12.

1740 Kata
Dimas mengepalkan tangannya sendiri begitu melihat ekspresi pias serta kecewa di wajah Savira sedetik setelah Dimas mengatakan bahwa dirinya sudah resmi jadian dengan Rachel. Rasanya Dimas ingin meninju sendiri wajahnya karena sudah membuat Savira kecewa. "Aku..." Savira tercekat. Kata-kata yang ingin dikeluarkan rasanya menyangkut di tenggorokan dan entah kenapa rasanya tidak nyaman. "Selamat ya, Dimas." Akhirnya Savira mengucapkannya. Tetapi Savira pun sadar kata-kata itu tidak bermakna sebenarnya. Savira tidak dengan tulus mengatakannya. Dimas memajukan tubuhnya untuk menyentuh Savira namun gadis itu beringsut menjauh membuat rasanya ada pisau yang menyayat-nyayat hati Dimas. Perih, bung. "Vira...maafin aku," Dimas berucap lirih. Dia tidak tau apakah maaf saja cukup untuk menghilangkan kesedihan di wajah Savira. "Aku..." Savira menggeleng, bibirnya menyunggingkan senyuman getir. "Nggak apa-apa kok Dimas. Kamu nggak perlu minta maaf, kita 'kan belum pacaran," ucap Savira sama getirnya dengan ekspresinya saat ini. Dimas tau sekali Savira tengah sekuat diri menahan tangis. Wajah gadis itu memerah. Rasanya Dimas ingin memutar ulang waktu, membatalkan perjanjiannya dengan Rachel dan kembali pada Savira. Meski pun hanya sebagai gebetan yang digantung, Dimas sungguh rela. Asal Saviranya jangan bersedih. "Vira..." panggil Dimas lirih. Dia sungguh ingin memeluk Savira dan mengatakan pada gadis itu kalau sampai saat ini pun hatinya masih sama. Masih untuk Savira. "Dimas, maaf bukannya aku mau ngusir kamu...tapi aku," Lagi-lagi Savira tercekat. Matanya melihat kemana-mana seolah mencari bantuan asal bukan menatap Dimas. Jujur saja hatinya sakit. Tetapi Savira sadar kalau ini adalah kesalahannya. Dia tidak pernah memberikan Dimas kepastian. Jadi bukan salah Dimas kalau akhirnya laki-laki itu lelah dan memilih pergi. Yang Savira tidak tau, Dimas tidak pergi. Hati laki-laki itu masih untuknya. Setidaknya saat ini. Dimas mengangguk mengerti. Dia tau Savira mungkin butuh waktu. Jujur saja, ada sebersit rasa senang dalam hati Dimas karena mengetahui jika Savira sedih karena mengetahui dirinya sudah jadian dengan Rachel. Hal itu menandakan jika Savira juga memiliki rasa yang sama dengannya. Tetapi kesedihan Savira adalah hal terakhir yang ingin Dimas lihat. Rasa senang itu tidak sebanding dengan rasa sakit yang Dimas rasakan karena membuat Savira bersedih. "Aku pulang dulu ya, Vira," pamit Dimas yang diangguki Savira. Gadis itu masih menolak menatap mata Dimas. Dan tidak ada yang lebih perih lagi bagi Dimas kecuali saat Savira tidak mau menatap matanya. *** Gio menahan nafas saat pintu rumah Dimas terbuka dan menampilkan Tara dengan pakaian rumahannya. Gio tidak bisa berbohong, hatinya masih saja berdebar untuk Tara meski pun waktu sudah berlalu. "Hai, Gio," Tara menyapa. "Nyari Dimas, ya? Dimas belum pulang dari rumah Savira. Masuk aja," kata Tara sambil membuka pintu lebih lebar agar Gio bisa masuk. Gio sudah dianggap anak ketiga di rumah Tara. Cowok itu sudah sangat akrab dengan Dimas sejak kelas tujuh. Tidak heran kehadirannya sudah tidak asing lagi di rumah itu. Biasanya Gio akan langsung berjalan ke kamar Dimas meski pun Dimas sedang tidak ada. Tetapi entah kenapa hari ini Gio malah berjalan mengekori Tara ke ruang santai dan duduk di sofa yang agak berjauhan dari Tara yang sedang menonton TV. Berbeda dengan Gio yang masih merasa canggung, Tara nampak biasa saja. Mungkin karena gadis itu tidak pernah memiliki rasa apapun terhadap Gio, maka Tara sudah melupakan apa yang pernah terjadi di antara mereka. Andai perasaan Gio juga bisa begitu. "Mau minum ambil sendiri aja ya, Yo," kata Tara sambil mengambil toples berisi kue lidah kucing di meja. Tara menyempatkan diri tersenyum saat matanya bertatapan dengan milik Gio. Hati Gio mencelos ke dasar perutnya. Kampret! Batin Gio. Bahkan senyum Tara masih selalu nampak manis di matanya. Kesalahan. Ini kesalahan. Kenapa juga Gio malah memilih duduk di sini bersama Tara dan bukannya menghindar seperti biasa? Gio menggaruk pangkal hidungnya yang mendadak terasa gatal. Biasanya dia bisa mengobrol dengan Tara secara santai, tetapi sejak saat penolakan gadis itu terakhir kali, menatap Tara saja Gio enggan. Namun saat ini ada kerinduan sendiri dalam hati Gio. Dia ingin mengobrol lagi bersama Tara. Sungguh. "Tara," panggil Gio membuat Tara yang sedang mengunyah dengan tatapan fokus ke televisi pun menoleh ke arahnya. "Iya, kenapa Yo?" tanyanya. Gio jadi gelagapan sendiri. Bahkan dia tidak sepenuhnya sadar ketika memanggil Tara tadi. "Eh, Alvan apa kabar?" tanya Gio akhirnya. Rasanya Gio ingin menggaruk mukanya sendiri di atas aspal. Untuk apa juga dia menanyakan pacar Tara yang notabennya sudah menjadi penghalangnya mendapatkan Tara. Tara tampak terkejut dengan pertanyaan Gio. Karena Tara tau sendiri bagaimana hubungan Gio dan Alvan dulu ketika Tara dan Alvan belum jadian saja sudah tidak terlalu baik. Terlebih lagi setelah Tara jadian dengan Alvan. "Eum, baik kok." Tara menjawab singkat. Dia juga tidak tau harus mengatakan apalagi kepada Gio tentang pacarnya. Karena Tara tau, Gio tidak bersungguh-sungguh bertanya karena penasaran. Mungkin Gio hanya basa-basi. Lalu tidak ada percakapan lagi. Tara kembali fokus ke televisi sedangkan Gio memainkan ponselnya. Meski pun sebenarnya Gio tidak benar-benar memainkan ponselnya. Dia hanya keluar masuk aplikasi yang ada di ponselnya tanpa benar-benar mengeceknya. Gio lalu melirik Tara. Tiba-tiba timbul keinginannya untuk bertanya sesuatu yang pastinya hanya akan menyakiti hatinya sendiri. Tetapi entah kenapa keinginan itu seakan meledak-ledak dan harus segera terpenuhi. "Tara," akhirnya Gio kembali memanggil Tara. "Hmm?" kali ini Tara hanya meresponnya dengan gumaman. Namun tatapannya mengarah pada Gio. Gio memberanikan diri menatap mata Tara. Mungkin ini terakhir kalinya dia menatap Tara dengan tatapannya saat ini. Gio ingin mengikis habis perasaannya terhadap Tara saat ini juga. Sungguh. "Are you happy?" tanya Gio membuat Tara mengernyit bingung. "Apa?" tanyanya meminta Gio mengulang maksud pertanyaannya agar lebih jelas. Gio menelan ludah. "Are you happy, with him?" tanya Gio lagi yang kemudian membuat Tara bergeming. Tara berkedip. Tidak menyangka pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulut Gio. Tara tau Gio masih canggung terhadapnya, tetapi Tara tidak menyangka jika itu semua karena Gio mungkin masih memiliki perasaan terhadapnya. Ini sudah setahun berlalu. Dan tidak ada yang bisa Tara lakukan selain menganggukan kepalanya. "Yes, I couldn't ask for more." Jawaban lugas Tara membuat perasaan Gio untuk Tara hancur berkeping-keping. Dan semoga tidak bersisa. Rasanya ternyata masih sesakit dulu. Gio menganggukkan kepalanya. "Hm, glad to hear that." Hanya itu yang bisa Gio katakan. Karena dirinya masih belum bisa di tahap mampu untuk mengatakan, Gue seneng kalau lo seneng meskipun itu berarti bukan sama gue. *** Her best days were some of my worst She finally met a man that's gonna put her first While I'm wide awake she's no trouble sleeping 'Cause when a heart breaks no it don't break even... even... no   What am I supposed to do when the best part of me was always you? And what am I supposed to say when I'm all choked up and you're OK? I'm falling to pieces, yeah, I'm falling to pieces   They say bad things happen for a reason But no wise words gonna stop the bleeding 'Cause she's moved on while I'm still grieving And when a heart breaks no it don't break even, even... no   What am I gonna do when the best part of me was always you? And what am I supposed to say when I'm all choked up and you're OK? I'm falling to pieces, yeah, I'm falling to pieces, yeah, I'm falling to pieces (One still in love while the other one's leaving) I'm falling to pieces ('Cause when a heart breaks no it don't break even)   Oh, you got his heart and my heart and none of the pain You took your suitcase, I took the blame. Now I'm tryna make sense of what little remains, ooh 'Cause you left me with no love and honour to my name.   I'm still alive but I'm barely breathing Just prayed to a God that I don't believe in 'Cause I got time while she got freedom 'Cause when a heart breaks, no, it don't break... No, it don't break No, it don't break even, no Breakeven - The Script Gio menyelesaikan nyanyiannya. Sebenarnya bukan hanya sekedar nyanyian melainkan curahan hati yang tidak bisa Gio katakan. Lagu itu benar-benar menggambarkan perasaannya terhadap Tara. Dimas merebahkan tubuhnya di atas karpet. "Gue resmi jadian sama Rachel." Gio yang baru saja meletakkan gitar milik Dimas kembali ke tempatnya melongo. "YOU DID WHAT?" serunya. Meluncurlah cerita dari mulut Dimas tentang apa yang baru saja dia lakukan kepada Rachel dan Savira. Gio hanya bisa melongo mendengar cerita Dimas. Dan jujur saja ada rasa kesal dalam diri Gio karena Dimas sama sekali tidak berbicara dulu dengannya sebelum memutuskan untuk berpura-pura pacaran dengan Rachel. Oke, waktu itu Dimas memang sempat menanyakan pendapat Gio, tetapi saat itu Dimas pun terlihat enggan terlibat dengan Rachel. Tetapi sekarang tiba-tiba Dimas mengatakan kalau dia sudah resmi menjadi pacar pura-pura Rachel. Bahkan Dimas sudah mengatakan kepada Savira kalau dirinya sudah pacaran dengan Rachel. Hal yang tidak pernah Gio sangka bisa Dimas lakukan. Gio yang paling tau bagaimana perasaan Dimas untuk Savira. Bagaimana kesetiaan cowok itu menunggu cintanya diterima Savira bertahun-tahun. Dan semudah itu laki-laki itu melepaskan apa yang ditunggunya demi perempuan yang bahkan tidak Dimas kenal dengan baik. "Lo beneran udah gila, Dim." Gio menggeleng tidak habis pikir. "Terus Savira gimana?" tanya Gio kemudian. Dimas mendesah berat. Menandakan bahwa dirinya frustasi jika harus membahas Savira. "Entah lah Yo, sakit gue kalau bahas Vira." Gio melemparkan bantal kecil ke arah Dimas dan tepat mengenai wajah sahabatnya itu. "Lebay lo, njing!" Gio ikut merebahkan tubuhnya di atas karpet tak jauh dari Dimas. "Tapi serius, Savira gimana pas lo bilang gitu?" tanyanya penasaran. Dimas menatap langit-langit kamarnya. "Dia sedih," jawab Dimas pendek. "Dia nggak bilang dia sedih, tapi gue tau dia nahan tangis. Dan gue ngerasa hancur banget, Yo, seumur-umur gue suka Savira, gue nggak pernah mau Savira sedih. Tapi malah gue orang yang bikin dia sedih." Gio melirik sahabatnya yang masih memandangi langit-langit kamarnya. "Dan lo semakin hancur karena tau dia ternyata juga punya perasaan yang sama, iya?" tanya Gio tepat sasaran. Dimas tidak menjawab. Dan sepertinya Gio juga sudah tau jawabannya tanpa harus Dimas mengatakannya. Gio ikut memandang langit-langit kamar Dimas. "Funny isn't it? Cinta pertama kita berdua gagal total. Gue jadi mikir kalau takdir itu emang nggak pernah bisa dilawan," kata Gio sambil melipat tangannya di belakang kepala sebagai penyangga. Tatapannya mengarah lurus ke langit-langit. "Gue cinta sama Tara, mau seberapa keras pun usaha gue, tapi Tara tetep nggak bisa ngeliat gue dan membalas perasaan gue. Dan lo, lo sama Savira padahal sama-sama cinta, tapi tetap aja nggak menjamin kalian bakalan bersama." Kata-kata Gio membuat Dimas sadar, kalau terkadang kalimat klise bahwa cinta tidak harus memiliki ada benarnya. Bahkan dalam keadaan saling cinta pun, belum tentu bisa bersama. Semua kembali kepada takdir.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN