Rei melihat alat bantu jalan yang Sora beli siang tadi bersama ayahnya tersandar tepat di samping tempat tidurnya,”Oh?” , Rei meraihnya untuk melihatnya lebih dekat, “Ini alat bantu jalanmu? Keren sekali.” , katanya sambil mengetuk - ngetuk kruk lengan tersebut.
Sora meliriknya sebentar, “Apa yang keren dari itu?” , tanya Sora terdengar tidak suka.
Rei yang bisa merasakan ketidak tertarikan Sora dari nada bicaranya merasa bahwa ia telah menyinggung Sora, “Warnanya. Hitam mengkilap. Keren.”
Sora menggeleng tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran Rei dengan mengagumi alat bantu jalan miliknya.
“Ah iya,” , ujar Sora membalikkan tubuhnya agar bisa bertatapan langsung dengan Rei, “Apa yang terjadi dengan kompetisimu? Kau belum bercerita apa - apa padaku.”
Rei mengulum bibirnya ke dalam dan menghela nafas, “Tidak ada yang bagus. Aku tidak ingin mengingatnya.”
Salah satu hal yang tidak Sora sukai adalah ketika Rei menutup - nutupi sesuatu darinya. Itu sebabnya Sora langsung murung dan memanyunkan bibirnya merajuk, “Apa maksudmu tidak ada yang bagus? Aku bahkan merelakan diriku mengalami kecelakaan hanya untuk pergi ke sana. Apa bayaran yang aku dapat dari luka yang aku dapatkan ini?” , tanya Sora sambil menunjukkan kaki kirinya yang masih terpasang gips.
Melihat kaki kiri Sora yang tidak bergerak, membuat Rei kembali merasa sangat bersalah pada Sora. Kepalanya menunduk menolak untuk melihat lebih lama, “Geunyang (hanya saja).. Kau tahu aku tidak berhasil memenangkan kompetisinya dan kau mengalami kecelakaan. Itu benar - benar hari buruk untuk diingat.” , jelasnya.
Mendengar alasan Rei, Sora jadi merasa iba. Ia pun memutuskan untuk berhenti bertanya dan tidak akan mengungkitnya lagi.
“Pertandinganmu..” , ucap Rei memberanikan diri menatap Sora, “Guru olahraga tadi bicara padaku.”
Sora yang sudah memprediksi hal ini sebelumnya, sudah siap mendengarkan, “Hm?”
“Karena kakimu yang terluka, kemungkinan besar posisimu akan digantikan oleh orang lain.” , tambah Rei melanjutkan kalimatnya.
Sora yang terpukul mendengar pernyataan seperti itu, otomatis memalingkan wajahnya agar kekecewaannya tidak terlihat oleh Rei.
“Ara (aku tahu)..” , balas Sora.
Rei ikut menyesal saat mengetahui hal itu. Bisa ia bayangkan betapa kecewanya Sora setelah semua usahanya selama ini. Namun, ketika hari pertandingan hanya tinggal tersisa beberapa hari lagi, kejadian sepersekian detik benar - benar merenggut kesempatannya itu.
Sebenarnya sama saja dengan dirinya. Kompetisi yang selama ini dinanti - nanti sudah berlangsung, ia malah diberi pilihan mana yang lebih dipentingkan. Tentu saja tanpa pikir panjang, Rei pasti akan memilih Sora. Tetapi sekarang Rei baru menyadari, bahwa tindakanannya tersebut mungkin didasar oleh rasa kasihan pada Sora yang tidak memiliki siapa - siapa untuk mendampinginya saat itu. Walaupun begitu, Rei tidak menyangkal kemungkinan seberapa besar arti Sora baginya.
“Mian (maaf)..” , sahut Rei tiba - tiba.
Sora yang tidak merasa Rei punya kesalahan yang telah dilakukan padanya, menengok pada Rei dengan tatapan bingung, “Mwoga (Untuk apa)?”
“Mwo geunyang (hanya ingin saja).”
Sora sebal dengan tingkah Rei yang selalu bertingkah seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Tangan kirinya yang bebas menepuk kasar lengan Rei, “Ah mwoya (apaan sih)..”
Melihat Sora sudah mulai memukulnya seperti biasa, Rei semakin yakin bahwa Sora benar - benar sudah membaik keadaanya.
“Ramyeon meokgo gallae (Haruskah kita pergi makan mie instan)?” , ajak Rei mencoba mengembalikan suasana hati di antara mereka.
“Stok mie instanku sudah habis. Dan ayahku belum pergi berbelanja.”
Rei menurunkan bahunya lemas, “Ani (tidak).. Maksudku, benar - benar pergi makan me instan. Di toko kelontong depan jalan sana.” , jelas Rei.
“Aah~” , sahut Sora setelah memahami apa yang Rei maksudkan. Raut wajahnya berubah senang, “Kajja (ayo)!” , ujar Sora bersemangat.
Melihat semangat Sora yang naik drastis untuk pergi makan mie instan, Rei tersenyum lega. Merasa berhasil menemukan cara untuk menghibur Sora.
“Kau akan pergi dengan ini?” , tanya Rei sambil mengangkat kruk lengan milik Sora.
Sora menggeser badannya ke tepi tempat tidur dan menurunkan dengan perlahan kedua kakinya, “Geureom (tentu saja). Memangnya kau mau menggendongku kesana?” , balas Sora meledek.
“Aku mau.” , jawab Rei tidak diduga.
Mendengar jawaban Rei, Sora menatap Rei datar, “Jangnane (Bercanda ya),” , dengan ketus Sora merebut kruk lengannya dari tangan Rei, “Kau tidak tahu kan seberapa baik aku menggunakan alat ini?” , ujar Sora menyombongkan dirinya dengan maksud ingin Rei tidak menatapnya kasihan lagi.
Rei tersenyum. Ia bangga Sora cepat pulih. “Iya aku percaya.”
Sora tersenyum bangga mendengarnya, “Kajja (ayo).” , Sora meraih sweater merah maroon yang tergantung di tiang gantungan topi dan memimpin duluan untuk keluar kamar.
Saat ditangga, Rei berjaga - jaga jika Sora salah pijakan dan terjatuh. Ia memegang leher belakang baju Sora dengan niat bisa langsung menariknya jika Sora terjatuh.
Sora yang sudah berusaha menuruni tangga dengan hati - hati, merasa risih dengan perlakuan Rei yang memegangi belakang bajunya. Ia merasa seperti anak kucing yang sedang diangkat oleh ibunya. Walaupun sudah menepis Rei untuk tidak melakukan hal itu, Rei masih saja bersikeras dan baru melepaskannya saat mereka sudah di bawah.
Dengan tatapan datar, Sora seolah mengatakan bahwa ia benar - benar bisa tanpa perlu dikhawatirkan. Dan Rei, yang seakan mengerti apa yang coba Sora katakan lewat tatapannya, hanya tersenyum hingga kedua matanya membentuk garis lurus.
“Appa, aku akan pergi makan mie instan dengan Rei di jalan depan sana.” , ujar Sora yang berjalan langsung menuju pintu depan.
Ayah Sora yang tengah membungkuk untuk membersihkan bagian bawah dalam kulkasnya, berdiri dan menatap Sora sambil menimbang - nimbang. Pasalnya ia tidak ingin Sora makan makanan cepat saji, terutama mie insntan. Namun karena merasa tidak enak jika terlalu mengatur putrinya tersebut, mau tidak mau ia mengijinkan saja keinginan Sora.
“Ah geurae (baiklah). Hati - hati di jalan, ya. Rei, tolong jaga dia, ya.” , ujar ayah Sora.
“Ne, danyeogesseubnida (iya, aku akan kembali).” , pamit Sora.
Sebelum pergi, Rei membantu Sora memakaikan sweater merah maroonnya karena ia tahu betul, Sora tidak tahan dingin, berbeda dengan dirinya. Mereka berjalan dengan perlahan menyusuri jalanan yang basa mereka lalui saat pergi dan pulang sekolah. Rei sebenarnya bisa berjalan lebih cepat, namun ia tidak ingin Sora terburu - buru untuk menyeimbangkan kecepatan jalannya dengan dirinya. Walaupun akan memakan waku lebih lama, Rei tidak masalah dengan itu. Ia justru senang, karena mereka jadi punya banyak waktu untuk saling bercerita sepanjang perjalanan.
Toko kelontong yang mereka tuju ada di bawah sana. Dari atas, mereka bisa melihat sinar terang dari toko kelontong tersebut karena banyaknya lampu yang pemilik toko gunakan pada saat buka di malam hari. Benar - benar menonjol.
Sesampainya disana, Sora sudah merasa kelelahan karena harus berjalan dengan satu kaki dtambah tangan satunya harus kuat menggerakan dan menopan tongkat agar melangkah serasi dengan kak kanannya. Rei yang menyadari hal itu, menyuruh Sora untuk menunggu di kursi luar dan ia yang masuk untuk membeli sekalgus membuat mie instannya.
Mereka memlih untuk duduk di kursi yang disediakan di dalam toko, yang berhadapan langsung dengan jalan depan toko. Tak berselang lama, Rei datang sambil membawa dua cup mie instan dengan asap yang membumbung. Tak lupa ia juga membeli sosis dan onigiri instan yang juga dijual disana. Mereka pun makan dengan tenang dan menikmatinya dengan hikmat sambil sesekali melihat pemandangan jalanan di depan mereka saat malam hari.
Sora terhenti saat melihat jalan yang harus mereka lalui untuk pulang. Jalanan menanjak yang lumayan tinggi dan panjang menanti mereka di depan. Sora membayangkan untuk berjalan kaki saja terasa capek, bagaimana jika memakai tongkat. Ia bersyukur jika dirinya tidak jatuh saat naik nanti.
Di saat Sora mengkhawatirkan jalan pulang yang harus di laluinya, tiba - tiba Rei berjongkok di depannya dengan memberikan punggungnya, “Kajja (ayo).” , ujar Rei menyuruh Sora untuk naik ke punggungnya.
Sora terkejut dengan yang Rei lakukan, ia mundur selangkah, “Apa yang kau lakukan? Cepat bangun.”
“Cepatlah naik. Ibuku sudah menungguku pulang.” , kata Rei memaksa Sora.
Memikirkan ibu Rei yang mungkin sedang khawatir menunggu Rei yang tidak kunjung pulang, Sora pasrah dan maju perlahan untuk naik ke punggung Rei. Setelah Sora melingkarkan tangannya pada leher Rei, segera Rei berdiri dengan sekuat tenaganya dan memaksa kakinya untuk melangkah dengan beban seberat Sora di punggunggnya.
Sesaat Rei menyesal karena jarang berolahraga. Sebab untuk mengangkat beban seringan Sora saja ia sudah merasa terengah - engah. Beruntung, ia terbiasa untuk pergi dan pulang sekolah menggunakan sepeda, kakinya menjadi lebih kuat karena terbiasa mengayuh sepeda sejauh itu.
“Aku berat, ya?” , tanya Sora.
“Sa.. hoh,, ngat..” , jawab Rei dengan nafas terengah - engah yang dibuat - buat.
Mengetahui Rei yang pasti sedang meledeknya, Sora menepuk kepala Rei mengancamnya untuk berhati - hati dengan kata - katanya.
‘Akh! Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, kenapa kau memukulku?!” , protes Rei tidak terima.
Alih - alih menjawab, Sora terus - terusan memukuli Rei dari belakang.
“Ya! Apha (sakit tahu)!” , pekik Rei yang perkataannya diabaikan oleh Sora.
***