PART. 10 PULANG

1054 Kata
Dina melongo mendengar kalau Wira sudah memiliki rumah sendiri. "Rumah kamu sendiri, atau mengontrak?" Dina bertanya karena merasa tidak percaya. Dina tidak yakin gaji sebagai guru bisa membeli rumah. "Alhamdulillah rumah sendiri." Wira menjawab dengan suara yang lembut. "Kamu bangun sendiri rumah itu?" Dina bertanya lagi ingin tahu. "Dapat hadiah dari nenek dan kakek." Wira berkata jujur. Sebelum meninggal Kakek dan neneknya menghadiahkan dua buah rumah kepada dirinya dan untuk Via. Karena takut mereka tidak akan hidup lama lagi. Mereka tidak ingin simpanan mereka tidak berguna. Jadi uang simpanan mereka dibagikan kepada seluruh cucunya. Kepada anak Zizi, kepada anak El, dan kepada anak Raka. Masing-masing memiliki tiga anak. Jadi ada sembilan anak yang diberikan hadiah harta oleh kakek dan nenek. Sementara orang tua mereka mendapatkan warisan. "Oh. Orang tuamu tinggal jauh dari kamu?" Tanya Dina ingin tahu. "Di sana ada tiga rumah. Satu rumah ditinggali orang tuaku. Satu rumah ditinggali oleh Zia. Satu rumah ditinggali oleh aku." Wira menjelaskan tentang rumah keluarganya. "Oh ...." "Aku juga berharap, bisa memberikan rumah kepada anak-anakku." Prana sangat ingin memberikan rumah kepada ketiga anaknya. "Kita tunggu nanti saja. Siapa tahu kedua putra kita tidak mau tinggal di sini. Sayang kalau rumah sudah dibeli tidak ditempati." Nana tidak setuju kalau mereka membeli rumah saat ini. Karena belum tentu kedua putra mereka mau pulang ke Banjarbaru. "Iya benar juga." Prana setuju. "Kalau keluarga Ramadhan tampaknya sangat cinta dengan Banjarbaru. Meski kuliah di Jakarta tapi memutuskan untuk kembali ke sini." Prana teringat dengan keluarga Ramadan. Keluarga yang sudah dikenal selama puluhan tahun. "Iya. Sebagian besar keluarga kami memang tinggal di sini." Wira membenarkan apa yang dikatakan oleh Prana. "Aduh. Berapa banyak nama dan wajah yang harus aku hafal." Dina menggaruk kepala. Dina yakin banyak sekali keluarga Wira di sini. "Di dalam keluarga kami tidak banyak anggotanya. Hanya ada Ayah dan Ibu saja. Kami juga tidak memiliki saudara banyak. Hanya ada Nino dan Nina saja. Kalau keluarga Ramadan sungguh keluarga yang sangat besar." Prana merasa kagum dengan keluarga Ramadan. Keluarga besar yang sangat menjaga hubungan kekerabatan mereka. Meski sudah keturunan sekian dari akar mula nenek moyang. Tapi masih menjaga hubungan dengan baik. "Iya, Ayah," sahut Wira. "Semoga keluarga kita bisa menjalin hubungan yang baik." Doa Prana. "Aamiin." Semua mengaminkan doa Prana. Setelah selesai sarapan mereka membereskan barang yang akan dibawa pulang. Mereka langsung menuju rumah Wira. Orang tua Wira menyambut kedatangan mereka. Begitu juga dengan Risman dan Zia. Ada Rido dan Via beserta kedua anak Zia. Sakha dan Sifa. "Selamat datang di rumah kami. Itu rumah Zia, itu rumah Wira, ini rumah Via. Kami tinggal di rumah Via. Ayo kita ke rumah Wira." El menunjukan rumah mereka semua. Lalu mengajak ke rumah Wira. El membuka kunci rumah Wira. Via, Shaka, dan Sifa langsung membuka semua jendela. Sehingga rumah menjadi terang. "Silakan masuk. Silakan kalau mau lihat-lihat." Elia mempersilakan semuanya untuk masuk. Semuanya melangkah masuk. Rumah yang cukup luas, dengan ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang tengah, ruang makan, dan dapur. Ada lemari yang di dalamnya tersusun kitab-kitab, dan buku tentang agama. Di dinding terlihat ada kaligrafi yang dilukis dengan sangat indah. "Bagus sekali rumah Wira." Nana senang sekali melihat keadaan rumah Wira. Ada taman di dalam rumah. Taman yang sejuk. Diatas taman atapnya kaca. Didinding ada lubang udara. Sehingga taman terlihat sangat terang. Mereka mengikuti langkah Elia. "Ini kamar tidur Wira." Elia membuka pintu kamar Wira. Kamar yang sangat rapi bagi seorang pria. Ada ranjang besar, lemari empat pintu, rak tempat sisir dan parfum, kaca besar setinggi badan. Ada meja dan kursi kerja juga. Ada televisi dan kulkas. Ada jendela dengan bentuk lebar. Ada pintu menuju taman di samping rumah. Di dalam kamar juga ada tanaman. Mereka kembali melangkah, menuju kamar yang ada di sebelah. "Ini kamar tidur satunya." Elia membuka pintu kamar itu. Memperlihatkan isi kamar. Kamar tidur yang sama persis dengan kamar tidur pertama. Hanya saja di sini tidak ada meja kerja. Kemudian mereka melanjutkan langkah menuju kamar yang lainnya. "Yang ini studio." Elia membuka pintu kamar itu. Kamar paling belakang. "Studio apa?" Tanya Nana. Elia menatap Wira. "Risman, Rido, dan Wira. Mereka memiliki follower yang banyak di sosial media. Jadi setiap malam mereka live. Hasil live nya, lumayan besar. Sebagian dibagikan kepada orang yang membutuhkan." Elia menjelaskan seraya tersenyum. "Oh. Mereka artis Tik tok begitu?" Tanya Dina. "Ya seperti itulah. Tapi bukan artis." Elia menggelengkan kepala. "Kalau banyak followernya berarti artis." Dina menganggap orang yang banyak followernya adalah artis. "Artis kampung." Via menyahut. Semua tertawa, kecuali Wira yang hanya tersenyum. Sedang Dina sangat tidak percaya kalau Wira, sangat terkenal di tik tok. 'Bagaimana cara dia bicara. Sikapnya seperti patung kulkas sepuluh pintu. Bagaimana dia berkomunikasi dengan orang lain. Aduh, aku penasaran.' Elia menunjukkan dapur kepada besan dan menantunya. "Ini dapurnya. Dina bisa masak?" Tanya Elia. "Masak air dan masak mie saja bisanya." Nana yang menjawab pertanyaan Elia. "Tidak apa. Wira pintar memasak. Dia tidak terlalu susah makannya. Apa Dina ada yang tidak disukai dari makanan? Biar Wira bisa mengingat kalau istrinya tidak suka makan itu. Jadi Wira tidak akan memasak yang tidak disukai Dina." Elia ingin Dina mengatakan makanan apa yang tidak disukai. Agar Wira bisa mengingat dan tidak memaksa yang tidak disukai oleh istrinya. "Harusnya Dina yang belajar memasak untuk Wira. Bukan Wira yang melayani Dina." Nana menatap putrinya. "Di dalam keluarga kami tidak ada keharusan seperti itu. Siapa yang bisa, siapa yang sempat, bisa melakukan untuk keluarga." Elia menjelaskan tentang keluarga mereka. Di keluarga Ramadan, para pria semuanya bisa memasak. Tidak segan membantu dan melayani istrinya. "Oh ...." Nana merasa kalau Dina menemukan pasangan yang tepat. Karena Dina tidak bisa memasak. Ternyata dapat pasangan yang pintar memasak. Mereka melangkah meninggalkan dapur. Mereka tiba di ruang tengah. "Ayo duduk dulu." Elia mempersilakan mereka untuk duduk. "Tidak usah. Kami ingin pulang. Kedua pengantin mungkin perlu istirahat. Pasti masih capek." Nana menolak untuk duduk. Ingin langsung pulang saja. Di rumah masih ada dua putra mereka yang menunggu. "Kenapa buru-buru?" "Di rumah masih ada dua jagoan. Mereka akan segera kembali ke Jakarta. Pasti ribut, kalau tidak ada ibunya untuk membantu merapikan barang mereka." "Oh. Mereka akan pulang kapan?" "Lusa. Besok katanya ingin main ke kandang sapi. Kandang sapinya di mana?" "Kandang sapinya di belakang sana." "Apa boleh besok kami semua melihat ke sana?" "Tentu saja boleh." "Terima kasih." Kedua ibu sudah sangat akrab, sebagai juru bicara dari kedua keluarga. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN