Entah sudah berapa lama Bianca menangis. Di awal-awal, ia berteriak histeris, membuat Kala, perawat dan dokter yang berjaga kewalahan menenangkannya. Lalu setelah hampir satu jam berlalu, wanita itu hanya terus terisak sembari menutup wajahnya dengan selimut. Kalandra masih setia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangannya, mengusap air matanya, membelai puncak kepalanya. Pria itu juga sesekali menitikkan air mata, hatinya terasa remuk melihat istrinya menangis sebegitunya. Jam di dinding ruangan terlihat sudah menunjukkan jam 6 pagi dan Kalandra belum tidur sama sekali. Ia lelah dan ngantuk, tapi kesedihan yang begitu pekat meliputi dirinya membuat matanya tetap terjaga. Isakan Bianca melemah. Kalandra mendekati istrinya. “Sayang,” lirihnya. Bianca bergeming. Selimut yang menutupi waj