Lima

757 Kata
“Alin, kamu punya kartu kredit?”   Alinka yang sedang berkutat dengan ponselnya sambil merebahkan tubuh di atas sofa seketika menegakkan tubuhnya ketika suara sang ayah menggelegar. Buru-buru Alinka menekan tombol kunci pada ponselnya sehingga layar ponsel yang sedang menampilkan laman zalora itu otomatis berubah menjadi gelap.   “Hah? Nggg, kenapa Pa?”   “Jangan pura-pura nggak dengar.” Rudi mengibaskan sebuah amplop berwarna putih dengan logo bank di tangan kanannya. “Ini, kamu punya kartu kredit, kan? Ngaku!”   Alinka jelas tidak punya alasan untuk mengelak, saat ini dirinya sudah benar-benar tertangkap basah. Akhirnya dengan pasrah, Alinka menjawab, “Iya, Pa.”   Rudi  mengela napas cukup panjang sebelum kemudian melemparkan amplop tersebut ke atas meja di hadapan putrinya. “Astaga Alin, kenapa sih kamu nggak bilang Papa kalau mau bikin kartu kredit?” tanyanya tidak habis pikir. “Sejak kapan kamu bikin?”   Alinka menunduk, “Sejak satu bulan kerja. Alinka ditawarin...”   “Ya semua nasabah juga pasti ditawarin, Alin, tapi nggak semuanya nerima karena mikir panjang apa mereka sanggup atau enggak sama tagihannya.” Rudi menggeleng-geleng tidak percaya ke arah putrinya tersebut. Ia pikir Alinka sudah bisa dewasa setelah tahu susahnya mencari uang sendiri sehingga bisa sedikit mengontrol keborosannya, tetapi ternyata ekspektasinya terhadap sang putri harus terpatahkan begitu saja. Alinka tetaplah Alinka, putrinya yang manja dan boros. “Lalu sekarang kamu pengangguran, gimana cara kamu mau bayar tagihan?”   Alinka terkesiap. Kembali teringat dengan jumlah tagihannya yang melebihi sisa uang tabungannya saat ini. Niatnya Alinka memang ingin meminta uang pada Papanya, tetapi tentu saja Alinka tidak akan jujur soal untuk apa uang itu. Tetapi sekarang semua jelas terlambat, Alinka tidak punya pilihan lain selain jujur.   “Minta sama Papa...”   Rudi berdecak. “Nggak,” ujarnya tegas. “Kamu kebiasaan. Belajar tanggung jawab sama apa yang kamu perbuat. Kamu bikin kartu kredit itu di luar sepengatahuan Papa, jadi nggak ada ceritanya kamu minta uang ke Papa untuk bayar tagihan kamu.”   “Paaa!” Alinka merengek. Kalau bukan Papanya yang membayar, bisa-bisa kartu kreditnya diblockir, atau parahnya ia didatangi orang bank. Hih, membayangkannya saja Alinka merinding sendiri. “Please, sekali aja! Bulan depan Alinka bakalan cari kerja dan ganti uang—”   “Sekali nggak ya nggak, Alinka.” Rudi berkata final. Biasanya, lelaki paruh baya itu selalu luluh apalagi ketika putri semata wayangnya itu mulai merengek padanya. Tetapi karena itu jugalah Alinka berubah menjadi anak yang manja dan tidak bisa mandiri seperti saat ini. Dan menurut Rudi, Alinka harus diberi pelajaran hidup karena usianya sudah tidak lagi muda.   “Pa, serius Papa tega sama Alin? Alin anak kesayangan Papa?”   “Justru karena Papa sayang sama kamu, kamu harus dikasih pelajaran.” Rudi pun berbalik badan meninggalkan Alinka yang hanya bisa menatap punggungnya tidak percaya.   “Mati lah gue, gimana caranya dapat duit cepat dalam waktu seminggu?”   Ponsel Alinka bergetar, menandakan sebuah notifikasi pesan masuk. Nama Renata, sahabatnya terpampang menghiasi layar.   Renata: Heh, lo serius mau cari papa gula?   Alinka: Kalau papa gulanya bisa kasih gue duit sepuluh juta dalam seminggu, gue mau.   Renata: Yaudah nih gue kenalin Renata: sent contact   Alinka terkejut membaca pesan tersebut. Sejak kapan sahabatnya itu punya kontak ‘papa gula’ ? Apa jangan-jangan sahabatnya itu berkecimpung di dunia papa dan bayi gula tanpa sepengetahuannya? Itukah sebabnya sahabatnya itu bisa membeli barang apa saja tanpa ketakutan kekurangan uang sama sekali?   Alinka: Anjir gue bercanda Nat. Tapi lo bisa punya kontak Papa Gula dari mana sih? Jangan bilang kalau lo selama ini jadi simpanan Papa Gula juga?   Renata: Udah lo cek belum kontaknya?   Alinka: Belum. Gue nggak serius, Nat... Alinka: Dan lo belum jawab gue, nyet, lo beneran jadi bayi gula?   Renata: Dasar bloon. Itu kontak bokap gue dodol!   Alinka buru-buru mengecek kontak yang Renata kirimkan. Karena nama kontaknya hanya berbentuk emoji uang dollar, Alinka tidak sadar kalau kontak itu ternyata adalah kontak ayah sahabatnya tersebut.   Alinka: Bangke jadi maksud lo gue suruh jadi simpenan bokap lo gitu?   Renata: Lagian lo tuh ada-ada aja sih? Ngapain nanya soal papa gula segala!   Alinka menggigiti bibirnya. Apakah dirinya perlu berkata jujur pada Renata soal kesulitan yang tengah ia hadapi saat ini? Tetapi Alinka sudah lebih mengenal sahabatnya tersebut, meski Renata kemungkinan besar akan mengomelinya terlebih dahulu, perempuan itu pasti akan membantu Alinka. Masalahnya, Alinka merasa sungkan karena uang yang ia pinjam bukan jumlah yang sedikit. Well, setidaknya dalam persahabatan mereka yang terjalin sejak SMA itu, mereka tidak pernah pinjam-meminjamkan uang karena selama ini keduanya juga hidup di keluarga yang sama-sama berkecukupan.   Bedanya, Renata lebih bisa mandiri dan sukses dalam pekerjaannya dibanding Alinka sehingga perempuan itu tidak pernah kesulitan uang seperti yang Alinka alami seperti saat ini.   Akhirnya Alinka mengetikkan pesan kepada Renata sebelum kemudian mengunci layar ponselnya dan kembali merebahkan dirinya di sofa.   Alinka: Gue mau beli tas.   Hah, biarlah kali ini Alinka memendam masalahnya seorang diri. Seperti kata papanya, Alinka harus belajar bertanggung jawab atas perbuatannya. Tapi masalahnya, bagaimana bisa Alinka mencari uang dalam waktu yang begitu singkat!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN