1. Bantuan Terakhir

1890 Kata
Suara erangan memenuhi sebuah kamar. Dan dengan sebuah dorongan kuat, Ditya membenamkan seluruh dirinya pada Fira. Pria itu terpejam membiarkan seluruh gairahnya tuntas. Fira menyukai percintaan mereka. Di saat seperti ini, Ditya tampak begitu memujanya, menyentuhnya dengan liar seolah tidak ada hari esok. Sayangnya, itu hanya terjadi saat mereka bergumul. Karena setelahnya, Ditya akan kembali berubah menjadi Ditya versi dingin. Tanpa menatap sang istri, Ditya berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Fira tidak banyak bicara. Dia sudah memahami kebiasaan suaminya yang tidak pernah bermanja padanya setelah sesi panas mereka. Tanpa suara, Fira mengambil bajunya yang tergeletak tepat di bawah kasur dan segera memakainya karena dia tahu jika Ditya memergokinya tanpa busana di depannya, kata-kata kasar akan meluncur dari mulutnya. Suara pintu yang terbuka membuat Fira menoleh. Bau harum memasuki indera penciumannya. Di sana, dia melihat suaminya tampak segar dengan rambutnya yang basah. Wajah Ditya tampak segar dan Fira sangat ingin menyentuhnya dan merasakan kehalusan kulit itu. Ditya mendengkus. Dia benci melihat bagaimana Fira menatapnya. Seperti lintah yang ingin menghisapnya. Ditya jijik. "Tanda tangani ini!" Ditya melempar sebuah map ke arah Fira. Muncul kerutan di kening Fira. Tidak pernah sekalipun Ditya memberinya sesuatu. Bahkan pakaian yang dia pakai sehari-hari hanyalah pakaian sederhana yang dibelikan oleh seorang pelayan. Dengan rasa penasaran yang memuncak, Fira segera membukanya. Surat perceraian. Fira hanya mampu membaca satu baris kalimat yang tertulis di atas dan langsung menutup kembali map tersebut. "Ditya, ini apa?" Fira berusaha mati-matian untuk tidak membuat suaranya bergetar. Namun, dia gagal. Ditya bisa merasakannya. "Apa sekarang kamu sudah tidak bisa membaca? Ternyata pelayan yang dari kampung lebih pintar darimu." Ucapan Ditya begitu menusuk hati Fira. Pria tiga puluh tahun yang bekerja di sebuah perusahaan besar itu tidak memedulikan wajah Fira yang memucat. Diambilnya satu batang rokok, lalu dinyalakannya. Asap putih tipis keluar dari bibirnya. "Jangan khawatir, aku akan memberikan tunjangan seratus milyar untukmu. Uang itu sudah sangat banyak untuk wanita kampung seperti dirimu." Fira menatap suaminya tidak percaya. Seratus milyar untuk kompensasinya menjadi istri selama dua tahun? Apakah itu harga yang sepadan untuk dua tahun hidupnya? Apa Ditya lupa jika selama tinggal di sini, Fira juga melakukan pekerjaan yang harusnya dikerjakan oleh pelayan? Fira mengerjakan semuanya karena dia ingin dianggap istri yang baik oleh mertuanya. Ditya tidak suka jika ada orang asing yang membersihkan kamarnya dan mencuci bajunya. Jadi, semua itu menjadi tugas Fira. Namun, wanita itu tidak pernah mengeluh. Dia mengerjakannya dengan ikhlas dan senyuman, memahami jika sudah menjadi tugas istri untuk membantu suaminya. Hingga semua menjadi tidak masuk akal saat seluruh penghuni rumah -kedua mertua dan saudara iparnya- juga membebankan tugas mencuci baju padanya. "Sudah, kerjakan saja! Toh, kamu juga tinggal di sini. Lagi pula, kamu tidak akan bisa membantuku mencari uang. Anggap saja ini pekerjaanmu." Begitu yang dikatakan oleh Ditya padanya. Demi bisa diterima di keluarga Ditya, Fira mengerjakan semua itu tanpa protes. Dan pada akhirnya, Fira diberi tugas layaknya pelayan yang lain; membersihkan rumah, mencuci, dan memasak. Yang membedakan antara mereka adalah Fira tidur di kamar yang layak. Julukan wanita kampung selalu disematkan padanya. Fira tidak pernah menolak meskipun hatinya sakit. Mau bagaimana lagi? Setahu Ditya dan keluarga, Fira memang berasal dari kampung. Dan Fira menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan jati dirinya yang sebenarnya. Fira dan Ditya bertemu tiga tahun yang lalu di sebuah acara kemanusiaan yang diadakan oleh kantor tempat Ditya bekerja. Melihat sosok pria yang dengan tenang berdiri di depan banyak orang, menerangkan tentang tujuan kedatangan mereka di kampung, membuat Fira tersihir. Ditya tampak seperti malaikat tampan yang diutus Tuhan untuk membantu warga di kampungnya. Jika dulu Fira tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama, saat itu dia percaya. Semua yang dilakukan Ditya menghipnotis dirinya. Pria itu tampan, cerdas, dan berwibawa. Merekapun berkenalan dan saling bertukar nomor telepon. Dan hubungan mereka dimulai dari sana. Fira memegang erat map itu hingga tangannya bergetar. "Tapi Ditya, apakah aku melakukan kesalahan? Katakan saja! Aku akan memperbaiki diri. Aku akan belajar lagi untuk menjadi istri yang baik untukmu," pinta Fira. Bagaimanapun juga, Ditya adalah dunianya. Fira tidak ingin mereka berpisah begitu saja. Jika ada kesalahan, lebih baik diselesaikan. Kenapa harus berpisah? "Jangan banyak tanya! Tanda tangani saja! Beberapa hari ini, Hana akan kembali dari luar negeri. Aku ingin menyelesaikan semua urusan perceraian denganmu dengan cepat. Aku tidak ingin Hana datang dan kita masih berstatus suami istri. Atau apakah kamu ingin menaikkan harga? Baik, sebutkan saja!" Fira tersenyum getir. Kini, dia tahu apa yang menyebabkan Ditya begitu ingin bercerai. Hana adalah nafas Ditya. Pria itu hidup untuk menunggunya kembali. "Jika aku ingin kita tetap bersama, bagaimana?" "Fira! Jangan membuat emosiku naik!!" Wajah Ditya memerah karena amarah. Rahangnya tampak mengetat. Fira sering mendengar bagaimana ibu mertuanya menyanjung dan memuji Hana. "Hana itu cantik. Tidak seperti kamu yang kusam dan tidak pandai merawat diri." "Hana sungguh cerdas. Dia sudah menjadi model terkenal dan mengikuti Paris fashion week. Teman-temannya semua model yang kaya. Tidak sepertimu yang hanya mengenal sapu dan sabun." "Hana itu kaya dan pandai berbicara bahasa asing. Aku yakin kamu hanya mengenal bahasa Indonesia dan bahasa Jawa." Dan ada banyak lagi hinaan untuknya. Namun, Fira hanya diam. Dia berharap semua pengorbanan yang dia lakukan untuk keluarga ini akhirnya akan berbuah manis. Bukankah batu yang ditetesi air lama-lama akan berlubang? Dengan mata nanar, Fira menatap Ditya lama sebelum akhirnya berbicara, "Kalau aku tidak ingin bercerai?" "Terserah kamu saja! Yang jelas, aku akan tetap mengajukan gugatan itu. Jadi, meskipun kamu menolak, aku masih bisa menceraikan dirimu." Hati Fira seakan diremas. Dadanya seketika menjadi sesak. Apakah ini adalah akhir dari kisah rumah tangganya? Sebuah dering ponsel membuat suasana mencekam di kamar sedikit terurai. Ditya meraih ponselnya. Melihat sebuah nomor yang tidak asing, senyum di wajahnya muncul tanpa bisa dicegah. "Hana? Ada apa?" Suara Ditya terdengar lembut dan matanya menyorot sendu penuh kerinduan. Fira tidak pernah melihat Ditya seperti itu. Hatinya semakin tersayat. Wanita itu mengira jika Ditya memang memiliki karakter yang keras dan tajam. Namun tampaknya, itu hanya berlaku jika Ditya bersama dirinya. "Kamu sudah di bandara? Jangan kemana-mana. Aku akan datang. Tunggu aku!" Ditya menutup panggilan tersebut dan bergegas menuju lemari untuk memilih baju yang cocok dipakai untuk bertemu cintanya. Setelah yakin jika penampilannya rapi, Ditya segera pergi. Sebelum menutup pintu, dia menatap Fira yang sedang menunduk dan berkata dengan tajam, "Tanda tangani segera!" Dan pintu pun tertutup rapat. Air mata yang sedari tadi ditahannya, akhirnya jatuh juga. Fira tidak bisa berkata-kata karena sakit yang dia rasakan sungguh menyesakkan. Tidak ingin semakin mempermalukan dirinya, Fira segera menandatangani surat itu lalu menyimpannya di atas meja, lalu pergi ke kamar mandi. Dia hanya butuh sepuluh menit untuk membersihkan diri. Keluar dari sana, Fira mematut dirinya di depan cermin, merapikan rambutnya lalu bergegas turun. Suasana di rumah cukup ramai. Fira bisa melihat seluruh karyawan mendapat tugas langsung sari nyonya rumah. Dari celetukan-celetukan yang dia dengar, Fira bisa menangkap jika ibu mertuanya tengah menyiapkan penyambutan untuk Hana. Fira tersenyum miris ya. Dia yang sebagai menantu saja tidak pernah diperlakukan istimewa seperti itu. "Heh, kenapa hanya berdiri di sana? Cepat kemari! Kamu harus membantu semua orang. Kita sibuk seharian. Akan ada tamu istimewa yang datang hari ini." Seorang wanita paruh baya yang dia panggil ibu mertua berdiri, berkacak pinggang sambil menunjuk d**a Fira dengan angkuh. "Fir, masakan udang buatanmu kapan hari itu lumayan. Kamu masaklah itu! Jangan lupa juga sayur kesukaan Ditya!" Seorang gadis muda menyeletuk dari samping mamanya. Winda mengangguk. "Mili benar. Masak yang banyak dan enak. Awas saja kalau tidak enak!" "Ingat, jangan bermalas-malasan!" Mili menyeringai sinis. "Ayo, Ma!" Gadis itu menggandeng lengan ibunya. "Ayo! Kita harus membeli baju yang layak. Hana adalah model profesional. Dia pasti memiliki penampilan yang sempurna." "Jangan lupa mampir ke salon, Ma. Rambutku perlu sesuatu," ucap Mili sambil melirik Fira dan memainkan rambutnya. "Pasti, Sayang." Winda tersenyum mengelus rambut sang putri. "Kalau perlu, kita beli perhiasan juga. Jangan sampai tangan kita kosong tanpa permata." Dua wanita berbeda usia itu tampak bahagia dan saling menyayangi. Dulu, Fira akan melakukan akan untuk bisa diterima oleh Winda dan Mili. Kini, hati Fira membeku. Dia tidak peduli lagi dengan semua itu. Dia hanya ingin segera menyelesaikan perceraiannya dan pergi dari rumah ini secepatnya. Dengan wajah datar, Fira berbalik dan berjalan menuju dapur. Dia segera menfokuskan dirinya dengan masakan. Tangannya bergerak lincah di antara bahan-bahan dan alat masak hingga dia tidak menyadari jika seorang pria berjalan lurus ke arahnya dengan wajah menghina dan merendahkan. "Heh, buatkan minuman segar untuk Hana!' Fira yang sedang menata makanan di atas piring sontak mendongak. Pria itu, pria yang sudah menjadi alasan baginya untuk berkorban segala hal, kini berdiri di depannya dengan wajah penuh penghinaan. Namun, yang membuat Fira semakin terhina adalah sosok wanita tinggi dan cantik yang bergelayut manja di lengan suaminya. "Mas, jangan begitu. Bagaimanapun juga, Fira adalah istrimu. Tidak pantas bagiku untuk memintanya membuat minuman untukku. Biar aku saja." "Jangan, Sayang. Dia sudah biasa melakukan semua itu. Jangan sampai jarimu terluka." Ditya menatap Hana penuh kelembutan seolah wanita itu adalah hidupnya, mataharinya. "Tapi, Ditya. Lihatlah Fira! Dia pasti sudah kecapekan mempersiapkan semua menu itu. Aku tidak boleh lancang pada nyonya muda di sini." Suara Hana memang lembut dan mendayu, tapi Fira bisa merasakan ejekan yang kental di sana. "Jangan berkata seperti itu. Aku dan dia akan berderai segera. Dan kamu yang akan menjadi nyonya muda di sini. Nyonya muda yang akan diratukan." "Oh, Ditya! Kata-katamu sungguh manis." Hana melabuhkan kecupan di pipi Ditya dan pria itu seolah terbang ke langit. Tangan Fira terkepal erat. Rupanya suaminya itu sudah tidak sabar untuk meresmikan hubungan mereka. Bahkan perceraian mereka belum didaftarkan ke pengadilan agama dan dia sudah bermesraan di depannya? Baik! Fira akan mengabulkan dengan cepat. "Ayo ke depan! Jangan di sini nanti wangimu bercampur dengan masakan." Ditya menggandeng Hana. Sebelum berbalik, Ditya kembali mengingatkan Fira. "Bawa minumannya ke depan!" Fira menampilkan sebuah senyuman manis seakan dia tidak merasakan apa-apa di hatinya. Kening Ditya berkerut. Dalam benaknya, dia sudah membayangkan adegan Fira menangis karena melihat kemesraannya dengan Hana. Bukankah tadi pagi istrinya itu masih tidak ingin melepasnya? Kenapa sekarang berubah? Hana menyadari tatapan Ditya. Dia segera mengelus pipi Ditya agar pria itu tidak lagi menatap Fira. Lalu, tanpa kata, dua orang yang sedang dimabuk cinta itu berbalik. Fira mengambil nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang sesak. Untuk terakhir kalinya, Fira akan melakukan sesuatu untuk suaminya. Setelah menyiapkan minuman yang diminta, Fira memanggil seorang pelayan untuk mengantarnya ke depan. Setelah itu, dia mengambil ponselnya yang sudah retak di mana-mana dan menekan sebuah nomor yang sudah lama tidak dia hubungi. Fira hanya mendengar satu kali dering, lalu suara seorang pria terdengar di sana. "Fira!" Fira bisa mendengar nada bahagia di ujung sana. Tampak jelas bahwa dia sudah lama menunggu panggilan itu. Tanpa sadar, bibir Fira melengkung ke atas. "Kakak, aku mau pulang." "Akhirnya! Kakak akan tiba secepatnya." "Terima kasih, Kak." Fira menutup panggilan itu dan menyimpan ponselnya, melepas celemeknya, dan berjalan menuju kamar mandi di dekat dapur untuk sekedar membersihkan wajah. Meski kakaknya mengetahui kehidupannya yang sulit, tapi dia tidak ingin pria itu melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Fira tidak ingin menambah kesedihan di hatinya. Keluar dari kamar mandi, Fira melihat notifikasi pesan dari sang kakak. Tanpa berpikir panjang, wanita cantik dengan rambut panjang itu berjalan keluar. Di luar gerbang, sebuah sedan mewah berwarna hitam berhenti. Senyum Fira semakin lebar. Tanpa memedulikan tatapan para petugas keamanan yang menjaga gerbang, Fira keluar dan memasukinya begitu saja. Lalu, dalam sekejap mobil itu menghilang di tikungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN