7.

1413 Kata
Rachel tau seisi kelas atau bahkan mungkin seisi sekolah sedang membicarakannya dengan cowok yang bahkan tidak Rachel tau namanya barusan. Tapi sepertinya teman-temannya sungkan untuk bertanya dengannya. Hanya beberapa anak perempuan yang memang cukup akrab dengannya berani bertanya yang hanya ditanggapinya dengan tawa saja dan mereka cukup tau diri untuk tidak memaksa Rachel menjawab. Rachel bisa melihat Daisy dan Bryan berjalan menuju pintu kelas melalui jendela. Keduanya terlihat berbincang akrab dan Rachel membuang muka karena tidak bisa menahan rasa perih di dadanya. Rachel sudah bertekad untuk melepaskan Bryan dan menanggung resiko untuk merasakan patah hati sendirian. Dia lebih menyayangi Daisy daripada hubungan gelapnya dengan Bryan. Meski pun sakit... Rachel memasang senyum lebar ke arah Daisy begitu gadis itu bertukar tatap dengannya, namun senyuman Rachel langsung luntur ketika melihat ekspresi Daisy yang terlihat dingin ke arahnya. Rachel refleks mengepalkan tangannya gugup. Jangan-jangan Bryan udah bilang semuanya? Jangan-jangan dia beneran mau bongkar tentang kita? Rachel membatin resah. Daisy berjalan cepat ke arah Rachel dan gadis itu sudah siap jika mendapat tamparan atau bahkan makian dari sahabatnya tersebut. "Gue tau semua, Cel," tandas Daisy begitu sampai di hadapan Rachel. Rachel menatap Daisy, dia tidak tau harus menjawab apa, tidak bisa mengelak. "Lo jahat banget, Cel, gue kira kita sahabat!" ucap gadis blasteran itu kepada Rachel. Rachel mengkerut di tempatnya, mulutnya terbuka dan tertutup beberapa kali namun tidak satu katapun keluar dari mulutnya. Daisy menduduki kursinya yang berada di sebelah Rachel, namun gadis itu memilih duduk menghadap Rachel. "Kita sahabat, kan? Apa cuma gue yang nganggep gitu?" tanya Daisy lagi membuat Rachel ingin menangis saat itu juga. Bagaimana bisa setelah Daisy tau tentang hubungannya dan Bryan gadis itu masih menganggapnya sahabat? "Daisy, gue..." "Lo tuh ya, masa punya pacar nggak bilang-bilang!" seru Daisy pada akhirnya membuat ketakutan Rachel berganti menjadi perasaan bingung. "Hah?" Daisy mencubit pipi Rachel. "Iya, gosip lo tuh udah nyebar kemana-mana, kali! Di kantin semua anak ngomongin lo sama adik kelas itu!" Rachel tidak tau dia harus bersyukur atau tidak karena Daisy termakan gosip murahan tersebut. Di satu sisi Rachel bersyukur karena Daisy belum tau tentangnya dan Bryan, namun di sisi lain Rachel juga tidak mungkin bisa mengaku-ngaku kalau cowok barusan memang pacarnya. Bahkan cowok itu terlihat tidak menyukai Rachel. "Pantesan lo tuh aneh gitu ya akhir-akhir ini, chat pun jarang bales, weekend juga jarang jalan sama gue, taunyaaa!" Daisy berseru heboh, ekspresi kesal gadis itu berubah menjadi ekspresi senang sekarang. "Gue seneng, ih, tapi kesel juga soalnya lo nggak bilang-bilang!" Rachel hanya bisa meringis. Dia benar-benar tidak tau harus menjawab apa. Untungnya guru bahasa Indonesia memasuki kelas membuat percakapan mereka terputus saat itu juga. Setidaknya Rachel mendapatkan waktu untuk berpikir sejenak bagaimana dia harus bertindak setelah ini. Rachel merasakan ponselnya yang dia letakkan di laci meja bergetar, dengan berhati-hati agar tidak ketauan guru Rachel menarik ponselnya itu dan melihat ada notifikasi apa. Ternyata sebuah chat Line dari Bryan. Bryan Evan: siapa cowok itu? Lo jangan main-main sama gue! Bryan Evan: gue nggak akan biarin lo lepas gitu aja Cel. You're mine! Rachel buru-buru menekan tombol kunci ketika Daisy menoleh ke arahnya dengan tatapan penasaran. "What's wrong?" tanya Daisy dengan suara pelan karena tidak ingin memancing perhatian guru. Rachel merasakan jantungnya berdebar-debar, namun bukan debaran jatuh cinta melainkan ketakutan. Rachel mulai takut dengan Bryan. Gadis itu pun menggeleng sambil tersenyum kecil ke arah Daisy, "My mom," jawabnya berbohong. Sepanjang pelajaran bahasa Indonesia bahkan sampai pelajatran terakhir berlangsung Rachel sama sekali tidak fokus. Dia mendengarkan namun tidak satu pun penjelasan dari sang guru masuk ke otaknya untuk disimpan. Rachel bahkan mulai merasakan bibir dalamnya terasa perih karena dia gigit beberapa kali. Rachel harus mencari cara untuk benar-benar melepaskan diri dari Bryan. Harus. Dan sebuah ide gila melintas di kepala Rachel dan ide itu berhubungan dengan laki-laki yang tidak dikenalnya, satu-satunya orang lain yang tau tentang rahasianya dan Bryan. Bahkan gue nggak tau siapa namanya! Batin Rachel saat memikirkan ide itu. "Cel, lo pulang bareng gue sama Bryan, nggak? Kita mau ke studio." Daisy terlihat sudah selesai membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Gadis itu bahkan sudah menyandang tas ransel ungunya. "Mau ikut?" tanya Daisy lagi karena Rachel tidak kunjung menjawab dan justru memasang ekspresi bingung. "Eh..." Rachel gelagapan. Mata gadis itu bergerak kesana-kemari mencari jawaban. "Anu...enggak dulu deh, Sy, gue ada urusan, entar juga gue ada schedule." Daisy tersenyum penuh arti, entah maksudnya apa dan Rachel menduga kalau Daisy mengira urusan Rachel ada hubungan dengan pacarnya. "Okay then, see you!" Daisy memeluk sekilas bahu Rachel dan berlalu pergi meninggalkan sahabatnya itu sendirian di kelas. Selepas kepergian Daisy, Rachel langsung menundukkan kepalanya ke atas meja. Benar-benar bencana! *** Dimas seperti biasa sedang menunggu Savira di depan sekretariat OSIS untuk pulang bersama. Savira adalah anggota OSIS dan karena itu juga Dimas cukup kenal dengan anak-anak OSIS karena sering menunggu Savira di sana. Dimas juga sudah menjelaskan kepada Savira tentang gosip murahan yang menyebar tentang dirinya dan Rachel dan untungnya Savira tidak begitu ambil pusing soal itu. Lagipula kan Savira tau kalau Dimas menyukainya, mana mungkin Dimas mendekati gadis lain kalau saat ini dia masih menyukai Savira. Buktinya saat ini Dimas masih menunggui Savira untuk pulang bersama. "Yuk, Dim!" ajak Savira begitu urusannya di sekretariat OSIS selesai. Dimas tersenyum cerah, lalu mereka berjalan beriringan menuju parkiran. Hari ini Dimas sedang membajak motor kakak perempuannya. Dimas memang dilarang membawa motor sendiri sampai berusia tujuh belas dan punya SIM karena pernah kecelakaan saat kelas sembilan. Biasanya Dimas menebeng dengan Gio atau kakaknya, namun semenjak kuliah, kakak perempuannya lebih sering naik bus transjakarta ke kampus atau dijemput temannya membuat terkadang Dimas yang membawa motor milik kakaknya tersebut. Tentunya dengan cara kakaknya membawa dulu motor itu keluar rumah dan selanjutnya Dimas yang meneruskan setelah mengantar kakaknya terlebih dahulu ke halte bus transjakarta. Untungnya Savira bukan tipe perempuan gengsian yang ogah kalau dibonceng menggunakan motor matic dan hanya mau dibonceng dengan motor ninja sport. Jadi Savira oke-oke saja jika harus dibonceng Dimas menggunakan motor matic berwarna merah milik kakak perempuan Dimas tersebut. Bahkan pernah dia dan Dimas pulang berdua naik angkot dan Savira sama sekali tidak mengeluh. Hah, bagaimana Dimas tidak jatuh cinta pada gadis itu. Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Dimas tidak bisa berhenti tersenyum mendengar celotehan Savira tentang masalah yang sedang menimpa OSIS angkatan tahun ini. Gadis itu terlihat menggebu-gebu dan membuat Dimas susah payah menahan keinginannya untuk mencubit gemas pipi Savira yang kemerahan karena terkena panas atau sekedar mengacak rambut lembutnya. Namun senyum Dimas harus luntur begitu jalannya dan Savira dihadang sosok yang tidak ingin dia temui saat ini atau pun nanti. Rachel, berdiri menghadang jalan Dimas dan Savira membuat mereka mau tidak mau berhenti melangkah. Ekspresi bingung terlihat jelas di wajah Savira sedangkan Dimas menampilkan ekspresi kesal. Untuk apalagi cewek ini menemuinya. "Bisa kita ngomong lagi?" tanyanya dengan nada memerintah seperti sebelumnya. Savira menatap Rachel dan Dimas bergantian. Bukankah tadi Dimas baru saja meyakinkan Savira kalau Dimas tidak kenal dengan Rachel dan pertemuannya di koridor dengan gadis itu saat istirahat adalah tidak sengaja? "Nggak, nggak ada yang perlu diomongin, lagi." Dimas menjawab dengan tegas dan cuek. Cowok itu langsung menggandeng gadis di sebelahnya, "Yuk, Vir," ajaknya pada Savira namun Rachel menahan lengannya. "Please, I beg you!" kali ini Dimas bisa mendengar nada memelas dari mulut Rachel, bahkan gadis itu terdengar memohon. "Sebentar aja." Dimas menatap Savira seolah meminta persetujuan namun gadis itu hanya diam saja. Merasa keputusan Dimas ada pada gadis yang sedang bersamanya, Rachel langsung mengalihkan tatapannya pada Savira. "Sebentar aja, kok. Boleh, ya?" tanyanya pada Savira membuat gadis manis itu terkejut. "Eh... eung, yaudah terserah Dimas aja," jawabnya melemparkan kembali keputusan pada Dimas. Dimas akhirnya menghela nafas sambil melepaskan gandengannya dari Savira. "Yaudah," jawabnya pasrah. Rachel pun mengangguk sambil menurunkan tangannya dari lengan Dimas. "Kita ngomong di mobil gue." Lalu gadis itu berjalan menuju ke arah parkiran mobil lebih dulu meninggalkan Dimas dan Savira. "Aku tunggu di mini market depan, ya? Sekalian mau beli minum," kata Savira.. Dimas mengangguk. Sebenarnya dia tidak mau tetapi apa daya, dia sudah terlanjur mengiyakan ajakan Rachel. Savira yang tau Dimas merasa tidak enak padanya akhirnya pun berusaha tersenyum. "Gih sana. Kamu mau aku sekalian beliin minum, nggak?" tanyanya membuat perasaan tidak enak Dimas sedikit berkurang. Dimas mengangguk, "Boleh. Nanti aku susul kamu ya, Vir," ucapnya yang dibalas Savira dengan anggukan. Dimas pun membiarkan Savira pergi duluan baru dia berjalan ke arah mobil nissan juke merah milik Rachel di parkiran. Dimas bisa melihat Rachel sudah duduk dibalik stir mobil menunggunya. Dan Dimas berharap dalam hati kalau ini terakhir kalinya dia berurusan dengan Rachel. Semoga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN