Dasar muka tembok, Jey Stefan sudah mengambil keputusan pasti untuk menikahi Nida secepatnya. Pria itu tidak peduli dengan penolakan lamaran Nida padanya. Malahan Jey kerap datang mengunjungi kediaman Nida. Beberapa hari setelah acara lamaran, Jey datang berkunjung ke rumah Nida.
“Tok, tok, tok.”
Nida sedang mencatat daftar belanja untuk keperluan kateringnya di ruang tamu. Mendengar suara ketukan pintu wanita itu meletakkan bolpoin serta menutup bukunya. Dia menatap ke arah jam dinding sudah lewat pukul sepuluh malam. Belum sampai dia berdiri dari kursinya ketukan pintu kembali terdengar.
“Siapa yang datang malam-malam begini?” Tanya wanita itu pada dirinya sendiri seraya beranjak dari kursinya melangkah menuju ke arah pintu. Wanita itu membukakan pintu dan dia sangat terkejut melihat Jey sudah berdiri di depan pintu. Pria itu menggenggam dua kantong tas besar, entah apa isinya di dalam sana.
“Bantu aku.” Ucap pria itu padanya seraya menyodorkan satu kantong plastik tersebut pada Nida.
“Kamu bawa pulang saja! Aku nggak mau terima kamu di rumah ini! Jangan harap aku akan membiarkan kamu masuk Jey! Nggak akan!” Seru Nida dengan tatapan tajam dan tegas. Wanita itu dengan jilbabnya berdiri tegak menghalangi pintu masuk.
Jey sampai terpana dibuatnya, pria itu tidak bisa berkata-kata menatap sosok Nida bagai bidadari yang turun ke bumi. “Cantik sekali..” Bisiknya dalam hati.
Satu detik berikutnya Nida sudah bersiap untuk menutup pintu rumahnya kembali.
“Ei, tunggu! Jangan tutup pintunya. Mbak Nida.. Mbak...!” Jey memukuli daun pintu menggunakan kedua telapak tangannya sampai timbul suara ribut.
“Kamu gila?!” Bentak Nida dengan wajah kesal padanya.
“Ijinkan aku masuk atau aku membuat keributan biar saja tetangga datang untuk mengarak kita keliling kampung sekarang? Dan besok kita akan menikah. Ayo, pilih mana?” Tawar Jey pada Nida.
Mau tidak mau Nida segera mengambil kantong tas dari beranda rumahnya membawanya masuk ke dalam. Jey tersenyum seraya mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah. Dia meletakkan tas satunya di atas meja dapur.
“Pak Produser bawa apa sih ini? Berat sekali!” Omel Nida pada Jey.
“Emas lima kilo.” Kelakar Jey pada Nida. Pria itu terkekeh geli melihat wajah Nida semakin kesal padanya. “Di mana Akila, dan Syifa?” tanyanya seraya menatap sekitar ruangan. Rumah tersebut terasa hening sekali malam ini.
“Sudah tidur sejak pukul sembilan tadi, Pak Produser pulang saja. Saya tidak terima tamu, apalagi malam-malam begini, saya tidak hanya cemas. Saya juga sangat takut dituduh sebagai wanita yang rendahan di mata masyarakat sekitar.” Ucapnya seraya menekuk wajah ayunya, Nida meremas ujung hijab yang ia kenakan tanpa berani menatap wajah Jey yang kini masih berdiri tak jauh darinya di ruang makan.
“Aku sudah melamar Mbak Nida.”
“Pak Produser, saya mohon untuk mengerti. Saya sama sekali tidak tertarik dengan Anda. Jadi jangan datang lagi ke sini. Mana mungkin saya memilih calon suami dengan penampilan seperti Anda! Saya hanya cinta sama Mas Rafa!”
“Maaf, seperti apapun penolakan Mbak Nida, aku tidak peduli. Mbak Nida akan menikah denganku. Secepatnya! Aku juga sudah mendaftarkan pernikahan kita ke kantor kelurahan. Semuanya sudah aku urus.” Tuturnya pada Nida. Jey menarik kursi meja makan lalu duduk di sana.
“Kamu memaksaku!” Jerit Nida padanya. “Aku sudah bilang tidak akan menikah sama kamu!”
“Rafa sudah menceraikanmu Mbak, kalian sudah bukan suami istri lagi. Aku tidak bisa mundur melihatmu hancur begini! Dia bahkan sudah menikah lagi. Apa dia pernah ke sini? Bagaimana tanggung jawabnya kepada kedua putrinya? Apa dia masih ingat untuk memberikan nafkah pada darah dagingnya!” Seru Jey dengan wajah serius. Jey sangat marah lantaran mengetahui Rafa menikah lagi dan tidak sekalipun mengunjungi putrinya. Jey pikir awalnya Rafa masih memiliki hari nurani untuk memberikan nafkah pada kedua putrinya. Banyak sekali alasan kenapa Jey memutuskan untuk secepatnya menikahi Nida Syafara.
“Itu bukan urusanmu!” Sahut Nida seraya melengos ke samping membuang muka sekaligus menyembunyikan air matanya. “Aku nggak butuh siapapun untuk memberikan nafkah padaku! Aku juga nggak butuh kamu!” Lanjut Nida.
“Okay, aku akan mengumpulkan penduduk kampung malam ini juga!” Jey bersiap berdiri dari kursinya.
Nida panik sekali, wanita itu langsung menahan pergelangan tangan Jey. “Jangan! Aku nggak mau! Jangan!” Serunya dengan wajah sedih. “Kamu datang saja, aku sudah mendapatkan cibiran. Aku tidak akan bisa tahan mendengar cacian dan hinaan mereka.”
“Setuju denganku, kita menikah. Aku janji nggak akan menyentuhmu tanpa kerelaan darimu. Aku tidak masalah kita tidur di kamar terpisah. Terima pinangan dariku, Nida.”
Nida melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tangan Jey. Wanita itu menatap wajah pria tersebut lekat-lekat. Dia melihat kesungguhan dari pancaran kedua bola matanya. “Apakah aku bisa mempercayaimu?” Tanya Nida dengan bibir bergetar.
“Hem!” Jey mengangguk dengan penuh keyakinan.
Nida akhirnya bersedia menerima cincin dari Jey, malam itu pria tersebut memakaikannya sebagai bukti kalau lamarannya sudah diterima oleh Nida.
“Duduklah di ruang tamu, aku akan membuatkan minuman untukmu. Kamu biasanya minum apa?” Tanya Nida dengan nada pelan, dia ingat kalau Jey pernah datang dalam kondisi mabuk berat. Dia kembali ragu untuk menjadi istri dari pria tersebut. “Aku tidak punya alkohol dan aku tidak suka pria pemabuk.”
“Aku janji tidak akan mabuk lagi saat datang ke sini. Teh hangat saja, jangan terlalu manis.” Sahut pria itu seraya melangkah menuju ke ruang tamu. Jey duduk di sana menunggu Nida membuatkan minuman hangat untuknya.
Tak lama kemudian Nida melangkah mendekat, wanita itu membawakan segelas teh untuknya. Nida duduk di ujung sofa.
“Aku tidak suka kamu mengatur hidupku begitu juga sebaliknya. Aku harus mengatakannya dengan jelas padamu sebelum menikah. Aku tetap akan mengelola katering, aku tidak peduli sekalipun kamu seorang menteri atau pemilik seribu perusahaan! Dan aku tidak akan ikut campur dengan urusan pribadimu. Jangan pernah membawa wanita lain pulang ke rumah lakukan semuanya di luar, aku tidak ingin anakku melihat hal-hal buruk!”
Jey hanya mengukir senyum pada bibirnya, pria itu mengambil rokok dari kotak dalam saku bajunya lalu bertanya pada Nida. “Bagaimana dengan ini?”
“Tidak apa-apa, tapi jangan terlalu sering merokok! Aku tidak suka dengan asap yang berlebihan.” Ucapnya seraya menghindar dari tatapan mata Jey.
Mendengar itu Jey langsung menyulutnya seraya menyandarkan punggungnya. Sebenarnya dia sangat lelah sekali hari ini, tapi tetap dia sempatkan untuk datang berkunjung ke rumah Nida. Jey tidak berkata apa-apa selain menghisap rokoknya. Sekitar tiga puluh menit pria itu menghabiskan satu batang rokok di sana lalu segera berpamitan pada Nida untuk pulang ke rumah.
“Aku harus bekerja besok, kamu juga harus istirahat. Aku pulang dulu.” Pamitnya pada Nida. Jey sudah berlalu bersama mobilnya keluar dari halaman rumah Nida.
“Dia bahkan tidak pernah mengucapkan salam! Aku sangat tidak menyukai pria itu! Aku bahkan lebih tua darinya tapi dia tetap berkeras menikahiku!” Nida menatap cincin dari Jey pada jemari tangannya