Selalu ada waktu pertama untuk melakukan segala sesuatu. Seperti yang baru kali ini Agatha lakukan: masuk ke dalam kamar pribadi James. Dan Agatha tidak berharap jika ia akan melakukannya lagi untuk yang ke-dua kali.
James dan Agatha memang masih terpisah kamar, hanya saja James beberapa kali datang ke kamarnya untuk bermalam bersamanya. Kamar James sangat berbeda dengan kamar yang Agatha tempati. Aura maskulin sangat terasa di setiap sudutnya. Aroma wangi yang tercium pun khas pria yang dewasa dan berkelas. Tidak banyak barang aneh di sini, hanya barang-barang yang menjadi keperluan James saja seperti ranjang dan kasur, lemari, sofa, serta barang-barang berguna lainnya.
Secara keseluruhan, tidak ada yang istimewa di dalamnya selain harga dari furniture yang Agatha tahu sangat mahal. Bahkan, jika ada seorang pencuri yang masuk ke rumah James, maka ia tidak perlu bingung untuk mengambil sesuatu. Karena mengambil sapu lidi yang ada di halaman rumah James saja sudah dapat membuat pencuri tersebut kaya raya.
Agatha tidak berbohong, siang tadi Vin memberitahu padanya jika sapu lidi yang James miliki memiliki ukiran emas dan butiran batu berlian di bagian karetnya yang juga didapat dari getah karet terbaik asal Indonesia. Sungguh Agatha tidak menyangka jika James benar-benar kaya raya.
“Jadi apa yang ingin kau katakan?” ketus James yang kini duduk bertopang kaki di atas sofa. Sedangkan Agatha sendiri malah duduk di bibir ranjang. Sebenarnya hal tersebut dilakukan agar ia tidak perlu berdekatan dengan James yang malam ini menunjukkan wajah masam. Padahal seingat Agatha, ia tidak melakukan kesalahan hari ini.
“Aku ingin kau memberikan pekerjaan pada temanku,” balas Agatha pada intinya. Ia tidak ingin perjuangan masuk ke dalam kamar pria sombong itu akan berakhir dengan sia-sia. Jangan berpikir jika Agatha bisa masuk ke dalam kamar seorang James Hunt dengan mudah, pria itu menggunakan teknologi canggih pada pintunya hingga hanya bisa terbuka dengan sidik jari pria itu sendiri.
Beruntung Agatha tidak kehabisan akal ketika James tak kunjung membuka pintunya setelah Agatha menggedor-gedor kayu jati tersebut. Dengan ide kreatif yang ia miliki, Agatha terus menghubungi nomor ponsel James hingga akhirnya pria itu terganggu dan akhirnya mau membuka pintu.
James menoleh pada Agatha dengan kening yang berkerut. Seingatnya sahabat-sahabat Agatha bukan orang-orang yang mengalami kesulitan finansial hingga harus mengemis pekerjaan padanya. “Temanmu yang mana? Apakah salah satu di antara mereka jatuh miskin?”
Dengan cepat Agatha menggelengkan kepalanya. Ia tahu teman mana yang dimaksud oleh James. Suaminya tersebut menyangka jika tema yang Agatha maksud adalah salah satu di antara Elva, Fahima, dan atau Callista. “Bukan mereka, tapi temanku yang kau temui tadi. Kau melihatnya bukan saat kau baru saja pulang tadi?”
“Pria gelandangan tadi?”
“Jangan menyebutnya gelandangan, dia adalah temanku namanya Obie. Dan kau juga melihat kucing bukan? Namanya Opie dan sekarang ada di kamarku.”
“Mereka ada di kamarmu?” Tanpa sadar James sedikit menunjukkan mimik wajah kaget.
“Tentu saja tidak. Yang ada di kamarku hanya Opie saja.” Agatha dengan cepat menjelaskannya. Mana mungkin dia berani membawa Obie untuk masuk ke dalam kamarnya tanpa izin James. Karena ini adalah rumah James jadi Agatha tidak akan bebas untuk membawa orang lain ke dalamnya.
Mimik wajah James normal kembali. Ia memilih menyibukkan dirinya dengan ponsel untuk memerhatikan wajah seorang wanita yang dikirimkan oleh Hans. Wanita tersebut adalah Catherine Chadwick, sosok cinta masa kecilnya yang telah menghilang sejak lama.
Catherine adalah cinta pertama James ketika dirinya masih berusia sekitar dua belas tahun. Pada saat itu James tahu jika dirinya masih terlalu muda untuk merasakan sebuah perasaan yang mampu membuat orang dewasa mabuk kepayang, apalagi sosok yang membuatnya jatuh cinta adalah anak kecil berusia empat tahun.
Meski Catherine masih sangat kecil, tetapi parasnya sudah memancarkan kecantikan sejak lahir. Dan gadis kecil itu pula yang selalu menemani hari-harinya hingga James dapat lolos dari kubangan kesepian yang selama ini menyelimutinya. Dan semua kenangan indah yang tercipta antara dirinya dan Catherine terhenti begitu saja ketika gadis tersebut menjadi korban penculikan yang didasari alasan bisnis.
Sepasang suami istri tak berhati yang telah melakukannya. Dan sosok tersebut merupakan dua orang manusia yang telah James bunuh dengan tangannya sendiri. Fred dan Elena. Dua orang tersebutlah yang membuat James harus terpisah dengan Catherine yang telah mengambil tempat sebagai bagian terpenting dalam hidupnya.
James menyimpan dendam yang sangat besar akan kejadian tersebut, dan itulah alasan sesungguhnya di balik penembakan yang ia lakukan kepada sepasang lansia yang kini ia tahu sebagai orang tua dari istrinya.
Memang biadab Fred dan Elena, setelah satu bulan berselang, mereka dengan bangga mengatakan jika mereka telah membuang Catherine di tempat yang sangat jauh. James yang masih sangat belia pada saat itu hanya bisa mengepalkan tangannya ketika melihat ibu dari Catherine menangis tersedu di pelukan suaminya. Dulu, dalam hati ia mengikrarkan janji bahwa dirinya akan menemukan Catherine kembali di kemudian hari.
“James?”
Teguran yang disampaikan Agatha membuat James tersadar, bahkan Agatha kini sudah berada di sampingnya dengan mata yang mengarah pada ponselnya yang masih menampilkan sosok cinta masa kecilnya. “Apa itu adalah Emily Rose?” tanya Agatha menunjuk wajah asing yang ditampilkan layar.
James langsung mematikan ponselnya dan menyimpannya ke meja. “Tidak, untuk apa aku masih memandangi wanita seperti Emily?”
Agatha mengatupkan bibirnya sejenak sebelum kemudian mengangkat bahunya. Apa pedulinya mengenai wanita tersebut? Yang penting untuk Agatha bahas adalah mengenai pekerjaan untuk Obie. Ia menaruh harapan besar agar James mau memberikan pekerjaan pada Obie.
“Jadi bagaimana apa dia bisa mendapatkan pekerjaan?”
Tidak langsung menjawab, James tersenyum sinis terlebih dahulu. “Kau tahu Agatha, bahkan seseorang yang bertugas untuk mengelap sepatuku saja merupakan orang terlatih dan berpengalaman. Sedangkan temanmu yang tadi? Hanya dengan melihat pakaian yang dikenakannya saja aku merasa tidak bisa makan dalam waktu satu minggu.”
Agatha menatap geram ke arah suaminya dengan tangan yang terkepal. Ingin rasanya ia menggunakan tangannya untuk memberikan sebuah bekas kemarahan di pipi James. Namun, Agatha menarik napasnya dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Tidak mungkin jika ia akan menang melawan James, bukannya James yang babak belur karena tonjokannya, yang ada malah Agatha yang akan tidak berdaya.
“Jangan mengatakan hal seperti itu, Obie adalah temanku dan dia baik hati tidak sepertimu!” Agatha mengalihkan pandangannya, kedua tangannya ia lipat di d**a karena jika melihat ke arah suaminya maka itu sama saja menyulutkan api di hatinya.
“Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat. Jadi, kau sudah mendapatkan jawaban dari apa yang ingin kau sampaikan bukan?”
Agatha langsung menolehkan kepalanya pada sosok James dengan mimik wajah yang dibuat melas. Tak lupa ia mengatupkan kedua tagannya untuk mendukung ekspresinya. “James, kumohon agar kau memberikan Obie pekerjaan bahkan sebagai tukang kebun sekalipun. Aku ingin mempunyai teman di rumah ini, tolong berikan aku kemudahan selama menjadi istrimu, aku berjanji akan memerankan peranku dengan baik sesuai dengan apa yang kau inginkan agar Emily cemburu.”
“Apa kau sedang berusaha bernegosiasi denganku? Kau memang harus menjalankan tugasmu sebagai seorang istri karena aku menikahimu secara nyata,” ketus James seraya menatap kesal ke arah Agatha. Baginya, kini Agatha sudah mulai berani untuk meminta sesuatu dan memberontak padanya.
Dan jelas saja James tidak menyukai hal seperti itu. Ia ingin agar Agatha selalu berada di bawah kakinya. Seharusnya Agatha merasa beruntung dan menikmati apa saja yang ada dan telah James berikan. Agatha harus sadar jika dirinya bukanlah wanita yang James inginkan, jadi Agatha sama sekali tidak mempunyai hak untuk meminta apa pun pada James.
Kini Agatha memberikan tatapan yang berbeda pada suaminya. Ada semacan amarah yang tertahan dalam hatinya hingga membuat Agatha tidak dapat mengontrolnya. “Apa kau sadar apa yang baru saja kau katakan? Jika aku harus menjalankan tugasku sebagai seorang istri, maka kau pun harus menjalankan tugasmu sebagai seorang suami!”
“Aku sudah menjalankan tugasku sebagai seorang suami. Aku memberikanmu uang, barang-barang mewah, tempat tidur, bahkan aku juga sudah menidurimu!”
“DIAM KAU JAMES!!!” dengan pipinya yang memerah menahan malu, Agatha menutup mulut James dengan cara yang kasar. Tak peduli jika perbuatannya tersebut membuat James merasakan sakit atau semacamnya, karena jauh di dalam lubuk hati Agatha ia ingin sekali mengubur James ke dalam inti bumi sekarang juga.
Dan sudah barang tentu James tidak tinggal diam, pria itu memutar tangan Agatha hingga mengeluarkan bunyi yang mana hal tersebut sukses membuat Agatha memekik kesakitan. “Aaaaa! Sialan kau James!!”