Lala meletakkan gelas berisi coklat panasnya kembali ke meja. Niatnya untuk meneguk minuman manis itu tertunda karena rasa keingin tahuannya akan cerita Rachel nampaknya lebih besar.
Lala adalah teman dekat lain Rachel selain Daisy. Mereka dekat karena pernah terlibat project pemotretan bersama untuk salah satu majalah remaja. Lala sendiri berprofesi sebagai artis. Wajahnya sering muncul di ftv remaja. Karena sama-sama berprofesi di dunia hiburan, keduanya jadi mudah akrab. Sebelumnya mereka hanya saling kenal sebagai teman seangkatan. Tapi setelah project tersebut keduanya jadi sering hangout bareng bersama sesama seleb remaja seusia mereka.
"Gue nggak ngerti deh Cel, jadi di mana letak 'aneh' nya si Dimas ini?" tanya Lala sambil menopang dagunya. "I mean, dia gemesin banget loh. Padahal dia lebih muda dari lo tapi dia dewasa banget setiap lagi sama lo." Lala berbicara dengan tatapan memuja. Padahal objek yang dibicarakannya bahkan tidak ada di sana.
Rachel mengela nafas. Dia baru saja sedikit bercerita dengan Lala soal sikap Dimas yang sedikit dianggap aneh olehnya. Well, sebenarnya bukan sikap Dimas yang aneh melainkan Rachel yang menganggap apa yang Dimas lakukan itu aneh. That's different, right?
Dimas aneh, La, gue ngerasa makin ke sini hubungan kami semakin real. Dan gue khawatir. Rachel membatin. Jelas dia tidak bisa mengatakan hal itu blak-blakan pada Lala. Gadis itu tidak tau hubungan yang tengah dijalaninya dan Dimas hanyalah sandiwara semata.
"Jadi menurut lo hubungan gue sama dia...normal?" tanya Rachel lagi dengan nada sangsi.
"He'eh. Tapi ya itu sih, semenjak sama Dimas lo jadi jarang jalan lagi sama gue atau anak-anak." Lala menegakkan tubuhnya yang sejak tadi lebih mencondong ke arah Rachel. Bibirnya menyunggingkan senyum menggoda. "Pasangan baru sih, masih anget-anget tai ayam."
"Jorok lo, La!" Rachel melempari Lala dengan gumpalan tissue yang sejak tadi dimainkan olehnya. "Dimas emang rada posesif gitu, sih." Tatapan Rachel menerawang jauh, dalam kepalanya membayangkan wajah Dimas.
"Gimana tanggapan penggemar-penggemar lo di i********:?" tanya Lala penasaran. "Lo ngepost foto sama Dimas, kan?"
Rachel menggeleng. "Belum. Gue nggak mau ah, kasihan nanti takut ada komentar aneh-aneh nyampahin akunnya Dimas."
Lala terkekeh. "Yakin lo komentar aneh? Yang ada Dimas ikutan dapet fans! Dia gemay parah, ih!" Lala berekspresi gemas seolah Dimas memang benar-benar ada di depannya. "Lagian lo nggak bangga amat sih punya pacar gemesin kayak gitu?"
Rachel memincingkan mata menatap Lala. Gadis seperti Lala yang hello, selalu dikelilingi cowok-cowok ganteng dan terkenal menilai kalau Dimas memiliki kelebihan dan pantas untuk disukai. Bagaimana cewek-cewek lain di sekolah mereka?
Tiba-tiba Rachel merasa ingin mengakui kepada semua orang kalau dia dan Dimas berpacaran. Hanya untuk mempertegas kalau saat ini Dimas miliknya. Walau hanya pura-pura.
"Should I post one?" tanya Rachel memecah keheningan.
Lala yang sedang terfokus kepada layar ponselnya menegakkan kepalanya dan menatap Rachel. "Apa?" tanyanya meminta Rachel mengulangi pertanyaannya.
Rachel menggigit kecil bibir bawahnya. "Posting fotonya Dimas," kata Rachel malu-malu.
Lala tersenyum. "Go ahead, he's yours baby!" kata gadis itu sambil terkekeh. Namun kekehannya sama sekali tidak berunsur menggoda, murni tertawa karena gemas dengan Rachel yang masih malu-malu mengakui Dimas sebagai pacarnya.
Rachel pun diam sambil memikirkan semuanya.
***
Rachel baru selesai mengikuti bimbingan belajar saat jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Kebetulan malam itu malam Minggu, sehingga Rachel memutuskan untuk tidak langsung pulang dan mampir ke mall karena dia sudah lama tidak keluar untuk sekedar cuci mata.
Rachelia Audina: aku lagi di Sency mampir sebentar abis les
Selesai mengabari Dimas dan tanpa menunggu balasan, Rachel memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Rachel memang tidak berharap balasan, hal itu dia lakukan hanya untuk mengabari Dimas tentang keberadaannya.
Semula Rachel melakukan itu karena sebuah keharusan yang Dimas minta jika Rachel setuju untuk menjadi pacar pura-puranya. Tetapi saat ini, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan untuk Rachel. Kemana pun gadis itu mau pergi, dia pasti mengabari Dimas.
Rasanya sudah sangat lama Rachel tidak bersenang-senang untuk dirinya sendiri. Jalan-jalan ke mall terakhir kalinya adalah bersama Bryan waktu Daisy sedang pergi ke luar kota. Dan Rachel ingat kalau di hari itu pula dia bertemu dengan Dimas dan rasa cemasnya mencapai batas maksimal. Karena setelah pertemuan tersebut, Rachel langsung pergi menemui Dimas keesokan harinya di sekolah. Sampai akhirnya hubungannya dan Dimas sampai di level ini.
"Kak Acel!" Rachel tersentak ketika bahunya ditepuk dari belakang oleh seorang gadis yang kalau ditaksir masih duduk di bangku SMP.
Rachel langsung mengatur ekspresinya yang semula terkejut dan mengulas senyum tipis. "Halo," sapanya ramah.
Gadis itu menatap Rachel penuh binar sambil mengangkat ponselnya. "Boleh minta foto, kak?" tanyanya.
Rachel tersenyum. "Boleh," jawabnya sambil mendekat ke gadis itu.
Rachel memasang senyum ke front camera milik si gadis sambil merangkulnya untuk beberapa kali jepretan.
Dimintai foto saat sedang berpergian ke tempat umum sudah menjadi hal yang biasa untuk Rachel. Sejujurnya Rachel mendapatkan semua ketenaran itu bukan murni karena profesinya sebagai model. Justru ketenarannya lebih dikarenakan feeds di akun instagramnya yang banyak disukai. Entah itu lifestyle atau gaya berpakaiannya. Kebanyakan followers Rachel merupakan remaja-remaja yang masih duduk di bangku sekolah.
Meski pun Rachel hidup dengan gaya yang glamour, tetapi dia tidak pernah mengunggah kehidupan malam yang sering dia lakukan bersama teman-temannya. Rachel sadar betul followersnya masih banyak yang belum cukup umur.
"Akhirnya anjing penjaga lo pergi juga."
Rachel yang sedang melihat-lihat bermacam-macam model kalung aksesoris di sebuah toko serba pink menegang seketika. Suara bass yang begitu ia kenal itu terdengar begitu dekat dengan telinga kirinya. Refleks Rachel bergeser menjauh.
Bryan menyeringai, tampak menikmati keterkejutan di wajah Rachel. "Hai, babe," sapa cowok itu.
Rachel buru-buru meletakkan kembali kalung di tangannya ke gantungan semula dan beranjak pergi meninggalkan cowok itu.
Sial. Rachel kecolongan. Bagaimana bisa dia bertemu Bryan di sini? Tidak mungkin ini sebuah kebetulan. Kalau memang kebetulan, pasti lah kebetulan yang memang disengaja.
Rachel tentu tau kalau kabur dari Bryan di saat dirinya sendirian hanyalah percuma. Rachel tidak akan bisa kabur dari Bryan.
Rachel setengah berlari menuju toilet perempuan. Satu-satunya tempat teraman untuknya saat ini karena Bryan tidak mungkin akan mengejarnya sampai ke dalam sana.
Rachel masuk ke dalam salah satu bilik dan menutup closet lalu duduk di atas sana. Jantungnya bergemuruh. Dikeluarkannya ponsel dari kantung dan Rachel menemukan banyak notifikasi dari Dimas.
Adimas Nugraha: Cel balik jam berapa?
Adimas Nugraha: Kamu sendirian?
Adimas Nugraha: Cel kalo mau disusul bilang ya
Adimas Nugraha: Cel udah pulang?
Rachel buru-buru mengetikkan balasan. Tapi Rachel mengurungkan niat untuk memberitahu Dimas tentang pertemuannya dengan Bryan. Rachel tidak ingin merepotkan Dimas. Cowok itu tidak punya SIM untuk membawa mobil dan Rachel tidak berani naik motor.
Rachelia Audina: HP aku di tas daritadi. Ini udah mau balik
Rachel menggigiti bibir bawahnya. Dia terpaksa tidak jujur.
Rachel akhirnya memutuskan untuk pulang. Dan Rachel berharap kalau Bryan sudah pergi. Lagi pula kenapa Rachel harus setakut itu berhadapan dengan Bryan? Toh mereka sedang berada di mall dan kecil kemungkinan Bryan berani macam-macam.
Tapi Bryan tetap lah Bryan. Cowok itu bisa melakukan hal-hal yang tidak terduga.
Maka memilih mencari aman, Rachel memastikan keadaan aman di luar toilet sebelum benar-benar melangkahkan kakinya keluar.
Rachel bersyukur karena tidak bertemu Bryan sampai akhirnya dia mencapai mobilnya di parkiran. Seperinya cowok itu menyerah lebih cepat. Bagus lah.
Buru-buru Rachel masuk ke dalam mobilnya. Tapi sialnya, belum sempat Rachel menekan tombol kunci, pintu penumpang sudah lebih dulu dibuka dan Bryan masuk ke dalamnya.
"Bryan!" Rachel menjerit. "What the hell are you doing?" Gadis itu kaget setengah mati karena kehadiran Bryan.
Cowok itu tersenyum miring. "Lo kira bisa lari semudah itu dari gue, Cel?" tanyanya sambil menatap Rachel lekat.
Rachel refleks mundur sampai punggungnya menubruk pintu di sampingnya. Seketika perasaan takut menyergap. Tindakan Bryan saat ini sudah melewati batas normalnya. "Lo ngikutin gue?" tanyanya bergetar.
Bryan menyeringai. "Yap. Bahkan gue udah ngikutin lo dari rumah ke tempat les, sampai akhirnya ke sini." Bryan bersedekap. "Seperti kata gue, lo nggak bisa lepas semudah itu dari gue, Cel."
"Lo sakit, Yan!" bentak Rachel. Jujur saja Rachel ketakutan setengah mati. Tindakan Bryan sudah persis penguntit. "Keluar dari mobil gue!" usirnya.
Bryan menarik pergelangan tangan Rachel sampai gadis itu tertarik ke arahnya. "How dare you said that you have a boyfriend, Cel, how dare you?" tanya Bryan dengan tatapan tajam.
Rachel gemetar, ditambah AC mobil yang belum sempat dia nyalakan menyebabkan udara terasa pengap di dalam sana dan tatapan tajam Bryan membuat nyalinya ciut.
Namun Rachel tau dia tidak boleh terintimidasi. Rachel harus kuat agar bisa sepenuhnya lepas dari jeratan Bryan. "That wasn't your fuckin business!" Rachel menarik tangannya sampai terlepas dari cengkraman Bryan. "Gue bakal teriak kalau lo masih nggak mau keluar!" ancamnya.
Bryan terkekeh. "Semua tentang lo adalah urusan gue! Lo punya gue, Cel!" bentak Bryan balik. Cowok itu seperti orang yang kehilangan akalnya. Sesaat yang lalu terkekeh dan tiba-tiba marah.
Nafas keduanya sama-sama tersengal. Mungkin karena emosi yang sama-sama mereka rasakan.
Rachel berdecih. "Punya lo? Lo bilang gue punya lo? Gimana bisa gue adalah punya lo padahal lo sendiri punya sahabat gue, Bryan!"
Bryan memukul dashboard. "I don't even care with that b***h! Gue mau lo, Cel! Cuma lo!"
Rachel melayangkan tamparan cukup keras ke pipi Bryan. "Jangan pernah lo hina Daisy. Terutama di depan muka gue."
Bryan berdecih. Matanya menatap Rachel nyalang. "Fine. Kalau lo nggak mau balik sama gue, gue bakal bongkar semua kebusukan kita di depan Daisy!"
"Bryan!" bentak Rachel. Gadis itu mendadak panik. "Lo jangan gila!"
"Kalau dengan jadi gila gue bisa dapetin lo lagi, gue rela, Cel." Bryan menatap Rachel dalam. Cowok itu tidak lagi berteriak, wajahnya bahkan terlihat lebih lembut dari sebelumnya. "Apa pun gue lakuin asal lo balik ke pelukan gue."
Rachel merasakan jantungnya terhimpit. Demi apapun, Rachel sungguh merasa senang dengan pernyataan Bryan barusan. Meski pun Rachel tau tidak seharusnya dia senang, tetapi perasaanya tidak bisa berbohong. Jantungnya masih memiliki debar untuk Bryan.
Tapi waktu tidak berpihak kepada mereka. Bryan adalah pacar sahabatnya dan Rachel memilih untuk tidak meneruskan hubungan tersebut.
Bryan menyentuh tangan Rachel lebih lembut dari sebelumnya. "Termasuk dengan ninggalin Daisy, Cel. Gue bakal putusin dia kalau lo mau balik ke gue."
Jantung Rachel berdenyut lebih cepat. Ini kan yang lo tunggu, Cel? Tapi kenapa rasanya salah, kenapa lo nggak sebahagia dugaan lo dulu waktu berharap denger kata-kata ini dari Bryan.
"Lo mau gue putusin Daisy, kan? Gue putusin dia saat ini jug--" ucapan Bryan terputus saat dia merasakan Rachel memeluknya.
"Bryan, gue cinta sama lo." Rachel berkata dalam pelukannya. "Tapi lo dan gue tau, kalau kita nggak bisa bersatu dengan cara kayak gitu. Nggak adil buat Daisy," lanjutnya.
Rachel melepaskan pelukannya. "Gue mohon lo keluar dari mobil gue, sekarang."
Bryan masih tidak bergeming. Semua karena pernyataan cinta Rachel dan kata-kata gadis itu juga pelukannya.
Bryan lalu menatap Rachel. "Jadi lo nggak cinta sama pacar lo?"
Rachel refleks mengulum bibirnya. Dia lupa kalau saat ini sedang menjalani hubungan pura-pura dengan Dimas. Bagaimana bisa Rachel justru mengakui kalau dia mencintai Bryan!
Gagal sudah semuanya.
"Maksud gue dulu." Rachel tau koreksinya tidak berguna. Tapi Rachel memutuskan untuk tetap mencoba.
Bryan masih menatapnya tajam. "Liar! You're still in love with me." Bryan berkata dengan penuh keyakinan.
"Gu--" Rachel terdorong sedikit ke belakang ketika Bryan tiba-tiba saja menciumnya. Rachel melotot kaget dan langsung memukuli Bryan sambil berusaha melepaskan ciumannya. Tapi tenaga Rachel tentu tidak seberapa.
"Hmmmph!"
Bryan menekan tengkuk Rachel dan memperdalam ciuman mereka. Sudah lama bibirnya tidak menyentuh bibir Rachel. Rasanya seperti berpuasa belasan bulan tanpa pernah mendapatkan buka.
Ciuman itu terlepas ketika akhirnya Rachel menjambak kuat rambut Bryan dan mendorongnya sekuat tenaga. Nafasnya sampai tersengal karena itu.
"Keluar atau gue panggil satpam?" tanya Rachel dingin.
Bryan tersenyum miring. "Oke, hari ini cukup sampai sini dulu. Tunggu aja Cel, gue bakal bawa lo balik ke gue. Janji."
"Keluar!" Jerit Rachel keras. Gadis itu tidak bisa menahan lagi lebih lama. Air matanya langsung tumpah ruah. Untuk pertama kalinya Rachel merasa dirinya dilecehkan ketika dicium Bryan. Biasanya Rachel selalu menanti saat-saat Bryan menciumnya, tetapi saat ini, Rachel setengah mati membenci ciuman itu.
Rachel merasa hina. Bukan lagi karena dia mengkhianati Daisy melainkan juga Dimas.
Rachel menangis dengan dahinya yang bertumpu pada lipatan tangannya di atas stir. Dimas, gue pengen lo di sini...