangan Jihan menahan. "Aku belum bicara apapun kamu sudah mau pergi?" Bertanya dengan wajah keheranan. "Ah itu, anu, perut saya tiba-tiba mules Pak, gak bisa di tahan. Kalau lagi mules gini gak bisa konsentrasi Pak. Kalau ditanya pun jawabnya lamaaaa buanget, gak bisa loading!!" Gadis itu melepaskan tangan Herman, berlari pulang menyeret kaki. "Kita bicarakan besok saja, saya tunggu di perpustakaan Pak!" Melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Tersenyum lebar. Herman hanya membalas tersenyum. Hatinya berbunga-bunga, serasa melayang jauh ke angkasa raya. Banyak hal yang diperbuat gadis itu, membuatnya terus memikirkannya. Mengingat wajahnya yang manis, kepolosan dan kejujurannya. Bagaimana pada saat awal pertemuan pertama mereka. Peristiwa di kantin kampus, dan ulahnya di kelas. Membuat Herman tidak bisa menahan bibirnya untuk terus menerus tersenyum. Sesampainya di rumah Herman bersiul-siul riang. Sampai Ayahnya terkejut melihat kelakuan anak sulungnya itu. "Ngapain kamu Her, senyum senyum terus begitu?" Tanya Pak Katamso. "Gak ngapa-ngapain Pa." "Lagi jatuh cinta tuh kayaknya!" Sahut Dira adik perempuan Herman yang baru pulang dari studinya di Australia. "Tahu apa sih kamu? baweeeeel!" Mencubit kedua pipi adik satu-satunya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN