Raila - 9

2076 Kata
Saat teriakan Dani terdengar, tawa gue gak bisa ditangkap lagi. Sumpah, Si Bos kelihatan banget paniknya. Segitiga Kelihatan? Bwahaha, bego, percaya aja gue kibulin. Mana ada cowok kelihatan segitiganya. Bego emang suka dipelihara tuh Si Bos. Gue langsung menunduk ke kerjaan. Gak mau mengangkat kepala melihat wajah berangnya Dani. Lagian sih, ngapain pake ngegas semua. Aturan berani gak boleh nerima Satria? Kan gue cuma akting sama dia. Mau ngajak jones bareng-bareng? Dihadiri ogah! Ponsel gue bunyi. Satria. Duh, galau menyerang lagi. Angkat jangan ya? Angkat, jangan, angkat, ja- "Hei! Kamu angkat ponselmu! Nada deringnya berisik sekali!" Suara Dani tiba-tiba terasa dekat. Kepala gue menoleh ke belakang, eh busyet! Dia ternyata ada di belakang gue! "Bos? Ngapain di situ? Ngintip saya ya?" "Ngapain ngintip kamu? Kayak gak ada kerjaan saja. Aku cuma mencegah kebisingan di kantor saya. Jadi cepat angkat!" Ada ya, orang kayak gitu, hadeuh! Bilang aja mau ikut campur! "Hallo? Kenapa, Sat?" Ekor mata gue melirik Si Bos yang kentara sekali penasaran tingkat dewa. "La, nanti siang lo ada acara gak? Sekitar abis dzuhuran? Kalo kosong, kita makan bareng ya?" Ekor mata gue lagi-lagi melirik Dani. Dia sukses melotot sambil nunjuk-nunjuk ke ponsel gue. Seolah bertanya 'siapa?' Gue cuma mendelik sebal. Males jawabnya. "Nanti siang? Boleh." "Lo gak ada acara kan?" "Iya, gue kosong di jam segitu." "Dapatkan antar-jemput ke tempat lo ya?" "Eh, gak usah. Biar gue pergi sendiri aja." "Tapi beneran lo dateng ya?" "Iya, gue pasti kesana." "Ok, sampai ketemu nanti siang, bye!" "Ya, sampai jumpa!" Klik. Sampai gue matiin sambungan telepon. Dani masih berdiri di belakang gue. Matanya seolah siap mendakwa narapidana sambil berpangku tangan. "Kenapa, Bos?" "Mau kemana kamu?" "Gak kemana-mana. Kan aku di sini. Mau ngerjain kerjaan yang Bos berikan kan?" Si Bos memutar bola mata dengan sebal. "Iya, sekarang kamu di sini. Nanti siang mau kemana?" "Ah, itu. Aku ada acara, Bos. Tapi tenang saja, pas lagi istirahat, kok." "Mau selingkuhin aku, ya?" "Enggak. Aku cuman mau makan doang. Ngapain selingkuh. Pacar juga gak punya. Ngawur!" Brak !!! Tangan Dani memukul meja kerja tepat di depan mata gue. "CUNGUK! EH CUNGUK !! Kenapa sih, Bos? Main gebrak aja, bikin kaget tahu ?!" "Eh, kamu lupa ya? Saya siapa?" "Apa?" Gue pura-pura diam sementara. "Ah, iya. Kamu Bos merangkap pacar saya, kan?" "Gadis pintar!" Ucapnya sambil mengacak rambut gue dan ngeloyor pergi ke ruangannya. Dan itu berhasil membuat tatapan beberapa karyawan menuju ke arah ruangan kami. Bodo amat ah, digosipin orang gue udah biasa, udah jadi makanan sehari-hari. *** Dari pintu masuk ke restoran ini, gue bisa melihat Satria duduk sendiri sambil melihat ponselnya. Tepat saat kaki gue melangkah, dia menemukan gue dan melambaikan tangannya ke arah gue. "Udah lama nunggu?" "Enggak, baru aja, kok." "Oke, udah pesan makanan?" "Gue serahin ke lo." "Yakin?" "Ya." "Lo tahu kan gimana cara makan gue?" "Haha, jangan khawatir, gue gak sebokek dulu." "Ah, gue lupa. Lo kan dokter sekarang." Jadi dulu banget saat kami SMA, Satria bergaya mau traktir gue makan. Dia tahu kalo porsi makan gue bisa 2 atau 3 kali lipat dari cewek kebanyakan. Yah, kalian tahu kan, kebanyakan cewek feminim makan super hati-hati takut gincunya kebawa sama gorengan yang digigitnya. Dan gue pengecualian atas itu. Lapar ya makan. Belum kenyang ya tambah lagi. Dan saat itu dia kaget melihat pesanan gue yang bejibun di meja. Sampai dia gadein arlojinya buat buat nambahin bayar makanan. "Pesanlah sepuasnya, gue bayarin!" "Wow, serius lo?" "Ya, ngapain gue bohong?" "Siap, Pak Dokter!" Sejumlah makanan favorit gue masuk dalam pesanan. Gue mah gini orangnya, kalo ditawari rezeki ya gak suka nolak, pamali. "La, tentang obrolan dari gue, apa lo belum ada jawaban?" Gue berhenti mengunyah. Menatap Satria lama. Duh, gimana ya? Ucapan Vira tentang kalo ada pria baik nembak gue mesti gue terima kembali terngiang.  Di terima jangan ya? "Ekhm, kalo lo belum bisa jawab, gak apa-apa kok, gue tungguin. Lo tahu, gue nunggu lo sejak kita kelas 2 SMA. Dan akhirnya gue bisa nemuin lo lagi. Jadi kayaknya nunggu beberapa hari lagi untuk gue gak masalah." "Bukan gitu, Sat. Gue cuma ..." "Lo butuh waktu?" "Entahlah, gue harus yakin sama diri gue sendiri." "Maksud lo?" "Ada yang bilang kalo ada pria baik datang, maka terima saja, atau kalo enggak, gue bisa nyesel nanti." Satria menahan senyum, "dan gue harap lo masukin gue dalam daftar pria baik itu." "Tapi, gue akan merasa jadi orang jahat kalau nerima lo." Kening Satria berkerut, "kenapa?" "Gue kayak Manfaatin lo aja." "Kenapa lo harus berpikir kayak gitu, La?" "Ya ... gue kalo gue nerima lo, kayak jadiin lo penyelamat gue doang." "Penyelamat apaan sih, La?" "Ya kayak penyelamat aja," ya, gimana bilangnya ya? Masa gue kudu bilang tentang status palsu gue sama Dani sih? "Haha, lo tuh suka aneh-aneh, deh! Jangan-jangan lo suka nonton ultraman, ya?" "Enggak, kalo ojek pengkolan mah iya." "Lo suka nonton komedi ya?" "Gitu deh, obat suntuk." "Kalo gitu, lain kali kita nonton deh, ya?" "Boleh aja." Nada dering ponsel gue kembali berisik. Pasti si Bos. Emang ya tuh orang, gak bisa lihat orang seneng dikit pasti aja dirusuhin. "Angkat dulu, siapa yang tahu penting?" Tangan gue mengambil ponsel yang disimpan di atas meja. "Ya, kenapa, Bos?" "Kamu masih di mana?" "Aku kan masih makan, Bos. Lagi pula, ini masih jam istirahat kan?" "Kamu tahu jabatan kamu apa?" "Tahulah. Sekretaris merangkap ..." "Merangkap apa?" "Bos tahulah!" "Pacar kan?" "Ya, cuma status lho, inget!" "Meskipun begitu, kamu punya tugas temenin aku makan dong!" "Apa hubungannya?" "Kamu belum pernah pacaran ya?" "Ck, belum. Baru mau!" "Haha, sudah aku duga, mana ada yang suka sama gadis rakus makannya kayak kamu." "Kalo mau ngatain saya tutup!" "Eh, tunggu-tunggu! Laksanakan tugas sampingan kamu sebagai pacar saya!" "Apa? Aku udah makan!" "Pokoknya ya temenin! Gitu doang kok, masa gak bisa! Eh aku profesional ya gaji kamu! Atau gaji kamu nanti aku pot-" "Eh jangan-jangan! Ya, aku segera kesana sekarang!" Klik. Gue matiin sambungan telepon. Satria yang dari tadi nunggu tanpa ikut merusuh ganggu saat gue nerima telpon, menatap gue dengan tanda tanya besar terpahat di jidatnya. Beda ya, dokter sabar banget nunggu, gak kayak atasan gue yang super kepo itu. "Siapa?" "Biasalah, Bos gue! Derita jadi karyawan ya gini, lagi enak makan main panggil seenakny aja." "Oh, atasan lo ya? Ini kan lagi istirahat?" "Iya sih, tapi atasan gue emang gitu, nyebelinnya gak ketulungan." "Gue janji, jika lo nerima gue, gak akan gue biarin lo kerja di luar kayak gini." "Makasih, Sat. Gue tersanjung. Doain ya, moga aja ada hilal yang bikin gue yakin sama lo." "Ya, gue tunggu." "Ya udah, gue pergi dulu." "Eh, gue anterin sekalian mau ke rumah sakit lagi." "Lo gak ribet bolak-balik?" "Bagi gue lebih ribet dapetin lo daripada sekedar nganter doang." Njir, nyes banget ke ulu hati. "Jadi gue bikin lo ribet ya?" Satria merangkul bahu gue dan kami berjalan beriringan. "Enggak kok, gue cuma bercanda, kapan pun, gue pasti nungguin lo." Kata-kata Satria bikin gue makin gak enak. Bukan kata-katanya, lebih pada tangannya yang masih betah melingkar di bahu saat kami berjalan menuju mobil. "Eh, Sat. Lo udah bayar kan?" "Udah, lo keasyikan nelpon tadi. Sampai gak nyadar kalo gue ke kasir dulu." "Oke, sip kalo gitu." Mobil Satria mulai berjalan meninggalkan restoran tempat kami menghabiskan waktu makan siang. "Atasan lo baik ya?" "Bos gue? Baik? Baik apanya? Dia nyebelin tingkat dewa malah." "Masa sih?" "Iya, bahkan nih ya, bukan cuma dia yang nyebelin, neneknya juga suka ikut-ikutan nyuruh gue bantuin dia kerja kalo gue ngantor. Ngeselin kan? Katanya biar gak minta tolong lagi! Gue kapan mikir apa orang kaya suka gitu ya? Banget pengeretan! " "Gue malah khawatir." "Pastilah, orang bos gue nyebelin gitu! Salah dikit aja kena potong gaji. Sebelumnya nih ya, kemarin-kemarin gue diajak makan bareng dia. Eh, tahunya pas gue tanya ditraktir apa enggak, bayarnya udah bayar dari gaji gue! Kurang asem memang tuh orang! " "Justru kalo denger cerita lo, malah malah khawatir atasan lo suka sama lo." "Apa? Atasan gue? Suka sama gue? Bwahaha! Lo kalo bercanda jangan kelewatan! Mana ada dia demen ama gue, yang ada gue malah dikatain sama dia, resek banget pokoknya!" "Ya, kali aja itu bentuk perhatian dia sama lo." "Perhatian apaan, udah ah, lo jangan ngaco!" Satria malah diam lagi. Mobilnya sudah sampai di depan gedung perusahaan mencari sebongkah berlian. Tiba-tiba Satria meraih tangan gue, eh mau apa ini? "La, gue mohon sama lo, bikin gue yakin kalo lo gak bakal jatuh hati sama atasan lo itu." "Apaan sih, lo? Gak mungkinlah!" "Kalo gitu, bikin pernyataan yang membuat gue bisa menghilangkan kekhawatiran ini." "Gue ...," duh, gue bingung, asli! Apa yang harus gue katakan coba? Mata gue menatap Satria lama. Baik? Tentu saja, sangat malah. Tampan? Cuma mata rabun yang bilang Satria jelek. Kaya? Sudah tidak diragukan lagi itu. Kayaknya yang harus diyakinkan adalah diri gue sendiri. "La, katakan sesuatu, kumohon!" "Sat, lo cowok baik. Dan gue takut nyesel kalo gak nerima lo." "Benarkah?" "Ya," duh, takut salah ngomong jadinya. "Apa ini artinya gue udah lo terima?" "Itu ... masih butuh waktu, gak apa-apa kan?" "Tak apa, gue tunggu." "Udah ya, Bos gue udah nungguin tuh," gue keluar dari mobilnya Satria. Dan gue gak bohong kok, Si Bos udah berdiri tegap di depan pintu perusahaan. Matanya udah siap loncat ke permukaan tuh! Serem! "Hai, Bos?" Sapa gue sambil memasag cengiran. "Darimana saja kamu?" "Lho, kan aku udah bilang mau keluar diajakin makan sama teman." "Ada ya, teman pake pegangan tangan segala?" "Oh, ada dong, sama Vira juga aku suka memegang kok." "Itu beda! Masa kamu gak ngerti sih?" "Ah, aku tahu, Bos cemburu ya?" "Apa? Aku cemburu sama kamu? Bwahaha yang benar saja! Kamu bukan tipe aku! Jauh banget malah." "Terus tadi ngapain marah saat aku jalan sama cowok lain?" "Saya gak marah, silahkan kalo kamu mau jalan sama pria mana pun juga. Asal kewajiba kamu sudah dilaksanakan." "Kewajiban? Kan jam istirahat, Bos?" "Iya, sebagai sekretaris, kamu memang tiba  istirahat, tapi sampingan kamu sebagai pacar aku, gak kamu laksanakan!" "Yang mana?" Dani berkacak pinggang. Lah, marah beneran dia? "Ck, kamu ya? Masa gak tahu? Tugas pacarnya, nemenin makan pacarnya! Dan ini apa? Kamu malah melupakan tugas kamu sebagai pacar aku!" "Cuma nemenin makan doang kan bisa sekarang juga?" "Tapi ini sudah habis waktunya makan!" "Lalu?" "Sini kamu!" Dani merangkul bahu gue dan memaksa lengan gue mengait ke lengan kekarnya. "Eh, apaan ini, Bos?" "Sudah aku, pekerjaan ini kamu sebagai pacar saya, sudah diam! Pasang muka senyum, biar aku gak enek lihatnya!" Busyet! Dan semuanya umpatan terbaik segera diluncurkan di otak gue. Asal tahu aja ya, tadi sama Satria gue dirangkul pelan dan tenang. Lha ini? Gue dirangkul paksa hingga kerepotan jalan. Dani berjalan cepat, entah sengaja atau tidak, hingga sulit mengimbangi langkahnya. Dan dia malah menebar senyum pada semua karyawan yang mengangguk sopan padanya. Dan tak lupa melemparkan tatapan meremehkan pada gue. Ah, ada juga tatapan iri. Ha, kalo aja mereka tahu apa yang terjadi. Setelah masuk ke lift, buru-buru melepaskan diri, tapi sayang, ditarik lagi. "Diam!" "Kan udah gak ada orang, Bos?" "Kali aja ada yang masuk lift. Denger ya, kamu jangan bikin keluarga aku kecewa. Dan terlebih lagi ibu aku." "Lho, Bos yang ngajakin aku akting ginian kok, kenapa aku yang merepotkan?" "Kamu mau kehilangan pekerjaan kamu?" Aish, ngancam lagi! Tentu saja gue gak mau! Apalagi, emak gue sebentar lagi nelpon minta setoran ke rentenir yang bikin hidup keluarga kami jadi belangsak kayak gini. "Tentu saja tidak." "Makanya diam!" "Cuma rangkulan gini kan?" "Iya," jawab Dani ketus. Sesampainya di ruangan Dani, dia menepati janjinya. Melepaskan rangkulannya dari bahu gue. "Bos napa jalannya cepet banget sih?" "Bukan aku yang cepat, kamu aja yang jalannya kayak siput." "Anjir! Ngatain lagi!" "Heh! Ngomong apa barusan?" "Ups, maaf keceplosan, Bos!" "Kamu tuh ya? Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri bicara yang sopan." "Siap, komandan! Kalo gitu, aku nyiapin dulu file buat pertemuan sekarang." "Silakan." Keluar dari luar Dani. Dan menghempaskan p****t gue di kursi. Hah, akhirnya bisa lepas juga dari Bos kampret itu! Dan saat melihat ke atas meja kerja, mata gue sukses melotot keluar. Apa ini ?! Selembar kertas berisikan daftar hukuman: Sanksi atas diterbitkan sekretaris bernama Raila: 1. Telat datang 2. Tidak melakukan pekerjaan kedua 3. membuat atasan marah Pelanggaran di atas harus dibayar dengan sanksi pembersihan apartemen atasannya yang sangat tampan itu, selama 3 hari berturut-turut. Jika tidak disetujui, maka sekretaris yang ditunjuk Raila tidak akan menerima gaji bulanannya selama 3 bulan mendatang. Gue melipat kertas itu yang penuh energi dan pandangan tajam ke arah Bos kampret itu! Dasar romusha !!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN