Bab 16 : Berusaha Adil

1459 Kata
Raivan mengangkat tubuh Nayla. Alih-alih membangunkannya, Raivan memutuskan untuk menggendong—memindahkannya ke kamar wanita itu. Senyum di wajahnya merekah meski tipis, ini bukan kali pertama Raivan melakukan hal ini pada Nayla. Saat mereka—pernah sedekat nadi, tapi sayang—saat itu Raivan menganggap Nayla tidak lebih dari seorang adik. Raivan meletakkan tubuh Nayla perlahan di atas ranjang, lalu menyelimuti wanita itu dengan hati-hati. Saat ia hendak beranjak, tangan Nayla tiba-tiba menariknya—membuat tubuh mereka begitu dekat. Wajah mereka nyaris bersentuhan. Raivan refleks menjauh, tapi kemudian membeku saat mendengar Nayla mengigau lirih. “Ibu… Ayah…,” gumam Nayla, keningnya berkerut dalam mimpi yang tampak gelisah. Dengan lembut, Raivan mengusap pelipisnya. Gerakan itu membuat Nayla tampak tenang dan tanpa sadar mengeratkan pelukannya. Raivan berusaha melepaskan diri, tapi justru semakin tenggelam dalam dekapan wanita itu. “Tidurmu buruk, Nayla. Tidur seperti orang mati,” gumam Raivan pelan. “Bagaimana kalau lelaki lain yang memanfaatkan situasi seperti ini?” Tangannya kembali menyapu pelipis Nayla, merapikan helaian rambut yang menutupi wajahnya. Kini tubuhnya bersandar di sandaran ranjang, sepenuhnya berada di sisi Nayla. Pukul tiga dini hari, Nayla terbangun. Ia masih memeluk sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang. Saat membuka mata dan menyernyit karena cahaya redup kamar, matanya membulat sempurna melihat Raivan. Lelaki itu tertidur di sampingnya, bahkan turut memeluknya. Apa yang terjadi? Bagaimana bisa seperti ini? pikir Nayla panik. Tubuhnya masih hangat dalam pelukan itu dan ia yakin masih mengenakan pakaian lengkap. Tapi berada begitu dekat dengan Raivan membuat jantungnya berdebar keras. Tatapannya tak lepas dari wajah pria itu—pahatan rahang tegas dan napas yang teratur. Tangannya nyaris tergerak untuk menyentuh wajah itu, tapi ia urungkan niatnya saat tubuh Raivan sedikit bergerak. Cepat-cepat Nayla memejamkan matanya pura-pura tidur. Raivan membuka mata, terkejut. Ia tak menyangka dirinya bisa tertidur di kamar Nayla. Ingin segera pergi, tapi takut membuat kekacauan yang justru memperkeruh keadaan. Pelan-pelan, ia melepaskan diri dari pelukan Nayla. Setelah berhasil duduk di tepi ranjang, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Lihatlah… ia semakin jauh mengkhianati cinta Salsa, pikirnya perih. Ia menoleh ke arah Nayla yang tampak masih tertidur, wajahnya damai. Sebelum benar-benar pergi, Raivan mengulurkan tangan, mengusap lembut puncak kepala Nayla—sentuhan singkat yang tak seharusnya ia berikan, tapi juga tak mampu ia tahan. Begitu suara langkah kaki Raivan menjauh, Nayla membuka mata. “Apa itu tadi?” bisiknya pada diri sendiri atas perlakuan Raivan padanya. *** Pagi harinya, Salsa terbangun dan mendapati Raivan tertidur di sampingnya. Padahal, ia yakin semalaman suaminya itu tidak masuk ke kamar—tak juga menyapanya setelah pertengkaran Raivan dan Nayla malam tadi. “Pagi, Sayang,” sapa Raivan pelan, meski matanya masih terpejam. “Kamu sudah bangun, ya? Nakal sekali,” ucap Salsa datar. “Baru saja,” jawab Raivan, lalu merengkuh Salsa ke dalam pelukannya. Namun, Salsa menolak. Ia langsung duduk, membuat Raivan membuka mata, kebingungan. “Ada apa, Sayang?” “Aku melihat Mas bertengkar dengan Nayla semalam,” ujar Salsa lirih. Raivan menarik napas panjang, lalu ikut duduk di samping istrinya. Ia meraih tangan wanita yang paling ia cintai. “Tanyakan saja... aku akan cerita,” ujarnya tenang. Namun, Salsa menggeleng pelan. Ia merasa tak pantas mencampuri persoalan antara Raivan dan Nayla. Ia memilih percaya—percaya bahwa Raivan akan bersikap bijak dan adil. Raivan menarik Salsa ke dalam pelukannya lagi, lebih erat kali ini. “Aku tidak sebijak itu, Sa.... Aku tidak bisa berlaku adil. Saat perhatianku tertuju pada Nayla, aku merasa telah mengabaikanmu. Aku... aku merasa sudah mengkhianatimu, Sa.” Air mata Salsa jatuh tanpa bisa ia tahan. Permintaannya agar Nayla menjadi bagian dari kehidupan mereka memanglah keputusan paling bodoh. Tapi, dia tak menyesal. Sakit? Tentu. Tapi ia memilih untuk bertahan dan menerima semuanya. Perlahan, Salsa melepas pelukan Raivan. Ia menyeka air matanya sendiri, lalu meminta Raivan membagi waktunya dan dia akan belajar memahami itu—apa pun keputusan Raivan. Raivan menatapnya tak percaya. Kalimat itu terdengar terlalu dewasa, terlalu tulus untuk perempuan yang hatinya pasti terluka. “Aku akan ikut semua keputusan Mas, dengan situasi kita saat ini. Tapi satu hal....” Salsa berhenti sejenak menahan sesak. “Nayla tidak boleh pergi. Dia harus tetap bersama kita, Mas.” Raivan nyaris tak bisa berkata-kata. Ia menatap istrinya lama. “Sungguh, Sa. Sepertinya aku tidak benar-benar mengenalmu. Tapi satu hal yang tak pernah berubah—aku tetap mencintaimu.” *** Raivan memutuskan membagi waktunya. Dia akan bersama Nayla di hari senin sampai rabu—sisanya sampai akhir pekan akan bersama istri pertamanya. Bagi waktu dalam arti bersama Nayla, termasuk mengantar dan menjemputnya. Ia akan memaksimalkan waktunya untuk istri keduanya termasuk tidur di kamar yang sama dan begitu juga dengan Salsa. Hanya saja, Salsa meminta satu hal—hari Minggu harus menjadi waktu spesial mereka bertiga. Apapun kegiatannya, mereka harus menjalaninya bersama—olahraga, makan bersama, dan lainnya yang menyenangkan. Rencana itu tersusun rapi. Tapi, benarkah prakteknya akan semudah itu? Keputusan itu menjadi angin segar bagi Nayla. Setidaknya, kini ia dianggap ada—bukan hanya pendengar, tapi juga seseorang yang suaranya akan didengar. Hari ini dan beberapa hari ke depan, giliran Salsa. Nayla memahami dan mencoba menerima, karena begitulah kesepakatan mereka. Ada setitik harapan di mata Nayla. Ia pun menyambut hari ini dengan ceria usai bicara berdua dengan Raivan di dalam mobil di area hotel—tempat dia akan melakukan pelatihan. Khusus untuk membicarakan hal ini, Raivan menyempatkan diri mengantar Nayla. Mereka tidak langsung bicara bertiga. Pagi tadi usai bicara panjang lebar dengan Salsa, Raivan langsung mengambil jalan tengah. Tidak lain semua ini adalah bentuk cintanya pada Salsa dan tanggung jawabnya atas apa yang terjadi pada rumah tangganya yang ditakdirkan seperti ini. Sebelum turun dari mobil, Nayla mengulurkan tangan, hendak menyalami Raivan. Darahnya berdesir saat disentuh. Lelaki itu sempat ragu, tapi tetap menyambutnya. Namun sebelum bersalaman, Nayla menatapnya lekat-lekat. “Setelah aku salam kamu, apa kamu boleh mencium punggung tanganku?” tanya Nayla membuat Raivan mengerutkan keningnya. Katakanlah Nayla lancang. Memang dia tidak tahu diri saking senangnya hari ini. Tidak ada jawaban dan reaksi apa pun dari Raivan. Lelaki itu hanya menatap Nayla tanpa berkedip membuatnya gugup. “Lupakan saja,” ucap Nayla cepat, mencoba menarik tangannya. Namun belum sempat benar-benar terlepas, Raivan menarik tangan itu kembali dan mengecup punggungnya. “Seperti ini?” tanyanya polos, membuat wajah Nayla memerah seketika. “Nay,” panggil Raivan, menyadarkan Nayla yang hanya bisa mengangguk malu. “Sore nanti dijemput Fadlan, ya,” ujarnya saat Nayla hendak turun. Tapi Nayla buru-buru menolak, tidak ingin mengganggu waktu orang lain. Tidak ada perdebatan, Raivan akhirnya mengangguk setuju. Namun baru saja Nayla membuka pintu, Raivan menahan lengannya. Genggamannya cukup erat kali ini. “Kenapa ada lelaki itu?” tanyanya dengan nada ketus, tunjuknya pada Tsabit. “Mas Tsabit salah satu panitia pelatihan,” jawab Nayla pelan. “Oh, jadi karena itu kamu nggak mau dijemput Fadlan?” “Van, percayalah. Kedekatan kami murni profesional. Apa yang terjadi kemarin tidak akan terulang lagi,” ucap Nayla tulus. Raivan melirik Nayla, lalu memalingkan wajah ke arah Tsabit yang baru keluar dari mobil dan berjalan masuk ke hotel. “Kamu nggak lupa, kan, apa yang aku bilang semalam? Kamu tetap tidak perlu mengajar di panti—” “Tapi, Van—” “Tidak ada tapi, Nayla. Selesaikan pelatihanmu ini!” ucap Raivan dengan suara yang lebih tegas, nyaris dingin. Mood-nya berubah seketika. Sore harinya … Karena menyadari waktunya dengan Salsa akan lebih sedikit, Raivan pulang lebih awal. Tidak ada pekerjaan mendesak hari ini dan dia ingin memanfaatkan setiap detiknya. Melihat jam masih menunjukkan pukul empat sore, Salsa terheran saat mendapati Raivan sudah tiba di rumah. “Tumben?” tanyanya, menyambut dan memeluk suaminya. “Karena waktu kita berkurang, aku ingin menyisihkan lebih banyak—” “Mas,” potong Salsa cepat. “Itu tidak benar. Waktu kita tidak berkurang. Aku tidak setuju dengan cara berpikirmu.” Raivan tersenyum samar. “Baiklah—Nayla?” Raivan merutuki dirinya malah menanyakan keberadaan Nayla. “Paling juga sebentar lagi,” jawab Salsa datar, tak ada nada cemburu. Ia memang sedang berusaha keras untuk belajar menerima. Setelah membersihkan diri, Raivan menemani Salsa dan Bi Seri di halaman belakang. Mereka sedang membuat rujak. Salsa tiba-tiba mengidam camilan pedas itu. Saat tak melihat Nayla, Salsa menyuruh Raivan mengeceknya. Mungkin Nayla sudah pulang. Ia juga meminta suaminya mengajak Nayla bergabung. Awalnya Raivan menolak. Namun akhirnya ia menuruti permintaan Salsa. Ia mengetuk pintu kamar Nayla, tapi tak ada jawaban. Akhirnya ia membuka pintu sedikit, hanya menyembulkan kepalanya ke dalam. Matanya menyisir ruangan hingga terhenti pada satu benda di atas nakas, sebuah kotak musik. Raivan mengernyit. Ia melangkah masuk dan mengambil kotak itu. Kotak kayu kecil dengan ukiran elegan yang ia kenali, sangat mengenalnya. Itu adalah hadiah anniversary darinya untuk Salsa saat mereka LDR dulu. “Kenapa benda ini ada pada Nayla?” gumam Raivan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN