Bab 5 : Makan Bersama

1310 Kata
Nayla tidak menyangkal, meski seribu kata ingin dia lontarkan. Bukankah itu wujud bakti seorang istri—mendengarkan? Saat Raivan menjadi api, Nayla harus serupa air tenang dan menyejukkan. Kekecewaan terpancar jelas dari mata Raivan. Bukan hanya dongengnya yang runtuh, tapi juga dunia Nayla. Pernikahan yang dulu ia harap menjadi satu-satunya, ternyata menjadikannya yang kedua. Ia sempat percaya, kelak suaminya akan menjadi satu-satunya miliknya sebagai tempat berpulang, satu-satunya sandaran. Namun kini, bahkan kehadirannya pun tak diharapkan. Tenang, Nay, batinnya. Raivan tidak mampu menahan gejolak di dadanya. Sedih, kesal, dan marah. Entah harus ia tujukan pada siapa. Ia melepas cengkraman tangannya pada rahang Nayla, wanita itu pun langsung tertunduk menyembunyikan sedihnya. Raivan melangkah pergi tanpa kata, hanya suara pintu yang kembali tertutup yang kemudian menciptakan hening. Air mata Nayla jatuh. Sakit. Ternyata sangat sakit, mengingat tatapan Raivan padanya. Kalimat sang bunda terngiang menjadi mantra paling menyejukkan kalau Raivan sementara ini hanya butuh waktu untuk kembali melembut hatinya. *** “Bi, ini cobain sekali lagi deh, pas nggak rasanya,” kata Nayla sibuk dengan teplon di hadapannya. Karena tidak ada jawaban, tapi merasakan kehadiran seseorang, Nayla berbalik—sendok di tangan sudah siap disodorkan. Namun langkahnya tertahan begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya. Jantungnya refleks berdebar dan dalam sepersekian detik, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Kakinya terpeleset sedikit, cukup membuatnya oleng. Raivan sigap. Ia menangkap tubuh Nayla sebelum sempat jatuh. Namun dalam kepanikan, sendok yang masih ia genggam menumpahkan bumbu ke baju Raivan, tepat di bagian d**a. Keduanya terdiam. Nafas mereka nyaris bersatu. Jarak mereka begitu dekat, terlalu dekat. Tatapan mereka bertemu, tanpa mereka sadari, sepasang mata lain menyaksikan momen tersebut dari kejauhan. Salsa berdiri diam di ambang pintu, melihat dengan wajah datar. Lalu memilih pergi sebelum keduanya menyadarinya. “Sampai kapan kamu mau terus seperti ini, Nay?” suara Raivan terdengar ketus, memecah keheningan di antara mereka. Nayla tersentak dan buru-buru menjauh. Pandangannya jatuh pada noda di baju Raivan. Ragu-ragu, ia mengangkat tangan, ragu menunjukkan. Sementara, Raivan sudah lebih dulu menunduk, melihatnya, lalu tanpa sepatah kata berbalik dan pergi begitu saja usai menatapannya dingin. “Neng,” suara lembut Bi Seri memanggil dari balik dapur, menyaksikan semuanya dengan sorot mata prihatin. Nayla menoleh, berusaha mengatur napas, lalu memaksakan senyum. “Bi, sini deh. Coba sekarang. Kayaknya udah pas.” *** “Aku selalu suka masakan Nayla,” ujar Salsa sambil tersenyum lembut. Pandangannya bergantian menatap Nayla yang duduk di hadapannya dan Raivan yang duduk di kursi sampingnya dengan wajah datar. Salsa menatap sekitar rumah—mengembuskan napas lega. Ini kali pertama dia kembali beraktivitas setelah sekian lama bed rest. Dan hari ini inginnya menyantap makan bersama, menyambut anggota baru di rumahnya, Nayla. “Sini aku ambilkan dagingnya untuk kamu, Sayang,” kata Raivan, mengambil alih udang di piring Salsa. Wanita itu mengangguk manja seraya tersenyum tipis. Pandangan Salsa tertuju pada piring Raivan, yang hanya berisi bebek goreng—menu yang tadi ia pesan lewat aplikasi online. Ia memesan beberapa jenis makanan lain yang sedang ia idamkan. Entah kenapa, hari ini ia begitu bersemangat menyantap semuanya. Padahal sebelumnya, setiap kali mencoba makan, tubuhnya langsung menolak—mual, lalu muntah, seolah perutnya benar-benar tak bersahabat. “Mas, kok, nggak ambil udangnya? Kamu ‘kan juga suka masakan Nayla?” tanya Salsa menoleh ke arah Raivan. “Hari ini aku lagi pengen makan bebek. Sudah lama tidak, Sayang,” balasnya lembut. Nayla yang sedari tadi menatap Raivan dalam diam, perlahan mengalihkan pandangannya pada Salsa. Tatapan mereka bertemu sejenak, lalu Nayla memilih menunduk dan kembali fokus pada makanannya. Ini kali pertama mereka duduk makan bersama di meja yang sama. Sejak tadi, Raivan belum mengucapkan sepatah kata pun pada Nayla. Tak ada sapa, tak ada tanya. Kebersamaan mereka yang biasanya hangat dan ramai, kini digantikan oleh sunyi. Salsa bukan perempuan polos yang mudah dibutakan situasi. Ia peka akan ketegangan yang membungkus meja makan ini. Ia berusaha mencairkan suasana, menyisipkan obrolan ringan, namun yang hadir justru keheningan yang semakin terasa pekat. Sementara Nayla tak sanggup lagi bersandiwara. Ia tahu, sebaik apa pun usahanya, semua akan tetap salah di mata Raivan. "Terima kasih makanannya, Nay," ucap Salsa begitu selesai makan. "Bi, tolong angkat piringnya," sambungnya pada Bi Seri yang segera datang membereskan meja. Salsa dan Raivan beranjak hampir bersamaan dengan Nayla. Bedanya, Raivan langsung menuntun Salsa menuju kamar, sementara Nayla melangkah ke dapur, hendak membantu Bi Seri. "Nay, kamu nggak perlu—" ujar Salsa, bermaksud menghentikan langkah Nayla, tapi ucapannya tertahan ketika Raivan menyentuh lengannya lembut. Isyarat dari Raivan cukup jelas untuk tidak menghiraukan Nayla. Seolah menangkap maksud sahabatnya, Nayla menoleh sambil tersenyum tipis. "Aku nggak keberatan, Sa." Sementara di dalam kamar … "Mas," panggil Salsa pelan saat Raivan menyelimutinya di tempat tidur. "Iya, Sayang?" sahut Raivan, matanya lembut menatap wajah istrinya. "Mas... sebisa mungkin jangan membebani Nayla, ya?" ucap Salsa, nadanya lembut tapi penuh ketegasan. Raivan menoleh, sejenak terdiam, lalu ikut masuk ke dalam selimut. "Membebani seperti apa maksudmu?" Salsa menarik napas. "Nayla itu istri Mas juga. Bukan pembantu, bukan pula babysitter anak kita nanti. Dia juga tuan rumah di rumah ini dan ibu dari anak kita." "Kenapa mudah sekali kamu bicara seperti itu, Sayang?" tanya Raivan, ada tekanan dalam suaranya. Berbeda dengan Nayla yang selalu memilih diam saat Raivan berbicara, Salsa justru mendahului Raivan. Salsa mengatakan sesakit dan sesulit apa pun baik Salsa, Raivan dan Nayla harus menerima semua ini. Tujuannya hanya satu, demi anak yang ada di dalam kandungannya saat ini. "Aku ini nggak utuh, Mas," lirih Salsa. "Anak kita butuh kamu. Butuh Nayla juga." Raivan memejamkan matanya. Topik ini selalu membuat dadanya sesak. "Berhenti dengan semua pikiranmu itu, Sayang. Istirahatlah," ucapnya pelan sambil menarik Salsa ke dalam pelukannya. Dibelainya rambut istrinya, diciuminya puncak kepalanya berulang kali. "Mas...," panggil Salsa lagi. Raivan hanya membalas dengan deheman, tanda mendengar. "Aku... aku nggak bisa penuhi kebutuhan biologis Mas." "Iya, aku tahu. Aku ingat betul saran dari Dokter Anggita. Kehamilanmu masih terlalu muda dan rentan. Aku bisa menunggu—" "Tapi Nayla bisa, Mas," potong Salsa. Hening menyergap kamar mereka. Raivan menahan napas, tak tahu harus menjawab bagaimana. "Sudahlah... tidur, Sayang." Begitu Salsa terlelap, Raivan perlahan bangkit. Seperti biasa, usai menemani sang istri, ia masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan di lantai dua. Saat keluar dari kamar, lampu-lampu rumah sudah padam. Hanya satu cahaya yang masih tampak dari kamar Nayla yang sedikit terbuka. Dari celah pintu, ia bisa melihat Nayla sudah berganti baju tidur—sedang duduk di pinggir ranjang memainkan ponselnya. “Nayla bisa, Mas.” *** Salsa memutar arah tidurnya. Sisi ranjang di sebelahnya terasa kosong dan dingin. Hampa. Ia membuka mata, menoleh ke samping—Raivan tak ada di sana. "Mas?" panggilnya lirih, matanya menyisir ruangan dalam gelap. Tak ada sahutan. Ia bangkit perlahan, menapaki lantai dingin dengan kaki telanjang. Suasana rumah sunyi, lampu-lampu telah padam. Namun, dari bawah pintu kamar Nayla, terlihat cahaya redup yang samar—cukup untuk menarik perhatiannya. Langkah Salsa ragu saat ia mendekat. "Van, ka—kamu yakin?" suara Nayla terdengar dari balik pintu, lirih tapi jelas, membuat d**a Salsa berdegup tak karuan. "Hmm, bukankah ini yang kamu mau?" jawab Raivan, suaranya rendah, dalam. "Diakui sebagai seorang istri?" "Tapi... bukan seperti ini—mmmh...," suara Nayla terputus, hingga sesaat kemudian terdengar cecapan penuh tuntutan. Salsa refleks menutup mulutnya sendiri, menahan napas, tubuhnya membeku di tempat. "Raivan, berhenti. Aku butuh napas," suara Nayla tersendat. "Silakan." Lalu terdengar napas tercekat, desahan tertahan. "Ra—Raivan...." Suara itu menusuk. Darah Salsa berdesir. Ia berdiri di tempat, tak sanggup menjauh, tak sanggup pula mendekat. Ini yang kamu inginkan, Sa, bisiknya pada diri sendiri. Kamu yang memilih jalan ini, maka kamu harus kuat menjalaninya. Salsa memejamkan matanya, bersamaan dengan air matanya yang mengalir—lalu perlahan memutar badan. "Aku menginginkanmu malam ini, Nay," suara Raivan kembali terdengar, terbungkus hasrat yang tak tertahan di sela cecapan dan desahan. "Ya ... aku milikmu malam ini, Mas Raivan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN