3. Rencana

1526 Kata
"Di mana dia?" tanya Winda begitu melihat Ditya memasuki rumah. Pria tiga puluh tahun itu tidak menampilkan banyak ekspresi di wajahnya. "Tidak usah mempedulikan dia! Masih ada banyak pelayan di sini. Lagi pula, dia mau pergi ke mana? Di sini, dia tidak mengenal siapapun. Biarkan saja! Kalau sudah kebingungan, nanti juga pulang sendiri." Meskipun jawaban Ditya tidak begitu memuaskan, tapi cukup masuk akal. Perlahan, semua orang mulai menampilkan senyum cemooh untuk Fira. "Memang benar! Gadis kampung seperti dia mana tahu dunia kota. Huh! Awas saja kalau dia kembali. Aku akan membuat perhitungan." Winda memang tidak menyukai Fira yang tidak pernah berdandan. Menantunya itu selalu memakai baju dengan model kuno dan sangat ketinggalan jaman. Sangat tidak pantas bersanding dengan putranya yang tampan dan kaya. Satu-satunya alasan dia mau menerima wanita itu hanya karena dia bisa dimanfaatkan. "Mama benar! Kita harus membuat perhitungan dengannya," sahut Mili menggebu. Senyum di wajah Hana semakin lebar. Tanpa perlu bersusah payah, wanita kampung itu akhirnya pergi. Hanya dengan sedikit gertakan, Fira meninggalkan Ditya. Bayang-bayang hidup mewah sudah menari di dalam kepalanya. Namun, dia berusaha untuk tidak terlalu menampilkan rasa bahagianya. Dia masih harus tampil lembut dan anggun. Dengan sedikit lagi kesabaran, status Nyonya Muda Aditya akan menjadi miliknya. "Sudahlah, ayo kita makan!" Ditya mendekati Hana dan mengajaknya menuju meja makan. Layaknya seorang pria sejati, Ditya menggeser kursi di sampingnya untuk sang kekasih. Matanya menatap berbagai menu yang ada di atas meja. Dia yakin Fira yang memasak semua itu. Masakannya memang tidak pernah gagal. Ada sesuatu dalam racikannya yang membuatnya berbeda. Ditya menghela nafas. Kenapa sekarang dia sering memikirkan wanita itu? Winda dan Mili mengikuti mereka menuju meja makan dan makan malam pun dimulai. Sebenarnya, alasan Ditya mengajak mereka makan segera adalah karena dirinya tidak sanggup lagi mendengar segala cemoohan untuk Fira. Wanita itu telah berbuat banyak untuknya. Selain itu, dia merasa istrinya itu lebih rumit dari yang dia kenal selama ini. Fira selalu menatapnya dengan lembut, merawatnya saat dia lelah, bahkan menunggunya pulang setiap kali lembur. Namun, saat melakukan pekerjaan, Fira terlihat fokus dan tidak bisa diganggu. Dua sisi Fira yang saling melengkapi ini membuatnya puas selama mereka menikah. Lalu kini, wanita itu pergi menaiki sebuah mobil milik keluarga Waskita? Hubungan apa yang mereka miliki? Semua pertanyaan ini membuatnya sakit kepala. "Mas, apa kamu ingat kalau aku pernah bilang penasaran dengan suasana pantai saat malam hari?" Hana menatap Ditya dengan lembut. Wajahnya yang cantik tersenyum manis membuat Ditya tidak bisa berpaling. Pertanyaan Hana membuat Ditya menoleh. Untuk sesaat dia merasa linglung karena kecantikannya. Pria itupun mengerjapkan matanya, lalu tersenyum sambil bertanya, "Kamu mau ke sana sekarang?" Hana menunduk. Bulu matanya yang panjang bergerak-gerak membuatnya matanya tampak semakin mempesona. Dan bayangan Fira langsung menghilang dari pikiran Ditya. Ya, hanya Hana yang pantas menjadi bersanding dengannya. "Aku akan mengantarmu ke sana setelah makan malam." Ditya menggenggam tangan Hana dengan lembut. Winda dan Mili yang melihat bagaimana kedua manusia itu tampak intim saling melirik dan tersenyum penuh arti. Beberapa menit setelah makan malam selesai, Ditya dan Hana pergi menuju pelabuhan. Suasana di sana sungguh menenangkan. Terdengar debur ombak menabrak dok dan akhirnya pecah, meninggalkan buih di bebatuan dan percikan air di udara. Lampu-lampu yang menerangi puluhan kapal bersatu indah dalam pekatnya langit malam dan cahaya bintang. Desir angin menyapa mereka dan membuat Hana sedikit kedinginan. Wanita itu menggosokkan kedua tangannya untuk menciptakan sensasi hangat. Ditya melihatnya. Diapun melepas mantelnya dan membungkus tubuh Hana dengannya. "Pakai ini agar tubuhmu hangat." Hana menoleh. "Tidak, aku tidak bisa. Kamu akan kedinginan. Seharusnya aku memakai mantel yang tebal, bukannya jaket tipis seperti ini." Hana melihat jaket yang dia pakai. Kalau boleh berkomentar, sebenarnya itu bukanlah jaket, melainkan kemeja berbahan denim yang menutupi kaos tipis tanpa lengannya. "Tidak apa-apa. Aku masih bisa tahan. Kamu tidak boleh sakit. Harus bisa menjaga tubuhmu. Bukankah pemotretan dan syuting juga menguras banyak tenaga?" Ditya mengelus rambut Hana. Tatapannya selalu lembut. "Terima kasih, Mas. Aku tidak tahu bagaimana jika aku tidak bersamamu. Kamu sungguh pengertian dan penuh kasih sayang." Hana melempar dirinya dalam pelukan Ditya. Ditya membalas pelukannya. "Tidak akan ada lagi yang bisa memisahkan kita. Setelah aku mengurus perceraian, kita akan segera menikah." Hana mendongak. Matanya menatap Ditya penuh harap. "Berjanjilah kamu tidak akan meninggalkan aku, Mas." "Aku janji, Hana," jawab Ditya yakin. Hana tersenyum lebar dan Ditya bisa melihat jika pipi kekasihnya itu memerah. Setelah itu, Hana menunduk karena malu. Tanpa bisa dilihat siapapun, senyum manis itu berubah menjadi seringai. Dua sejoli yang sedang jatuh cinta itu berjalan melewati dok kapal sambil bergandengan tangan. Senyum terlihat di wajah keduanya. Mereka tampak sangat bahagia. Namun, itu tidak lama. Hana tiba-tiba menghentikan langkahnya. Matanya menangkap sosok seorang wanita yang tidak asing. "Bukankah itu Fira?" Pandangan Ditya mengikuti arah pandang Hana. Tidak jauh di depannya, dia melihat seorang wanita berdiri di dekat sebuah feri, menghadap lurus ke depan. Siluetnya yang tinggi dan ramping dengan beberapa lekukan menggoda. Ditya sangat hapal setiap inci tubuh tersebut. Apa yang dilakukannya di sini? Pupil Ditya bergerak-gerak. Ada banyak emosi yang dia rasakan. Ada banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Namun, tubuhnya terlalu kaku untuk bergerak. "Kenapa dia hanya berdiri di sana? Apakah dia sedang bersedih? Apa kamu ingin menyapanya, Mas?" Hana menoleh. Matanya dipenuhi dengan perasaan bersalah. Ditya menoleh. Ditatapnya wajah Hana. Satu sudut hatinya ingin mengiyakan, tapi sebagian lagi menolaknya. Hana menyadari pertarungan batin Ditya. Dan dia tidak menyukainya sama sekali. Seharusnya pria itu tidak lagi memikirkan Fira meskipun sebentar. Ditya hanya boleh memikirkan dirinya. Hanya dirinya! "Tiba-tiba, aku merasa bersalah padanya, Mas. Mungkin dia marah padaku dan berpikir jika aku merebutmu darinya. Tolong temani aku ke sana. Aku ingin meminta maaf padanya." Hana kembali bersuara. Kali ini dia menambahkan beberapa kalimat yang akan membuat Ditya semakin berada di pihaknya. Ditya mengerjapkan matanya sesaat, lalu menggeleng dengan cepat. "Kenapa meminta maaf padanya? Tidak perlu. Hubungan kita sudah dimulai sejak lama. Jauh sebelum aku menikah dengannya. Dia juga sudah mengetahui pada siapa hatiku berlabuh. Kamu tidak perlu memikirkan apapun. Dia sudah dewasa." "Apa kamu yakin?" Hana sedikit meremas kemeja Ditya seolah dia adalah wanita lemah yang memerlukan dukungannya. Ditya mengangguk dengan cepat. "Tentu. Jangan lagi memikirkan dia. Lebih baik kita memikirkan pernikahan kita saja. Bagaimana?" "Oh, Mas. Kamu sungguh pengertian. Bagaimana aku tidak mencintaimu?" Lagi-lagi, Hana memeluk Ditya. Kali ini, dia sengaja mengucapkannya dengan keras agar Fira menyadari keberadaannya, lalu berharap wanita itu akan semakin sakit hati dan merana. Hana tidak tahu bagaimana Fira bisa sampai kemari. Satu-satunya alasan wanita itu di sini adalah karena dia sakit hati. Apakah dia kemari untuk bunuh diri? Kalau begitu, Hana akan dengan senang hati menontonnya. Namun, angan itu gagal total saat suara seorang pria asing terdengar. "Princess, masuklah! Kita akan berangkat sebentar lagi. Jangan biarkan angin malam merusak tubuhmu. Kemari dan hangatkan dirimu." Kalimat itu sontak membuat Hana dan Ditya menoleh. Seorang pria berdiri di atas feri, di dekat Fira, sambil menatap wanita itu penuh kasih sayang. Tubuhnya tinggi dan memiliki rambut ikal pendek. Cahaya bulan dan lampu yang menerpa wajahnya membuatnya tampak mempesona dan terlihat sangat tampan. Dilihat dari baju yang dia pakai, sepertinya dia berasal dari keluarga kaya. Selain itu, feri yang dia naiki adalah feri paling mewah yang ada di sana. Alat transportasi air itu memiliki ukuran yang paling besar dengan warna yang sangat elegan dan memukau. Lampu-lampu yang dimiliki terlihat lebih canggih dan mewah dibandingkan dengan yang lain. Hana baru menyadarinya. "Aku akan ke sana sebentar lagi," jawab Fira. Wanita itu tersenyum sangat manis pada pria yang Hana sama sekali tidak mengenalinya. "Kita harus berangkat sekarang atau kita akan tertinggal sun rise di sana." Fira tertawa renyah. Namun, bujukan itu berhasil memuat wanita itu menaiki feri mewah tersebut. Begitu kakinya menginjak feri, pria tampan itu segera menghampiri dan memberinya pelukan hangat. Dua orang itu saling tertawa bahagia sambil berjalan masuk. Tidak lama kemudian, seorang awak melepas tali kapal, dan perlahan feri tersebut menjauhi dok. Hana melihat semua itu tanpa kedip. Keningnya berkerut dengan dalam. Berbagai pertanyaan bercokol di hatinya. Bagaimana mungkin Fira menaiki kapal semewah itu? Trik apa yang dia pakai untuk menjerat pria tampan dan kaya seperti itu? Tidak mungkin pria kaya seperti dia tertarik pada wanita kampung yang tidak berkelas seperti Fira. Di sisinya, tangan Ditya terkepal dengan erat. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat jika pria yang memanggil Fira dengan sebutan princess itu adalah Adam Waskita, pewaris utama WS Grup. Fira benar-benar memiliki hubungan dengan konglomerat kaya seperti Adam! Jika dia tidak melihatnya secara langsung, Ditya tidak akan mempercayainya. Tubuhnya menegang. Tidak dia sangka Fira yang pendiam ternyata bisa begitu murahan!! Sementara itu, di atas feri, Fira tidak bisa menghentikan senyumannya. Kedua sudut bibirnya terangkat tinggi, membuat wajah cantiknya tampak semakin cantik dan sempurna. "Apa kamu bahagia?" Adam melirik adiknya yang tengah menuang teh chamomile hangat ke dalam cangkirnya. Pria itu juga tampak tersenyum bahagia melihat sang adik. "Tentu saja, Kak! Sangat bahagia dan puas," jawab Fira dengan cepat. "Kamu nakal! Sengaja berdiri di sana agar mereka melihatmu." Adam tertawa menyadari rencana Fira. "Tapi, berhasil 'kan, Kak? Apa kakak berhasil melihat wajah mereka?" "Ya!" Adam mengangguk. "Mereka terlihat pucat dan melongo menatapmu." Tawa Fira semakin pecah. Setelah berhasil mengatur tawanya, dia berkata, "Terima kasih juga untuk kakakku tercinta karena telah mendukung adegan tadi." "Hahaha!! Kamu memang cerdas."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN