BAB DUA PULUH SATU

1853 Kata
   Rei berhasil menemukan Sora dan diam - diam mengikutinya dari belakang. Rei turun dari sepedanya dan berjalan sambil menuntunnya untuk menjaga jarak seaman mungkin agar dirinya tidak benar-benar terlihat seperti seorang penguntit. Tetapi, dengan jarak seperti itu, Rei tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh Sora dan Seowoo.     Saat di persimpangan, Sora dan Seowoo berhenti tepat di depan zebra cross. Arah menuju rumah mereka tidak lagi sama. Rumah Sora yang berada di seberang sungai Han, mengharuskan ia berbelok menuju jembatan Jamsu. Sedangkan Seowoo masih jauh lurus ke depan. Ia harus menaiki bus di tempat pemberhentian bus yang tak jauh di seberang jalan.  “Sepertinya kita akan berpisah disini. Rumahku ada di seberang sana.” , ujar Sora sambil menunjuk jalan ke arah jembatan Jamsu dengan dagunya.  Seowoo melihat ke arah Sora menunjuk, “Ah begitu, ya sudah. Aku akan naik bis dari tempat pemberhentian bus di depan sana.” , balas Seowoo..  Sora mengangguk mengerti, “Kalau begitu aku duluan ya, Sora. Sampai bertemu nanti di sekolah.” , lanjut Seowoo berpamitan sambil memberikan senyumnya dan melambaikan tangannya.  Sora balas tersenyum dan melambaikan tangannya dengan matanya yang mengikuti Seowoo yang sudah berjalan pergi saat lampu tanda pejalan kaki sudah hijau. Rei yang berada tak jauh dari situ, melihat mereka dengan tatapan tak suka.  Seowoo berbalik dan berjalan mundur, “Kau boleh memanggilku oppa!” , sahut Seowoo dengan suara agak kencang karena jaraknya dengan Sora sudah agak jauh.     Alih-alih merasa senang karena diberikan hak istimewa untuk memanggil seorang idola di sekolahnya dengan panggilan yang tidak semua orang bisa melakukannya itu, Sora justru mengacungkan jari tengahnya pada Seowoo yang malah membuat Seowoo terkekeh. Rei yang juga mendengar hal itu, membelalakan matanya dengan perasaan sedikit kesal dan tidak terima. Namun, di sisi lain ia merasa senang melihat reaksi Sora yang menunjukkan dirinya tidak tertarik dengan tawaran Seowoo.     Saat semua orang telah menyebrang dan lampu pejalan kaki berubah kembali menjadi merah, Sora melanjutkan perjalanannya dan masih belum menyadari kehadiran Rei yang tak jauh berada di belakangnya.     Sambil berjalan santai menuntun sepedanya, dalam kepala Sora terngiang - ngiang saat Seowoo menjelaskan alasan SOra ketahuan dan tertangkap basah menyukai Rei. Memang benar dirinya saat Seowoo menanyakan hal itu, detak jantungnya dengan otomatis langsung berdegup lebih kencang. Saat Seowoo menyebut nama Rei, bayang - bayang tentang Rei terpintas dalam pikirannya seperti yang sedang terjadi saat ini.     Permainan piano Rei, suara tawa Rei, wajah serius Rei, wajah Rei saat tertidur, tingkah jahil Rei, semua tentang Rei menyusup masuk ke dalam pikirannya dan membuat ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah simpul senyum dan pipinya memerah seperti kepiting rebus yang baru masak.     Saat Sora telah sendirian dan Seowoo pergi menuju pemberhentian bus, Rei mempercepat langkahnya untuk menyusul Sora.  “Sepertinya kau sedang senang.” , tegur Rei tiba - tiba saat ia tepat berada di samping Sora.  Sora terkesiap mendengar suarau yang sangat familiar di telinganya, yaitu suara Rei. Suara seseorang yang sedang ada dalam pikirannya menjadi nyata ada di sampingnya saat ini, “Kkamjagiya (Kaget aku)!”  “Kenapa kau terkejut begitu?” , tanya Rei bingung.  Mendengar nada bicara Rei yang terdengar menyebalkan untuknya, suasana hati Sora seketika berubah total. Tidak seperti sebelumnya yang tersipu malu, sekarang ini hanya ada rasa kesal ingin marah, “Kenapa kau yang tiba - tiba muncul begitu?!” , protes Sora.  “Kapan aku muncul tiba - tiba?! Aku memang sejak tadi berjalan di belakangmu. Kau yang tidak menyadariku.” , balas Rei yang ikut meninggi intonasinya karena nada bicara Sora yang juga meninggi.  Sora sedikit panik saat Rei mengatakan sudah berada di belakangnya sejak tadi. Ia khawatir Rei mengetahui soal perasaannya dan akan menjauhinya karena hal itu, “Mwo (apa)?! Sejak kapan kau berada di belakangku? Apa sejak aku bersama Seowoo?”  Rei yang menyadari Sora terlihat agak panik, dirinya semakin curiga, “Memangnya kenapa? Kenapa kau terlihat khawatir?”  “Apa kau mendengar semuanya?” , Sora semakin mendesak.  Rei hanya diam saja dan tidak menjawab yang membuat Sora semakin khawatir, “Aku tanya, apa kau mendengar semuanya? Sejak kapan kau menguping?!”  “Kenapa kau terlihat marah?! Apa ada pembicaraan kalian yang tidak boleh aku dengar? Kau merahasiakan sesuatu dariku?”  Sora yang terlanjur panik, tidak bisa menahan dirinya untuk tidak marah pada Rei, “Memangnya aku tidak boleh merahasiakan sesuatu darimu?!”  Rei terbelalak mendengar perkataan Sora yang benar - benar menyakiti perasaannya. Atau lebih tepatnya menyadarkan dirinya soal posisinya dalam hidup Sora yang seperti tidak berarti apa-apa baginya.     Di tengah pertengkaran itu, sebuah mobil putih berhenti tepat di samping mereka dan mereka pun berhenti untuk melihat. Saat kaca jendela mobil tersebut turun, terlihat Yuri yang sedang duduk di kursi kemudi.  “Yuri nee-san?”  “Hai lagi, Rei. Hai, Sora. Kau masih mengingatku, kan? Aku yang waktu itu di taman.” , sapa Yuri dari dalam mobil.  Sora terkejut dengan kedatangan Yuri yang mendadak seperti ini, “Ah ne, annyeong haseyo (Ah iya, halo).” dengan sedikit canggung, Sora membalas sapaan Yuri.  “Ada apa, nee-san?” , tanya Rei langsung ke intinya.  “Ah iya. Aku lupa untuk memberikan ini padamu tadi.” , kata Yuri sambil meraih bingkisan yang sudah ia siapkan untuk Rei sejak awal dan memberikan sebuah tas kertas berukuran sedang itu pada Rei melalui kaca jendela mobil yang terbuka.  Sora akhirnya mengetahui dan mengambil kesimpulan bahwa orang yang ditemui oleh Rei adalah Yuri dari perkataan yang baru saja diucapkan oleh Yuri. “Apa ini, nee-san?” , tanya Rei sambil menerima pemberian tersebut.  “Bukan apa-apa. Hanya oleh - oleh dari Jepang dariku.” , jelas Yuri pada Rei. Ia menangkap sorot mata tidak senang pada wajah Sora.  “Kalau begitu aku pergi duluan ya, Rei, Sora.” , tambah Yuri sekalian berpamitan karena merasa dirinya tidak diinginkan untuk berada di situasi ini saat ini. Ia dapat merasakan aura yang kurang menyenangkan.  “Ah iya. Terima kasih untuk oleh - olehnya ya, nee-san.” , balas Rei berusaha untuk terdengar ceria karena perdebatannya dengan Sora sebelumnya.  Sedangkan itu, Sora membalasnya hanya dengan anggukan dan senyuman canggung membuat Yuri merasa tidak nyaman. Ia bisa merasakan ketertutupan dan kecanggungan Sora padanya.  “Sora-ya, kita harus pergi keluar bersama kapan-kapan.” , ujar Yuri berusaha untuk meramahkan diri agar Sora mau merasa nyaman dengannya.  Sora yang kikuk dan jarang bergaul dengan orang lain, tanpa sadar dari wajahnya nampak jelas keterkejutannya saat mendengar ajakan yang tidak diduga seperti itu, “N-ne (i-iya)? Ah ne, najunge (ah iya, kapan - kapan).” , balas Sora diakhiri dengan senyum kikuknya.     Sora yang sejak awal berkepribadian cuek dan tidak pandai bergaul, memang membuatnya sedikit kikuk jika berhadapan dengan perempuan. Ia tidak mengerti mengapa dirinya bisa dengan cuek dan tidak malu jika itu berurusan dengan laki - laki, namun merasa sangat payah jika berhadapan dengan perempuan.     Menyadari jika ada perempuan - perempuan yang tengah menatap dirinya, Sora selalu merasa dirinya tengah ditindas. Mungkin karena ia terbiasa tidak dekat dengan sosok perempuan karena tidak ada perempuan di rumahnya kecuali dirinya. Bahkan, untuk menjadi sangat dekat dengan ibunya Rei, butuh waktu yang cukup lama dan ketekunan dari ibu Rei untuk menjadi dekat dengan Sora.     Sangat kontras jika hal itu menyangkut laki - laki. Di rumahnya dia hanya punya sosok laki - laki yang menghabiskan hari - hari dengannya, tidak lain dan tidak bukan adalah ayahnya. Teman dekat sekaligus tetangganya juga adalah seorang laki - laki. Dan bukan hal yang sulit bagi Sora untuk berbicara dan menjadi dekat pada laki - laki. Atau lebih tepatnya dia tidak terlalu peduli.     Yuri telah pergi beberapa saat lalu dan kini Sora dan Rei melanjutkan perjalanan mereka, namun kali ini mereka sama - sama diam. Hanya keheningan yang ada diantara mereka kecuali suara bising dari kendaraan yang lewat berlalu lalang di sisi mereka.     Rei yang tenggelam dalam pikirannya memikirkan apa saja yang Sora dan Seowoo bicarakan hingga membuat Sora begitu tidak ingin dirinya mengetahui hal itu. Ia pun dirisaukan dengan sejak kapan Sora bersama dengan Rei, sejak kapan Sora dekat dengan Seowoo, bagaimana mereka bisa jadi sedekat itu.     Tidak jauh berbeda dengan Rei, Sora juga tengah hanyut dalam pikirannya. Memikirkan apa saja yang Rei lakukan dengan Yuri sampai malam seperti ini, kenapa Rei menemui Yuri, dan memikirkan kenapa dirinya menjadi gelisah seperti ini.     Saat mereka tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing, semburan air mancur dari jembatan Banpo yang berada diatas mereka mengalihkan perhatian mereka dan berhasil membuat mereka berhenti sejenak. Lampu-lampu berwarna-warni menyala dari pipa-pipa besar tempat air mancur tersebut keluar, membuat suasana menjadi begitu romantis. Walaupun melihat pemandangan seperti ini bukan yang pertama kalinya bagi Sora maupun Rei, namun mereka tidak pernah tidak takjub dan tertegun. Mereka berdua sejak dulu sepakat jika pemandangan pertunjukkan Rainbow Fountain yang hanya ada pada saat musim gugur di bulan Oktober ini terlihat jauh lebih indah dari tempat mereka berdiri sekarang ini dibandingkan dari taman Hangang yang memang adalah spot untuk menikmati pertunjukan ini.     Setelah kurang lebih tiga menit mereka hanya berdiri memandangi air yang terlihat berwarna - warni sesuai lampu yang menyala pada pipanya dan mendengarkan suara jatuh air saat menghantam sungai Han di bawah mereka, Sora dan Rei mulai merasa bahwa jika mereka saling diam seperti ini maka hubungan mereka akan terancam. Perasaan tidak nyaman akan mulai menjadi atmosfer yang terjadi setiap kali mereka bertemu, dan hal itu bukanlah yang mereka inginkan.     Sora menguatkan genggamannya pada stang sepeda yang dituntunnya sambil memikirkan bagaimana cara menghilangkan kecanggungan dan rasa tidak nyaman ini. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah Rei juga merasakan hal yang sama. Sepintas ia merasa menyesal karena sudah berteriak pada Rei tadi dan menginterogasinya dengan paksa.     Dalam pikirannya pun ia berpikir apakah perasaan ini karena ia takut Rei mendengar saat ia tertangkap basah menyukai Rei atau karena ia merasa sedih sekaligus tidak senang saat mengetahui orang yang ditemui oleh Rei adalah Yuri. Apakah ini perasaan cemburu? Pikirnya. Cemburu karena Rei, temannya, menemui orang lain atau cemburu karena Rei, orang yang ia sukai, menemui perempuan lain? Sora benar-benar tidak mengerti apa yang ia rasakan.    Jika ia bisa memutar waktu, Sora ingin memutar kejadian saat ia bertemu dengan Seowoo di tempat lesnya. Ia berharap dirinya berpamitan pulang lebih dulu pada Seowoo jadi ia tidak perlu ketahuan jika ia menyukai Rei. Dan ia pun tidak akan bertemu dengan Rei karena dirinya pasti sudah sampai di rumahnya saat ini. Juga, ia tidak perlu bertemu langsung dengan Yuri, jadi ia tidak akan merasa gelisah dan kesal seperti ini.     Rei yang juga terdiam di sampingnya merasakan hal yang sama. Ia merasa kesal melihat Sora bersama Seowoo dan juga merasa bersalah karena telah bersikap terlalu ikut campur pada kehidupan Sora yang malah berakhir membuat Sora kesal padanya.     Ia juga berpikir, apakah semuanya akan berbeda jika ia tidak mengikuti mereka dari belakang dan hanya langsung pulang saja tanpa rasa penasaran berlebih pada Sora. Ia memikirkan dirinya yang sudah seperti seorang penguntit yang menjijikan.  “Mian (Maaf)”             “Gomen (Maaf).”     Mereka berdua mengatakan permintaan maaf secara bersamaan sambil menatap satu sama lain yang membuat mereka sedikit terkejut sekaligus senang yang berdebar - debar. Sesaat itu mereka kembali diam untuk beberapa saat. Suasana canggung semakin terasa dan kegelisahan yang tidak nyaman menjalar hingga ke kaki - kaki mereka. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN