Fred dan Elena

1073 Kata
Makanan sederhana malam ini terasa sangat nikmat. Agatha, Fred, dan Elena duduk melingkar di dekat kasur lipat. Ketiganya makan dengan lahap sambil bercakap-cakap. “Kau tahu, dulu aku pernah mempunyai banyak makanan yang dimasak oleh seorang chef terkenal dari Belanda. Tapi aku tidak merasakan kenikmatan saat memakannya. Apa kalian tahu apa penyebabnya?” Fred menerawang pada kisah lalunya. Saat ia masih berusia muda dan kaya raya. “Karena masakannya tidak enak meski yang memasaknya adalah chef terkenal?” tebak Agatha. Fred menggeleng, mulutnya masih mengunyah makanan. Hari ini ia pulang terlambat, perkebunan jagung yang menjadi tempatnya mencari nafkah diserang hama. Jadi hari ini ia bersama rekan-rekan seprofesinya cukup kepayahan untuk mengusir hama tersebut. Jadilah ia pulang lebih larut yang mana seharusnya ia sudah berada di rumah sejak sore hari. “Karena tidak sesuai seleramu?” Kini giliran Elena yang menebak. “Tebakanmu juga salah, Sayang.” Agatha kembali mencoba untuk menjawab, “Karena makanannya terlalu banyak?” “Tidak juga, tapi karena aku sendirian. Makanannya memang sangat lezat, tapi aku tidak merasakan nikmat karena aku menikmatinya sendirian. Saat itu aku baru hidup terpisah dari orang tuaku.” Jelas Fred, mengingat hari-hari pertamanya setelah memutuskan untuk hidup terpisah dari orang tuanya karena sudah berusia delapan belas tahun. “Kenapa kau tidak mengajak salah satu wanitamu?” tanya Elena. “Saat itu usiaku baru delapan belas, aku masih menjadi pria baik dan tak mengenal banyak perempuan selain Netty, cinta pertamaku yang menolakku.” Agatha tersenyum geli melihat ekspresi wajah Fred yang dibuat sedih. “Aku tidak menyangka ada wanita yang kuasa menolakmu pada saat itu, Dad. Tapi kenapa kau sendiri? Di mana orang tuamu?” “Dulu, anak yang sudah berusia delapan belas tahun akan dianggap memalukan jika masih hidup menumpang pada orang tua. Jadi tidak heran para orang tua akan mendorong anaknya untuk keluar rumah jika sudah mencapai usia tersebut. Bahkan mungkin kebiasaan itu masih ada sampai sekarang di beberapa orang. Hanya saja di zaman ini banyak orang tua yang tak tega untuk melakukannya,” jelas Fred. “Bahkan sekarang usiaku sudah dua puluh tahun dan aku masih menjadi beban kalian,” lirih Agatha. Elena tersenyum lembut, ia telah menyelesaikan makannya. “Kau tidak perlu merasa sedih, lagi pula aku dan Fred merasa tidak mampu untuk berjauhan denganmu, Agatha.” Agatha tersenyum, ia merasa bahagia akan penuturan Elena. Meski ia bukan anak kandung dari keduanya, tapi mereka benar-benar menyayangi Agatha dengan setulus hati. Agatha yakin jika Fred dan Elena adalah orang tua angkat terbaik di dunia. “Aku merasa beruntung karena memiliki kalian sebagai orang tuaku.” “Dan kami lebih beruntung karena memilikimu sebagai anak kami.” Agatha tersenyum dan terdiam, meresapi rasa bahagia dalam hatinya. Namun ia juga merasa sedih karena sampai detik ini ia masih menjadi beban bagi keduanya. Agatha ingin cepat sukses agar ia dapat membahagiakan keduanya. Ia berdoa kepada Tuhan agar tidak merenggut Fred dan Elena dari hidupnya sebelum Agatha mampu memberikan mereka kebahagiaan. Ia ingin membalas budi pada kebaikan keduanya yang dengan sepenuh hati telah merawatnya sejak kecil. Agatha tidak ingat sejak kapan Fred dan Elena menemukan kemudian merawatnya. Namun menurut penuturan Elena, keduanya menemukan Agatha di jalan raya saat Agatha berusia dua tahun. Pantas saja, Agatha masih terlalu kecil untuk mengingat kejadian itu. Tidak terbesit sedikit pun keinginan di hati Agatha untuk mencari tahu perihal orang tua kandungnya. Karena bagi Agatha, Fred dan Elena adalah orang tuanya. *** Setiap malam Agatha selalu terbangun pukul dua dini hari, dan itu sudah menjadi kebiasaannya sejak lima tahun lalu. Setiap kali terbangun itu pula Agatha selalu memandangi Fred dan Elena yang tertidur lelap. Karena gubuk yang mereka tempati hanya memiliki dua ruangan yaitu ruangan serba guna dan kamar mandi, alhasil Agatha selalu tidur bersama dengan Fred dan Elena, karena memang tidak ada ruangan lagi. Ruangan serbaguna difungsikan sebagai ruang utama, kamar dan juga dapur. Tungku api dan peralatan dapur ditempatkan di sudut ruangan sebelah kanan. Sedangkan sudut kiri ruangan digunakan untuk menyimpan kasur lipat, tempat mereka tertidur di malam hari. Sedangkan bagian depan ruangan digunakan sebagai ruang utama tempat mereka berkumpul dan menerima tamu. Meskipun sangat jarang sekali ada orang yang mau bertamu ke gubuk tua seperti ini. Jika Agatha tidak salah, hanya ada dua orang atau tiga orang luar yang mau berkunjung ke dalam gubuknya sejak lima tahun terakhir. Yaitu Jonathan, Callista, dan Fahima. Bahkan Agatha tidak mengingat bahwa ia pernah menerima tamu selain mereka. Deru napas teratur antara Fred dan Elena membuat Agatha terenyuh. Ia menatap sedih tubuh tua kedua orang tuanya. Agatha ingin sekali mempunyai rumah yang layak untuk ditinggali, kamar yang bersih dan nyaman, serta kasur yang empuk untuk ditiduri. Agatha merasa sedih dan tak tega melihat tubuh renta keduanya harus berbaring di atas kasur lipat yang sudah lama dan tipis. Tidur di atasnya tak ubah layaknya tidur di atas lantai, keras. Fred dan Elena pasti merasa tidak nyaman dan mungkin saja tubuh mereka kesakitan, mengingat usia yang sudah melebihi lima puluh tahun tubuh keduanya pasti lebih rentan. Agatha beranjak, ia duduk di antara tubuh Fred dan Elena yang terbaring. Ditatapnya satu persatu wajah dua orang manusia yang berjasa dalam hidupnya. Kerutan-kerutan yang tercipta jelas di wajah keduanya membuat Agatha kembali bersedih. Ia merasa belum bisa membalas Budi pada kedua orang tuanya. Sampai sekarang ia merasa masih menjadi beban bagi keduanya. “Mom, Dad, sejak kalian tidak memiliki kerutan di wajah hingga akhirnya kerutan-kerutan itu muncul, kalian telah merawatku dengan sepenuh hati.” Genangan air mata tanpa diminta hadir di kedua mata Agatha. Ia meraih satu tangan Fred dan satu tangan Elena untuk diciumnya secara bersamaan. “Tapi sejak kalian tidak memiliki kerutan bahkan sampai sekarang wajah kalian dipenuhi kerutan aku tetap tidak bisa memberikan apa pun pada kalian. Aku anak yang payah bukan?” Air mata kesedihan pada akhirnya jatuh juga, tepat mengenai tangan Fred dan Elena yang masih berada dalam kungkungan Agatha. “Tapi kalian harus tahu Mom, Dad, bahwa jauh dalam lubuk hatiku aku ingin membahagiakan kalian. Aku ingin memberikan kehidupan yang layak untuk kalian. Aku—aku tidak ingin melihat kalian bersusah payah mencari uang di sisa usia kalian. Kalian sudah terlalu tua untuk bekerja keras, seharusnya sekarang aku yang mengurusi kalian.” Agatha tak dapat menahan isakan tangisnya. Masih dengan tangan Fred dan Elena yang berada di genggamannya. Agatha kembali mencium tangan keduanya dengan lelehan air mata di pipi. “Kalian tahu apa doaku pada Tuhan? Aku memohon pada-Nya untuk tidak mengambil kalian dari hidupku sebelum aku mampu membahagiakan kalian.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN