Alranita langsung berjalan meninggalkan pria yang ada di dekatnya begitu saja ketika wanita itu melihat Pak Sudibyo dan Ibu Heryanti sudah menghilang dari penglihatannya. Alranita pun dengan cepat pergi menjauhi pria yang saat ini berada di dekatnya seakan pria itu adalah sebuah virus mematikan yang bisa mengancam kehidupannya.
Alranita baru berjalan beberapa langkah ketika Mahardhika dengan cepat menahan tangan Alranita, “Kita perlu bicara, La. Aku tahu kamu Alranita Aryadwipa walau kamu mengubah nama belakang kamu tapi wajah kamu tidaklah berubah, La.”
Alranita mengadahkan wajahnya menatap pria yang lebih tinggi darinya itu. Alranita memasang wajah sedatar mungkin dan berusaha menyembunyikan emosinya yang sedang bergejolak saat ini. “Lepas. Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan.”
Mahardhika mengabaikan permintaan wanita yang ada bersamanya saat ini dan pria itu membawa Alranita memasuki sebuah ruang meeting yang ada di dekat mereka. Mahardika menggengam erat lengan Alranita dan menarik Alranita agar wanita itu mengikutinya namun Alranita terus berusaha melepaskan diri hingga cengkraman Mahardika semakin lama semakin kencang.
“Lepas tangan saya!”
“Ala, Kita-”
Alranita menatap pria dihadapannya dengan kemarahan yang berkobar-kobar. Alranita berusaha menguasai diri dengan memejamkan matanya sesaat sebelum wanita itu menghela nafas panjang perlahan dan kembali menatap Mahardhika dengan tatapan datar. “Saya tidak mengenal Anda. Anda salah mengenali orang.” Alranita dengan kasar menyentak tangannya hingga peganggan tangan Mahardhika terlepas dari lengannya dan wanita itu hendak melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tempatnya berada saat ini.
Wajah Mahardhika mengeras karena reaksi Alranita. “Berani kamu keluar dari ruangan ini, saya pastikan kerjasama antara Wiradhana dan perusahaan tempat kamu bekerja saat ini akan batal. Saya akan mengatakan bahwa kamu menggoda saya dan saya memutus kontrak karena sikap kamu.”
Tubuh Alranita pun spontan menegang sempurna. Ucapan Mahardhika seakan membawa Alranita tenggelam ke masa lalu. Tidak ada yang mempercayainya. Luka dari masa lalu yang ternyata masih berdarah itu kembali menimbulkan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuh Alranita. Perlahan tapi pasti Alranita memutar tubuhnya dan menatap Mahardhika.
Mata Alranita bertemu dengan mata Mahardhika dan wanita itu mengeraskan hatinya menatap pria yang menjadi sumber kesakitannya itu. “Sebenarnya apa lagi tujuan kamu kali ini? Bukankah kalian sudah mendapatkan apa yang kalian inginkan di masa lalu? Bukankah saya sudah mengikuti keinginan kalian dengan pergi menghilang? Lalu apa lagi yang kamu inginkan saat ini? Kamu ingin saya mati?”
“ALRANITA!”
Alranita mengabaikan bentakan Mahardhika. Sorot mata Alranita menunjukkan luka yang selama ini ada dalam dirinya dan ia tidak menutup-nutupinya lagi. “Mari hidup sebagai dua orang asing. Sudah tidak ada lagi bagian dari diri saya yang bisa kalian hancurkan. Kecuali kalian ingin saya mati. Teruslah lakukan apa yang kamu lakukan saat ini dan kamu akan mendapati tubuh tak bernyawa saya.”
Alranita seakan tenggelam kembali dalam kubangan masa lalu. Wanita itu berusaha kembali melanjutkan langkahnya ke arah pintu hendak keluar meninggalkan Mahardhika namun lagi-lagi langkah Alranita terhenti.
"Aku minta maaf, La... Aku bersalah. Aku minta maaf.” Mahardhika mengucapkan kalimatnya dengan penuh penyesalan. Pria itu berusaha menunjukkan bahwa dirinya benar-benar menyesal dan tulus dengan ucapannya.
Namun disisi lain Alranita malah tertawa terbahak-bahak selama beberapa saat mendengar ucapan Mahardhika. Alranita bahkan tidak mau repot-repot memutar tubuhnya untuk merespon permintaan maaf Mahardhika. Alranita menegaskan bahwa ia memilih bersikap selayaknya orang asing. “Seperti yang saya bilang tadi, Mari hidup seperti orang asing, Pak Ardhi...” Alranita dengan sengaja menekankan nama Ardhi saat wanita itu menyebutkan nama pria itu. “Saya akan menganggap percakapan ini tidak pernah terjadi. Anda sudah salah orang. Nama saya adalah Alranita Sasmita.” Alranita dengan sengaja kembali menekankan namanya. “Saya permisi.”
Alranita dengan cepat keluar dari ruangan. Langkah kaki Alranita perlahan tapi pasti berubah. Alranita berlari keluar berusaha pergi seakan ia baru saja dengan malaikat maut yang siap mencabut nyawanya.
Alranita melangkah kedepan dengan sebuah langkah pasti karena rasa takut mendadak menguasainya. Kepala Alranita mendadak penuh menyadari orang yang tidak seharusnya muncul kini malah berada dihadapannya. Alranita tidak pernah menyangka kalau takdir kembali mempertemukan mereka setelah beberapa tahun berlalu.
Alranita akhirnya berlari keluar dari gedung hotel milik Wiradhana itu. Alranita dengan cepat menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depan gedung itu dan dengan cepat Alranita masuk ke dalam taksi. Alranita menyampaikan tujuannya kepada sang sopir dan tidak lama kemudian Alranita memberi kabar pada Ibu Heryanti bahwa ia sudah dalam perjalanan kembali ke kantor karena wanita itu ingat dengan pesan terakhir Ibu Heryanti sebelum atasannya itu pergi meninggalkannya.
Selesai mengirim pesan pada atasannya dan dengan tangan gemetar, Alranita mencari kontak Moshaira. Alranita dengan cepat menghubungi sahabat yang sudah seperti saudaranya sendiri itu.
“Ya, Ran.”
“Mo...” Suara Alranita bergetar. “Gue... gue...” Alranita ketakutan dan kegugupan menguasai wanita itu.
“Ran... Calm down...” Moshaira berusaha menenangkan Alranita. “Tarik nafas perlahan... Hembuskan....” Moshaira dengan tenang berusaha membuat Alranita untuk keluar dari ketakutan yang sedang menyerangnya. “Lo tenang dulu, Ran. Elo perlu tenang supaya gue bisa ngerti apa yang mau elo omongin.”
Alranita mengangguk dengan mata yang sudah berkaca-kaca menahan tangis. Alranita ketakutan. Tangannya bahkan gemetar namun wanita itu berusaha terus menarik nafas perlahan dan menghembuskannya sesuai dengan instruksi Moshaira.
“Lo sudah siap cerita?” Moshaira bertanya dengan suara perlahan.
Alranita yang sudah lebih tenang pun mengangguk sambil menghapus air matanya yang sudah mengaliri wajahnya, “Gue ketemu dia, Mo...”
“Siapa? Bokap lo?”
“Bukan.”
“Nyokap tiri atau saudara tiri lo?”
“Bukan, Mo... Gue ketemu sama Mahardhika.” Tangan Alranita mendadak kembali gemetar hanya mengucapkan nama yang sebelumnya tabu keluar dari mulutnya sendiri.
“Lo ketemu dia dimana? Sekarang posisi lo dimana, Ran? Gue perlu kesana?”
Alranita menggelengkan kepalanya. Ia butuh waktu sendiri. Pertemuan dengan Mahardhika tidak pernah terbayangkan dalam kepalanya karena Alranita pikir pria itu sudah mendapatkan apa yang ia inginkan dan bagaimana bisa pria itu kembali mendatanginya dan bersikap seperti itu? Permainan apa lagi yang pria itu lakukan kali ini dan apa lagi yang pria itu incar kali ini?
Ingatan akan eksistensi Erga dan Arga pun memukul kesadaran Alranita. Wanita itu harus memikirkan cara untuk pergi. Mahardhika tidak boleh tau tentang Erga dan Arga. Di masa lalu pria itu bahkan tidak pikir dua kali untuk menghancurkan dirinya padahal mereka saling mengenal sejak lama dan kali ini tidak ada jaminan kalau pria itu tidak akan menyentuh kedua anaknya walau darah yang sama mengalir dalam tubuh mereka.
Ya, Erga dan Arga adalah darah daging Mahardhika. Ini adalah rahasia yang Alranita bawa saat ia pergi meninggalkan Surabaya. Rahasia yang rencananya akan ia bawa sampai mati namun kenyataannya semesta membawanya kembali pada pria yang menjadi sumber kehancuran hidupnya. Tidak. Alranita tidak akan membiarkan Mahardhika menghancurkan Erga dan Arga.