BAB SEPULUH

2654 Kata
Musim panas hanya tersisa beberapa hari lagi, dibandingkan dengan anak–anak yang lainnya, Sora yang tidak tahan dengan udara dingin sudah memakai sweater untuk melapisi seragam sekolahnya yang tidak cukup tebal untuk menahan udara dingin yang menerpa. Jadwal latihan yang sebelumnya adalah siang hari setelah pelajaran kedua, kemudian diubah menjadi pagi–pagi sebelum pelajaran pertama dimulai. Perubahan waktu latihan itu disebabkan oleh tim voli dari sekolahnya yang juga harus latihan untuk pertandingan anatar sekolah nanti. Pertandingan olahraga antarsekolah yang diselenggarakan oleh walikota Seoul membuka berbagai cabang olahraga. Diantara ada basket, sepak bola, voli, dan baseball. Dari sekolah Rei dan Sora hanya mengikuti dua cabang olahraga, yaitu voli dan basket. Pihak sekolah berharap banyak dari pertandingan olahraga antarsekolah ini, salah satunya adalah nama sekolah menjadi lebih dikenal dan bisa mendatangkan lebih banyak murid pada tahun ajaran baru selanjutnya. Namun bukan hanya pihak sekolah yang mendapatkan keuntungan dari pertandingan olahraga yang diselenggarakan oleh walikota ini. Para siswa dan siswi yang ikut pertandingan ini juga bersemangat untuk berpartisipasi. Selain untuk unjuk gigi kemampuan mereka dalam cabang olahraga yang mereka ikuti, ada hadiah uang tunai sejumlah satu juta won dan juga medali emas menunggu bagi mereka yang mendapat peringkat pertama dalam pertandingan. Namun yang Sora inginkan bukanlah kedua hal itu. Ia hanya ingin menarik perhatian ayah ataupun ibunya dan membuat mereka bangga. Setidaknya untuk mengingatkan mereka bahwa bukanlah sebuah penyesalan bahwa mereka pernah saling mencintai. Hanya dengan membayangkan kedua orangtuanya bisa kembali bersama, membuat Sora berdebar– debar. Ia benar–benar merindukan saat–saat keluarga mereka masih utuh bersama. Walaupun ada sedikit rasa sedih yang mendalam karena ibunya yang meninggalkannya begitu saja dan tidak pernah mengunjunginya lagi, itu tidak membuat Sora lantas membenci ibunya. Ia merasa dirinya lah penyebabnya. Terus berpikir hal apa yang membuat ibunya membencinya dan tidak pernah menemuinya lagi, pikiran–pikiran seperti itu tidak jarang datang dan menghantuinya. Ayahnya hanya mengatakan padanya bahwa ibunya hanya pergi sebentar dan akan segera kembali. Namun setelah sembilan tahun berlalu, ibunya masih belum kembali. Sora sendiri pun tidak mengerti mengapa dulu ia berhenti bertanya kemana pergi ibunya setelah satu jawaban itu. Yang pasti, pada saat Sora melihat kepergian ibunya, ia sudah merasa bahwa ibunya akan pergi jauh dan untuk waktu yang lama. Melihat tatapan ayahnya yang berat saat melihat kepergian ibunya saat pertemuan terakhir mereka di pengadilan perceraian, membuat Sora enggan untuk menanyakan soal kepergian ibunya lagi. Foto keluarga berukuran besar yang berisi Sora kecil, ayah, dan juga ibunya yang terpajang di dinding langsung diturunkan dan dibuang oleh ayahnya Sora sepulang mereka dari pengadilan. Foto–foto liburan keluarga yang dipajang di meja samping meja televisi dan juga yang terpajang di dinding atas televisi pun tak luput. Semuanya dikumpulkan dalam satu kotak dan ia bawa kotak tersebut keluar rumah dan ia letakkan tepat di samping tempat sampah. Sora hanya diam melihat ayahnya melakukan semua itu. Melihat raut wajah ayahnya yang sangat berbeda dari ayahnya yang ia kenal membuatnya nyalinya menciut. Yang Sora bisa lakukan hanya diam. “Sora anak ayah yang paling cantik..” , ujar ayahnya sambil berjongkok agar tinggi badannya sejajar dengan tinggi badan Sora. Ia melepaskan jaket tebal berwarna pink lembut yang melindungi Sora dari udara dingin musim gugur di luar. Sora hanya diam menunggu lanjutan ucapan ayahnya. “Bagaimana kalau kita makan jajjangmyeon? Sora mau?” , lanjut ayahnya. Sora tersenyum mengangguk. “Apa Sora merasa sedih karena eomma pergi?” Sora terdiam sejenak. Dari raut wajahnya bisa terlihat kesedihan yang ia rasakan. Namun tak lama ia menggeleng, “Tidak. Ada appa yang menemaniku, Sora tidak sedih.” , Sora langsung memeluk leher ayahnya erat. Mendengar hal itu membuat ayahnya Sora merasa lebih tenang. “Besok kita berfoto bersama yuk? Appa ingin menggantung foto appa dengan Sora di atas sana.” , ucap ayahnya Sora sambil menunjuk dinding berwarna abu–abu polos di atas sofa. Sora hanya mengangguk mengiyakan. *** Siang hari setelah waktu istirahat itu cukup membosankan untuk Sora yang tidak memiliki kegiatan untuk dilakukan. Hanya berjalan–jalan mengelilingi sekolah sendirian benar–benar membosankan ditambah udara dingin di luar. Hari pun terasa lebih panjang dengan ketidakhadiran Rei, pengganggu yang membuatnya merasa lebih senang mendengar semua omong kosong Rei daripada tidak mendengarnya sama sekali. Seowoo dengan kameranya mencari–cari objek yang menarik untuk ia ambil gambarnya dengan kameranya. Objek yang ia sukai adalah semua hal yang berkaitan dengan alam. Mulai dari semut kecil hingga bunga–bunga yang mulai bermekaran selalu menarik perhatiannya. Siang itu ia menjadikan semut–semut kecil yang berjalan dengan barisan rapi di batang sebuah pohon besar yang ada di pinggir lapangan tempat para siswa bermain bola saat jam istirahat. Wajahnya dengan serius menatap tampilan gambar yang muncul di kameranya, dan tangan kanannya menggerak–gerakan lensa untuk mengatur fokus gambar yang diambil. Raut wajahnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat saat ia merasa puas dengan hasil foto yang ia dapatkan. Senyumnya langsung mengembang begitu saja, benar–benar menunjukkan kepuasan pada hasil gambarnya. Perhatiannya teralihkan saat matanya secara tidak sengaja melihat Sora yang tengah berjalan–jalan sendirian menuju belakang sekolah. Seowoo pun berinisiatif untuk mengikuti Sora dari belakang. Telinga Sora yang ia sumbat sendiri dengan headset yang tersambung dengan iPodnya, membuatnya tidak bisa mendengar langkah kaki Seowoo yang mengikutinya dari belakang. Rekaman permainan piano Rei terputar di daftar putar iPodnya, membuatnya semakin merindukan sosok Rei walaupun ia belum bertemu dengan Rei dua hari ini karena Rei sedang pergi ke Jepang bersama keluarganya untuk urusan keluarga. Seowoo yang sedari tadi hanya memandang Sora dari belakang sudah tidak tahan lagi. Ia ingin untuk melihat wajah Sora. Seowoo pun mengangkat kameranya bersiap untuk memotret. Begitu ia memanggil nama Sora dan Sora berbalik menengok ke asal suara yang memanggilnya, saat itu juga ia mengambil potret Sora yang berbalik menatapnya. Sora yang melihat hal itu terkejut dengan sambutan tiba–tiba seperti ini. “Sunbae? Apa yang kau lakukan?” , tanya Sora sambil melepas headsetnya. Seowoo menunjukkan kameranya, “Aku hanya sedang memotret.” “Apa yang kau potret?” , tanya Sora sambil berjalan menghampiri Seowoo. Seowoo pun segera menggeser tampilan foto Sora yang baru saja ia ambil, ia tidak ingin Sora melihatnya dan memintanya untuk segera menghapusnya. “Aku memotret alam.” , jawab Seowoo sambil menunjukkan pada Sora hasil foto yang ia ambil saat Sora sudah menghampirinya dan berada tepat di hadapannya. “Wah kau hebat dalam mengambil foto, sunbae.” , puji Sora kagum saat melihat foto–foto semut yang Seowoo potret dari berbagai sudut. “Hasil foto yang bagus.” Sewoo tersenyum senang mendengar pujian dari Sora, “Tidak, tetapi alamnya saja yang sudah indah. Aku hanya ingin mengabadikan keindahan dari mereka.” “Apa kau sedang merendah, sunbae? Kau merendah untuk meninggi?” , selidik Sora. Seowoo tidak percaya dengan respon Sora yang begitu menggelitik hati dan pikirannya. Respon Sora tidak seperti orang lain, benar–benar tajam. Sora tertawa melihat reaksi wajah Seowoo yang terkejut dengan pertanyaannya, “Aku hanya bercanda. Hasil fotonya benar–benar bagus.” “Wah, kata–katamu benar–benar tajam, Sora.” , ujar Seowoo mengundang tawa dari Sora. “Kau sendirian? Tidak bersama dengan Rei?” , tanya Seowoo mencoba membuka pembicaraan lainnya. Sora menggeleng santai, “Dia pergi ke rumah neneknya karena neneknya baru saja meninggal.” , Seowoo mengangguk mengerti. “Sejak kapan ia pergi? Aku turut berduka atas kematian neneknya.” , Seowoo melangkahkan kakinya meneruskan perjalanan. Sora pun mengikutinya tanpa sadar. “Sejak kemarin.” “Kapan ia kembali?” Sora mengangkat bahunya, “Aku tidak tahu. Dia tidak memberitahuku.” Seowoo mengangguk pelan sambil memikirkan sesuatu, “Apa kau luang sepulang sekolah nanti?” , tanyanya tiba–tiba. “Iya aku luang karena tidak ada Rei.” Seowoo menghentikan langkahnya dan berbalik hingga ia saling berhadapan dengan Sora, “Bagaimana kalau kita main basket bersama sore ini?” “Tidak bisa. Aku benar–benar tidak tahan dingin.” Seowoo menggeleng, “Aku tahu tempat yang bagus. Sepulang sekolah nanti aku tunggu di kedai roti bakar depan sekolah ya. Sampai nanti.” , Seowoo pun pergi lebih dulu meninggalkan Sora yang masih tidak mengerti sepenuhnya. “Tempat yang bagus? Apa maksudnya?” , gumam Sora sambil menatap punggung Rei yang mulai menjauh. *** Jam pelajaran terakhir sudah berakhir. Sora menuntun sepedanya keluar dari lingkungan sekolah dan benar saja, Seowoo benar–benar menunggu di depan kedai roti bakar langganan Sora dan Rei yang sudah tutup pada sore hari karena mereka hanya buka sampai siang. Seowoo memperhatikan setiap siswi yang keluar dari gerbang sekolah untuk melihat apakah Sora sudah keluar. Kehadirannya ternyata membuatnya menjadi pusat perhatian siswi–siswi yang lewat. Dengan pesona charmingnya, ia memberikan senyuman pada siswi–siswi yang terang–terangan menatapnya. “Hei Seowoo, kau mau ikut kami tidak?” , tanya salah satu siswa yang keluar dari gerbang sekolah dengan bergerombol lima orang. Seowoo seakan tahu tujuan gerombolan siswa tersebut, menggeleng dengan yakin, “Tidak. Aku ikut lain kali saja. Aku sudah punya janji hari ini.” “Uuuuuuu~” , sahut lima siswa tadi serempak. “Siapa lagi kali ini? Yoon-Ah? Dami?” , tanya salah satu dari mereka sambil menyebutkan siswi–siswi yang populer di kalangan siswa. Seowoo terkekeh menggeleng, “Tidak, bukan salah satu dari mereka. Bukan urusan kalian, cepat pergi sana.” , usir Seowoo sambil menggerakan tangan kanannya dengan gerakan mengusir. “Jangan lupa traktirnya, ya!” , sahut salah satu dari lima siswa tadi sebelum mereka pergi. Seowoo masih berdiri di tempatnya menunggu Sora. Mengirim pesan dan menelpon ponsel Sora sudah ia lakukan, tetapi hasilnya nihil karena Sora tidak membalasnya ataupun menjawab telpon darinya. Tentu saja, ponsel Sora berdering di atas meja belajar di rumahnya. Seowoo adalah pelanggan setia transportasi umum. Ia tidak seperti Sora dan Rei yang menggunakan sepeda untuk ke sekolah, ia lebih suka berdesakan di bus dan berjalan kaki dari tempat pemberhentian bus daripada naik sepeda. Sora merasa sedikit ragu untuk menghampiri Seowoo. Pasalnya banyak siswi–siswi yang diam–diam memperhatikan Seowoo dan malu–malu saat lewat di depan Seowoo. Jika ia menghampirinya sekarang, maka dirinya juga akan jadi pusat perhatian, walaupun sebenarnya bukan dirinya yang diperhatikan. Akhirnya Sora pun memutuskan untuk menunggu hingga para siswi sudah pulang ke rumahnya masing–masing agar ia bisa menghampiri Seowoo tanpa harus menjadi pusat perhatian apalagi bahan gosip. Sebenarnya ia bisa saja menghubungi Seowoo, tetapi itu hanya bisa terjadi jika ia membawa ponselnya. Hari ini adalah kesekian kalinya ia lupa membawa ponselnya dan ia sudah jadi terbiasa karena hal itu. Setengah jam sudah berlalu, para siswa dan siswi pun sudah mulai sedikit. Akhirnya Sora keluar dari tempat persembunyiannya dan menghampiri Seowoo. “Kau sudah lama menunggu, sunbae?” , tanya Sora menegur Seowoo yang sibuk bermain game di ponselnya. “Tunggu sebentar, aku hanya tinggal tersisa satu musuh lagi.” , Seowoo hanya menatap sekilas pada Sora dan perhatiannya kembali fokus pada ponsel pintarnya dengan kedua ibu jarinya dengan lincah bergerak mengarahkan karakter yang dimainkan untuk bergerak melawan musuhnya. Tidak butuh waktu yang lama untuk Seowoo memenangkan permainannya, kemenangannya itu hanya memberikan senyum kepuasan di wajahnya. Selesainya permainan yang Seowoo mainkan, ia langsung melepas earphonenya dan menggulungnya pada ponselnya sebelum memasukannya ke dalam saku celananya, “Kau akan membawa sepedamu?” “Tentu saja. Kenapa? Apa aku tidak boleh membawanya? Apa harus kutinggalkan saja disini?” Seowoo menggeleng, “Tidak. Bukan masalah. Kalau begitu biar aku yang memboncengmu.” , Seowoo mengambil alih sepeda Sora dan segera naik di dudukan depan. Sora masih diam di tempatnya berdiri. Ia ragu. Pasalnya ia bisa melihat ada beberapa siswi yang tengah menatapnya dengan tatapan sinis dan saling berbisik satu sama lain. “Sepertinya lebih baik kita pergi masing–masing saja.” “Kenapa?” “Mereka menatapku dengan tatapan yang menakutkan.” , jawab Sora sambil melirik ke arah siswi-siswi yang tengah menatapnya sinis. “Tidak apa, jangan pikirkan mereka. Ayo cepat naik, hari semakin gelap.” , akhirnya Sora pun menurut dan duduk di dudukan belakang dengan kedua tangannya berpegangan pada tas Seowoo. “Kau siap?” , tanya Seowoo mengambil ancang–ancang bersiap untuk mengayuh. “Eung.” , Seowoo pun mengayuh membawa Sora pergi menjauh dari sekolah. Siswi–siswi yang melihatnya membuka mulutnya tidak percaya akan apa yang baru saja dilihatnya. Diantara mereka ada yang segera langsung mengambil gambar dengan ponselnya dan menyebarkannya di group chat. Hal itu membuat seisi group chat heboh karena sebagian besar dari mereka adalah para siswi yang mengecap dirinya sebagai fans dari Seowoo. *** Hari sudah gelap, suasana yang kelabu juga amat terasa di dalam mobil yang dikendarai oleh ayahnya Rei. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Mata sembab masih terlihat jelas pada wajah ibunya Rei yang menatap keluar jendela kaca mobil. Rei yang duduk di kursi belakang ikut merasa sedih. Walaupun ia tidak begitu dekat dengan neneknya, tetapi ia sedih melihat ibunya yang terluka perasaannya karena kepergian neneknya yang adalah ibu dari ibunya. “Apa mau makan dulu sebelum pulang, sayang?” , tanya ayahnya Rei mencoba memecah keheningan yang ada. Ibunya Rei menggeleng dengan lemah. Namun ayahnya Rei tidak berhenti mencoba. “Bagaimana dengan samgyetang? Sudah lama kita tidak pergi ke restoran samgyetang yang terakhir kali kita datangi waktu itu, bagaimana? Daging ayamnya empuk dan kuahnya benar–benar enak dan hangat, iya kan sayang? Bagaimana kalau kita ke sana?” Namun lagi–lagi ibunya Rei hanya menggeleng lemah, ia masih menatap ke luar jendela kaca mobil. “Aku tidak lapar.” , jawaban dari ibunya Rei membuat Rei merasa semakin sedih. Pasalnya ia tahu betul ibunya belum makan apapun sejak kemarin siang setelah diberi kabar kematian ibunya. Hal ini menyadarkan Rei betapa sakit rasanya ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Ibunya sendiri mempunyai sifat penyayang karena perlakuan neneknya pada ibunya dulu saat masih kecil. Rei pun membayangkan bagaimana jika itu adalah dirinya yang ditinggalkan ibunya. Memikirkannya saja sudah membuat d**a Rei terasa sesak dan tenggorokannya tersendat. Benar–benar menyakitkan. Rei masih belum siap untuk itu, tidak, Rei tidak ingin dirinya siap untuk hal itu. Walaupun kematian adalah hal yang pasti, tetapi untuk menghadapi hal seperti itu, bukanlah hal yang mudah. Tidak ada yang terbiasa pada kematian ataupun perpisahan. Untuk mengalihkan perasaannya, Rei pun memutuskan untuk mengirim pesan pada Sora. Kau sudah di rumah? Setelah mengirim pesan, Rei pun menunggu pesan balasan. Namun lima belas menit telah berlalu, ia tak kunjung mendapat balasan apa–apa, padahal status pesannya sudah terkirim dan tertera centang dua. Ia pun memutuskan untuk mengirim pesan lagi. Aku sedang tidak karuan, ayo makan tteokpokki. Rei pun kembali menunggu pesan balasan. Setelah sepuluh menit berlalu pun Rei masih tak kunjung mendapat balasan. Hal itu membuat Rei merasa sedikit sebal. Rasanya ingin menelpon tetapi ia merasa tidak enak pada ayah dan ibunya. Ia pun memutuskan untuk menunggu sambil melihat–lihat feed sosial media miliknya. Rasa penasaran Rei meningkat ketika group chat kelasnya yang biasanya ia bisukan, menampilkan pop up chat dari salah satu teman kelasnya yang juga tergabung dalam grup itu menyebut nama Sora. Ia pun segera membuka ribuan chat yang belum ia baca di grup itu. Dirinya terkejut ketika seseorang mengirimkan foto ke grup itu yang memperlihatkan Seowoo yang sedang pergi berdua bersama seorang perempuan dengan seragam yang sama. Hampir semua orang di dalam grup berusaha menebak siapa perempuan itu, dan ada beberapa dari mereka yang menduga itu adalah Sora. Rei memperhatikan baik–baik foto tersebut. Wajah Seowoo yang terlihat adengan jelas dari samping sedangkan sang perempuan tidak terlihat jelas karena hanya menampilkan belakang tubuhnya. Rei agak ragu, ia tidak yakin pasti perempuan di foto ini adalah Sora. Namun keyakinannya langsung melesat tinggi ketika ada salah seorang di grup itu mengirimkan terusan foto yang menampilkan Seowoo tengah berboncengan sepeda dengan Sora. Seketika itu grup chat mendadak ramai. Rei tertegun. Ia merasa ingin marah melihat hal itu. Suasana hatinya semakin memburuk. Ia menatap foto tersebut dengan mengeraskan rahang bawahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN