BAB LIMA PULUH SATU

2108 Kata
Setelah selesai memeriksa kondisi vital dari masing - masing pasien yang proses operasinya ditangani olehnya, ayahnya Sora tersenyum lega karena pada akhirnya ia bisa pulang lebih awal hari ini dan bisa menjemput Sora pulang dari sekolah. Hari ini untuk pertama kalinya dalam satu minggu ini tidak ada jadwal operasi untuknya. Tentu ia merasa senang dengan hal itu, sebab, itu artinya orang - orang sudah mulai menjalani hidupnya lebih sehat sekarang ini, pikirnya. Baru saja ia keluar dari ruang perawatan pasien terakhirnya yang menjalani operasi untuk usus buntunya, salah seorang perawat datang dengan tergesa - gesa menghampiri ayahnya Sora membuat dirinya dan juga dokter - dokter bawahannya yang sedang magang terheran - heran dan bertanya - tanya ada apa. “Dokter Kang! Cepatlah!” , ujar perawat tersebut dari kejauhan menarik perhatian ayahnya Sora dan juga dokter magang yang ikut dengannya. “Museun ireo (Ada apa)?” , tanya ayahya Sora dengan santai bertukar pandang dengan dokter - dokter magang yang ikut bersamanya. Mereka sama - sama mengangkat bahu mereka sebagai tanda bahwa mereka tidak tahu. Perawat tersebut berhenti tepat di hadapan ayahnya Sora dengan terengah - engah, “Dokter Kang!.. hosh, hosh. Terjadi kebakaran di lantai empat gedung perbelanjaan Daesung. Sebagian korban dilarikan ke rumah sakit kita! Ayo cepat, dokter!” , jelasnya dengan singkat dan terburu - buru. Ayahnya Sora yang sudah hafal betul bagaimana gawatnya kondisi seperti itu langsung bergegas berlari menuju pintu masuk utama dekat ruang Unit Gawat Darurat. Disana sudah ada beberapa dokter dan juga perawat yang bersiap - siap menyambut para pasien. Mereka semua berdiri dengan gelisah menanti - nanti bagaimana wujud dan bentuk luka korban yang dilarikan ke rumah sakit mereka. Dalam berita yang ditampilkan di televisi yang ada di rumah sakit pun sedang menayangkan peristiwa kebakaran gedung pusat perbelanjaan itu. Selagi menunggu, ayahnya Sora menyempatkan diri untuk menonton dan bergidik ngeri saat melihat betapa besarnya kobaran api yang muncul dari lantai empat gedung tersebut. Seketika, ia sudah mendapatkan gambaran seberapa banyak dan seberapa parah luka yang ada pada pasien - pasien yng baru datang itu. Tak lama mulai terdengar suara sirine mobil ambulan yang mendekat. Segera mereka yang sudah datang lebih dulu, menghampiri ambulan tersebut begitu pintu ambulan terbuka dan petugas yang di dalam membantu mengeluarkan pasien dari dalam ambulan. “Luka bakar tiga puluh persen. Tidak sadarkan diri karena terlalu banyak menghirup asap saat mencoba menyelamatkan diri.” , jelas petugas ambulan tersebut memberi penjelasan singkat pada dokter yang bertanggung jawab. Mereka langsung membawa masuk pasien tersebut ke ruang unit gawat darurat. Ayah Sora sabar menanti untuk pasien selanjutnnya yang datang. Kebanyakan dari mereka berada di situasi yang sama. Luka bakar dan juga beberapa dari mereka tidak sadarkan diri karena terlalu banyak menghirup asap dari kobaran api. Pada akhirnya ambulan giliran ayahnya Sora datang. Seorang pria dengan luka bakar dan juga perut bagian kanannya yang terluka, menglami pendarahan. “Usia dua puluh delapan tahun. Terkena luka bakar dua puluh persen dan sebuah pecahan kaca menusuk perut kanannya saat mencoba menyelamatkan diri.” , jelas petugas ambulan memberikan informasi yang ayahnya Sora butuhkan dengan jelas. Kondisi pasien masih setengah sadar. Ia memegangi luka yang mengalami pendarahan pada perut bagian kanannya, berusaha agar darahnya tidak keluar lebih banyak lagi. Ayahnya Sora yang sudah langsung tahu apa saja yang harus ia lakukan, langsung membawa pasien tersebut menuju ruang Unit Gawat Darurat untuk segera menolongnya. Hanjabun, hanjabun, nae mal deutgo iseoyo (Pasien, pasien, dapatkah kamu mendengar saya?” *** Sora tengah duduk termenung dengan pelatihnya. Ia merasa malu untuk saat ini. Ia tidak memiliki cukup keberanian untuk menatap pelatihnya yang sudah repot - repot mau menggendong dan membawa Sora. Sora tidak begitu ingat kejadian persisnya, tetapi ia ingat betul dirinya terhantam bola yang datang ke arahnya dan langsung mengenai tepat wajahnya Salah satu lubang hidungnya ia sumbat dengan tissue untuk menghambat pendarahan yang terjadi terus - menerus. Suasana di dalam Unit Kesehatan Sekolah begitu sepi dan hening. “T-terma kasih banyak sudah membawaku kemari.” , ujar Sora memulai pembicaraan di antara mereka. “Bukan apa - apa.” , balas pelatihnya dengan ramah, “Ah cham (omong - omong), bagaimana kakimu? Apa begitu parah?” tanyanya penasaran. Sora melihat kaki kirinya yang terbalut gips tebal. Ia tersenyum kecut, “Hanya patah tulang saja. Dalam beberapa bulan juga pasti akan sembuh dengan sendirinya.” , jawab Sora dengan enteng. Pelatihnya itu kembali melipat tangannya di depan dadanya dan memejamkan matanya, “sayang sekali, ya. Kau jadi tidak bisa ikut bertanding pada pertandingan nanti.” Sungguh, Sora sudah bosan mendengar kalimat itu - itu lagi. Yah, walaupun itu artinya kemampuan Sora sudah diakui oleh beberapa orang. “Choisonghamnida (Maafkan aku). karena telah mengacaukan tim dan terpaksa untuk mundur.” , ujar Sora dengan niat sejak awal untuk meminta maaf. Pria tua yang duduk pada kursi yang berada tepat di samping ranjang tempatnya duduk, tertawa lepas. Ia tidak mengerti mengapa Sora harus meminta maaf padanya. Sedangkan Sora juga terlihat bingung, tidak mengerti mengapa pelatih kesayangannya itu malah tertawa seakan - akan ada yang terdengar lucu dari ucapannya yang sebelumnya. . “Apa.. ada yang lucu dari ucapanku sebelumnya, coach?” , tanya Sora terus terang. “Tidak. Tidak sama sekali. Hanya saja, aku tidak mengerti mengapa kau meminta maaf untuk hal itu. Gwaenchanha (Tidak apa - apa), mungkin ini adalah teguran untukmu yang tidak membiarkan tubuhmu beristirahat. Apa aku salah?” Sora diam saja memikirkan pernyataan itu. Ia setuju dengan hal itu, tetapi itu justru membuatnya merasa malu kepada pelatihnya. Ia merasa lalai dalam menjaga tubuhnya dan itu artinya ia tidak mendengarkan apa yang selalu pelatihnya sampaikan setiap selesai latihan. Sora tersenyum masam, “Kau benar. Ini adalah teguran untukku.” “Geurae (benar, begitu). Oleh karena itu, kau seharusnya merasa bersalah pada tubuhmu dibandingkan merasa bersalah padaku ataupun pada tim. Satu - satunya yang dirugikan dalam hal ini adalah dirimu. Jangan diulangi lagi, ya?” , balas pelatihnya dengan begitu hangat. Satu hal yang tidak bisa ia mengerti tentang pelatihnya adalah, wajahnya garang dan ia akan bersikap tegas dan disiplinnya begitu tinggi pada murid - murid yang dilatih olehnya. Tetapi, saat berbicara empat mata dan bicara secara pribadi seperti ini, pribadinya begitu hangat. Tidak ada nada suara tinggi seperti petinggi militer yang memberikan perintah, tidak ada juga tatapan wajah serius yang terlihat begitu galak seperti seekor anjing yang siap menerkam siapa pun yang mencari perkara dengan dirinya. Yang ada hanya suara yang menyenangkan dan terasa begitu hangat di dalam hati, benar - benar seperti sedang berbicara dengan sosok ayah yang baik. “Haebolkke seumnida (Aku akan mencoba).” , sahut Sora tidak bisa memberikan jawaban pasti. Atau lebih tepatnya tidak ingin mengatakan hal yang mungkin tidak bisa ia pertanggung jawabkan. *** Rei telah selesai dengan makan siangnya. Semua makanan yang diberikan telah habis tak bersisa dan porsinya pun masih sama dengan yang biasanya, tetapi Rei sama sekali tidak merasa kenyang. Dirinya masih merasa lapar. Perutnya masih menginginkan makanan lainnya untuk mengisi ruang kosong yang masih tersisa di dalam perutnya. Ia menyayangkan pihak sekolah dan pihak kantin yang tidak menyediakan pilihan untuk tambah porsi makan walaupun itu artinya harus men-tap dua kali kartu makan siangnya. Tetapi Rei pikir itu tidak masalah daripada merasa kurang seperti sekarang ini. Ia bertanya - tanya apakah ini karena dirinya yang sejak pagi telah melakukan aktifitas fisik berlebihan yang tidak seperti biasanya. Memang pada dasarnya, di sekolahnya, Rei tidak begitu aktif melakukan aktifitas yang mengandalkan fisik seperti olahraga salah satu contohnya. Tetapi hari ini, pagi - pagi saja ia sudah menggendong Sora di punggungnya sampai ke dalam kelas yang mengharuskannya untuk menaiki anak tangga yang tidak sedikit jumlahnya. Ia bersyukur kakinya sudah terlatih sejak lama karena ia selalu menggunakan sepeda untuk pergi dan pulang sekolah. Siapa yang menyangka hal itu benar - benar akan berguna di masa depan. Rei tidak bisa membayangkan jika ia memperlakukan kakinya sama seperti anggota tubuh lainnya. Itu artinya mungkin pagi ini ia hanya akan mempermalukan dirinya di hadapan Sora dan juga murid - murid lainnya yang berpapasan dengannya. Sungguh, Rei tidak bisa membayangkan hal itu terjadi. Merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan di kantin, Rei beranjak dari kursinya dan membawa wadah makan siangnya untuk dikumpulkan di tempat pengumpulan agar bisa segera dicuci oleh orang yang bertugas mencuci peralatan masak dan juga peralatan makan di dapur. “Gamsahamnida (terima kasih).” , ujar Rei seraya meletakkan wadah makannya di atas tumpukkan wadah makanan lainnya yang sudah menumpuk dan menunggu untuk diambil. Rei melihat jam tangan yang melingkar di tangannya dan terkesiap. Waktu istirahat yang tersisa hanya beberapa menit lagi. Segera ia memutuskan untuk mengecek Sora untuk mengajaknya kembali ke kelas sebelum bel tanda masuk berbunyi. Tidak ingin makanan yang ada di dalam perutnya terkocok - kocok, Rei memutuskan untuk berjalan santai mencari Sora. Toh, aula olahraga tidak sejauh itu. Hanya beberapa puluh meter saja jaraknya dari kantin dan hanya dipisahkan oleh ruang besar tempat berlalu - lalang semua warga sekolah. Pintu ruang aula olahraga tertutup tidak seperti biasanya, pikir Rei. Pasalnya, seingatnya tadi, ia melihat pintu aula olahraga terbuka satu walaupun pintunya yang satu lagi tertutup. Tidak ingin menghabiskan waktu hanya untuk menebak - nebak alasannya, Rei tanpa ragu membuka pintu besar tersebut dan berjalan masuk dengan santai. Suasana disana sudah sepi. Ia tidak mendengar ada suara sorakan, sahutan, ataupun suara decitan sepatu yang biasanya sangat familiar di ruangan terbesar yang ada di sekolah ini. Setelah berbelok melalui sisi podium, Rei bisa melihat sepenuhnya ruang aula olahraga. Semuanya terlihat dari tempatnya berdiri, tetapi ia tidak melihat ada tanda - tanda kehadiran Sora. Yang ia lihat hanyalah sekumpulan siswi perempuan yang berkeringat tengah membereskan barang - barang mereka secara berbincang - bincang dengan santai. Hanya ada mereka manusia yang ada di dalam ruang aula olahraga, mau tidak mau Rei pergi menghampiri mereka untuk bertanya pasal Sora. Semakin mendekat, semakin pembicaraan mereka terdengar jelas. Dari kejauhan tadi yang terdengar hanya suara tawa dan suara makian yang diselingi tawa, sedangkan pembicaraan jelasnya tidak terdengar sama sekali. Tetapi seiring dekatnya jarak dengan mereka, perkataan dan kalimat yang mereka ucapkan dari mulut mereka semakin terdengar jelas. Bahkan, sempat beberapa kali Rei mendengar ada nama Seowoo disebut - sebutkan juga oleh mereka, “Jeogiyo (Permisi)..” , ujar Rei datang yang menginterupsi pembicaraan mereka. Benar saja, mereka langsung terdiam begitu menyadari kehadiran Rei disitu. “Ne (iya)?” , jawab salah satu dari mereka yang nampaknya adalah kaptennya. Tubuhnya benar - benar besar dan tinggi, hampir sepantaran dengan Rei. Berbeda sekali dengan Sora. “Apa tadi Sora ada kemari?” , tanya Rei langsung ke intinya karena mereka terlihat begitu terganggu dengan interupsi Rei. “Sora?” , siswi itu berdiri dan ia menunduk sambil memejamkan matanya untuk mengigat - ingat, “Oh Sora!” , serunya dengan mata terbuka lebar, “Iya, dia ada datang kemari tadi. Waeyo (Kenapa)?” “Boleh aku tahu kemana dia pergi? Apa dia ada memberitahu kalian kemana dia akan pergi?” Siswi tersebut mengerutkan keningnya, “Apa maksudmu? Begitu ia datang kemari, sesuatu terjadi padanya, dan coach kami langsung membawanya ke ruang UKS.” , jelasnya singkat. “UKS?!” , Rei terkesiap. Sesaat ia terlihat linglung membuat siswi - siswi yang ada disitu ikut bingung melihat reaksi Rei. Saat mendengar UKS dan sesuatu telah terjadi pada Sora, sirkuit dalam pikiran Rei langsung terpikirkan berbagai macam skenario buruk yang mungkin terjadi. Tetapi tentu ia tidak bisa menghabiskan waktu berdiri saja di situ, tanpa bicara apa - apa lagi ia bergegas keluar dari sana untuk mencari Sora. “HEI! BUKAN SESUATU YANG BESAR! HANYA TERBENTUR BOLA YANG DATANG KE ARAHNYA SAJA!” , teriak siswi yang meladeni Rei tadi saat menyadari bahwa Rei pasti panik setelah ia mendengar kata UKS yang keluar dari mulutnya. Tentu saja Rei tidak mendengarkan seruan dari siswi tadi walaupun suaranya terdengar begitu menggema di ruangan aula olahraga ini. Pikiran Rei terlalu panik pada Sora, hanya ada UKS dan Sora di dalam pikirannya saat ini. Rei terus melanjutkan larinya setelah keluar dari aula olahraga hingga ia sempat hampir bertabrakan dengan salah satu siswa yang sedang berjalan santai melewati jalannya. “Hei! perhatikan langkahmu!” , tegur siswa yang hampir bertabrakan dengan Rei. Tetapi Rei menggubris hal itu dan tetap melanjutkan langkahnya. Rei membuka pintu ruang UKS dengan kasar dan melihat sekeliling tidak ada satupun orang disana. Sedangkan Sora yang tengah bersiap untuk berdiri sendiri dengan bantuan tongkatnya terkejut mendengar suara pintu dibuka dengan kencang sampai - sampai ia memegangi jantungnya yang terasa hampir lepas dari tempatnya. Walaupun tampak kosong, Rei melihat ada satu tempat tidur yang tertutup tirai sepenuhnya. Segera ia menghampiri tirai tersebut dan hal itu membuat Sora yang baru saja mencoba untuk turun dari tempat tidur, kembali terduduk terkejut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN