Setelah membereskan kembali makanan ringan yang tak jadi dimakannya ke tempat semula, Agatha langsung bergegas menuju kamarnya dengan cepat. Dia tidak ingin membuat James marah karena jika pria itu sedang marah maka akan sangat menakutkan.
Mungkin jika James adalah pria berhati baik Agatha tidak akan setakut ini. Namun, Agatha mengingatkan dirinya jika James adalah pria berhati iblis. Jadi pria tersebut bisa melakukan apa saja ketika sedang marah karena bisikan iblis yang sepertinya ada di kanan kirinya.
Ah, tidak! Bisa-bisanya Agatha berpikiran seburuk itu terhadap suaminya sendiri. Seharusnya ia belajar untuk berpikir posistif pada James, tetapi rasanya ... sulit sekali.
“Ke mana saja kau?” Sambutan yang Agatha dapatkan ketika tubuhnya baru saja masuk ke kamarnya. Terlihat James yang duduk di bibir ranjang dengan wajahnya yang sangat pucat, tubuhnya pun sedikit membungkuk.
Agatha memutar bola matanya malas. “Sudah kukatakan kalau aku pergi ke ruang televisi. Karena aku merasa lapar jadi aku memutuskan untuk memakan makanan ringan sambil menonton di sana!”
Agatha lantas menghampiri suaminya dan langsung memeriksa suhu tubuh James yang ternyata memang kembali demam. Pria itu menolak untuk memakai plester demam saat tidur tadi, sepertinya itulah penyebab kini suhu tubuhnya naik kembali.
“Kau demam lagi! Sudah kukatakan sebelum tidur kau harus memakai plester demam bukan! Aku ini seorang wanita, walau aku bukan dokter, aku bisa menggunakan instingku untuk merawat orang sakit!” omel Agatha. Tubuhnya bergerak dengan cepat membuka kotak obat kemarin dan mengambil sebuah plester demam. Masih dengan bibirnya yang menukik, Agatha memasangkan plester tersebut di kening James tanpa mendapatkan perlawanan sedikit pun dari pria sombong itu.
“Kau tahu, jika aku memakai benda ini di keningku, aku jadi merasa sangat konyol. Kau bisa memberiku parasetamol agar demamku segera mereda. Bukannya menempelkan benda dingin ini” ketus James seraya menidurkan tubuhnya.
“Plester demam itu memang dingin, tapi tidak sedingin hatimu!”
“Lalu, jika hatiku dingin kau berniat jadi penghangatnya?”
Agatha secara spontan langsung menggelengkan kepalanya keras-keras. “Tentu saja tidak! Kau berpikir aku ini masih waras atau tidak?”
“Tentu saja kau masih waras, jika kau tidak waras maka mungkin aku sudah membuangmu!” balas James.
“Bagus jika tahu aku masih waras, jadi jangan sekali-kali kau berpikir jika aku mau menjadi penghangat hatimu! Karena itu hanya akan terjadi ketika aku sudah tidak waras lagi. Bagaimana mungkin aku menjadi penghangat hati sorang pria yang membunuh orang tuaku?” Agatha berseru dengan kesal.
Lagi-lagi mengingat kedua orang tua angkatnya membuat Agatha merasa marah pada James dan enggan untuk menatap pria tersebut. Sepertinya ini karena tadi ia sempat membahas mengenai Fred dan Elena bersama dengan Hans. Ditilik dari segi mana pun, Agatha merasa malang karena ia menikah dengan pria yang telah membunuh dua orang yang sangat berjasa dalam hidupnya.
“Kau selalu saja membahas hal tersebut! Sepertinya kau masih tidak menerima kematian kedua orang tuamu?” sinis James dengan senyum miringnya.
Kalimatnya membuat Agatha menatapnya dengan tajam dan penuh aura kebencian. “Apa kau pikir ada anak yang akan memaafkan pembunuh orang tuanya di dunia ini, James? Jika pun ada, maka aku bukan bagian dari mereka. Apa aku boleh berkata dengan jujur? Menikah denganmu adalah sebuah musibah yang pernah aku alami! Setiap melihatmu aku selalu mengingat bagaimana caramu membunuh orang tuaku di depan mataku!”
James semakin tersenyum miring, membuat Agatha geram melihat suaminya tersebut. Bisa-bisanya James masih menunjukkan sisi jahatnya di saat ia sedang sakit seperti ini.
“Baguslah jika kau menderita, Agatha. Balas dendamku pada Fred dan Elena memang belum usai. Karena sekarang Fred dan Elena sudah mati, mungkin kau adalah objek yang tepat untuk balas dendamku!”
Kedua tangan Agatha langsung mengepal kuat karena mendengar hal tersebut. Ia menarik napasnya dalam, sepertinya tidak akan ada gunanya jika ia terus melawan James. Karena jika hal tersebut dilakukan maka hanya akan membuat pertengkaran mereka bertambah panas yang mungkin saja membuat James tak tahan untuk menyakiti Agatha.
Dalam mulutnya yang bungkam, Agatha membaringkan tubuhnya di samping James dengan posisi yang paling jauh. Ia langsung menyelimuti tubuhnya dan membelakangi suaminya. Walau tidak ada rasa kantuk yang menderanya, Agatha akan memaksakan matanya untuk terpejam erat agar dia bisa mengabaikan keberadaan James di belakang tubuhnya.
Namun, tiba-tiba Agatha dikagetkan dengan suara seseorang yang mual. Ketika kasurnya berguncang, Agatha tahu jika suaminya bangkit dan lari menuju kamar mandi. Sepertinya pria itu akan memuntahkan isi perutnya , seperti apa yang telah pria itu sampaikan di telepon tadi. Agatha hanya melihatnya sekilas dan mencoba untuk tak peduli.
Biarkan saja James merasakan penderitaannya sendiri. Pria itu pantas lebih menderita daripada sekarang. Agatha buru-buru kembali memejamkan matanya erat kala James keluar dari kamar mandi.
“Agatha!” panggilnya. Dan Agatha sama sekali tidak berniat untuk menjawab ataupun merespons panggilan tersebut dengan cara apa pun. Matanya tetap terpejam dengan erat. Tubuhnya pun enggan berbalik untuk menghadap suaminya.
“Apa kau tuli? Aku sedang sakit dan bahkan muntah-muntah tapi kau sama sekali tidak peduli padaku?” tutur James dengan kesal. Ia mengusap wajahnya yang basah karena harus mencuci mulutnya berulang kali. Rasa pusing yang menderanya kian kentara. Dan yang paling parah adalah rasa mual yang hingga kini masih terasa.
Tanpa membalikkan tubuhnya, Agatha menjawab, “Bukankah kau berkata jika aku hanya objek balas dendam saja? Kenapa aku harus peduli jika kau sedang sakit?”
“Kau istriku! Puas? Sekarang cepat rawat aku, aku ingin agar tubuhku dibaluri minyak angin agar tubuhku menghangat dan aroma terapinya mungkin saja mengurangi rasa mualku! Sekarang cepat—hoekk--” James tidak dapat melanjutkan kalimatnya karena rasa mualnya yang tak tertahan. Ia pun langsung berlari kembali ke kamar mandi untuk mengeluarkan apa yang merangkak naik ingin dikeluarkan dari kerongkongannya.
Karena hal tersebut, akhirnya Agatha pun bangkit. Sisi kemanusiaannya memang kental hingga ia merasa tidak tega pada suaminya tersebut. Agatha pun akhirnya menyusul kepergian suaminya. Ia melihat James yang sedang menunduk di depan wastafel dengan mulut yang terbuka, tetapi tidak mengeluarkan apa-apa.
“Apa kau sudah selesai?”
James menggeleng. “Aku masih sangat mual tetapi sepertinya isi perutku sudah habis dikeluarkan tadi hingga aku tidak bisa mengeluarkan apa pun lagi.”
Agatha memijat tengkuk James dengan pelan. “Kita kembali ke kamar, aku akan membaluri tubuhmu dengan minyak angin seperti yang kau inginkan.”
Kemudian Agatha langsung menuntun James untuk kembali ke tempat tidur dengan hati-hati. “Jika kau masih merasa berkemungkinan untuk membutuhkanku, bersikap baiklah padaku. Apa kau sekarang tidak malu meminta bantuanku?” sindirnya.
***
Jam tujuh pagi, Agatha sudah bangun sejak tadi tetapi ia sama sekali belum mandi. Hari ini, Agatha berniat untuk tidak masuk kuliah lagi karena James yang sedang sakit. Pria tersebut tidak bisa tidur dengan nyenyak dan terus saja bulak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Karena hal tersebut, Agatha jadi tidak tega untuk meninggalkan suaminya tersebut.
Kini Agatha tengah menuruni tangga, meninggalkan suaminya sejenak yang baru bisa tertidur satu jam yang lalu. Sebenarnya, Agatha sendiri merasa mengantuk karena kurang tidur. James yang terus mual dan muntah turut mengganggu dirinya karena tak mungkin jika ia bisa tidur dengan nyenyak sedangkan ada James yang sedang sakit di sampingnya.
“Selamat pagi, Nyonya Agatha,” sapa Adel yang sudah menunggu Agatha di ujung tangga paling bawah. Wanita itu sepertinya baru selesai mandi karena meskipun ia telah rapi dalam balutan baju seragam khas pelayannya, tetapi wajahnya belum dipolesi riasan dan juga rambutnya yang masih basah. Adel berdiri sendiri tanpa ditemani oleh dua rekan kerjanya.
Agatha membalas senyum yang disunggingkan oleh salah satu pelayannya tersebut. “Adel, apa kau melihat Hans?” tanyanya seraya melihat ke kanan dan ke kiri, berharap dengan begitu Agatha bisa menemukan keberadaan tangan kanan suaminya.
“Hans? Ah, ya, dia pengawal yang paling rajin, Nyonya. Aku sudah melihatnya pergi ke luar sejak tadi. Sepertinya dia sedang menyiapkan mobil untuk Tuan James dan juga untuk dirinya.” Adel mengikuti langkah kaki Agatha yang kini sudah selesai menuruni tangga. Majikannya tersebut membawa langkah kaki mereka hingga ke luar rumah dan berhenti di sana.
“Apa kau sedang mencari keberadaan Hans, Nyonya?” tanya Adel yang melihat Agatha celingukan di depan rumah. Dan dugaannya pun benar, terbukti dengan Agatha yang menganggukkan kepalanya. Adel pun berinisiatif untuk mencari keberadaan Hans di garasi, tetapi belum tiga langkah ia melangkahkan kakinya, sosok yang akan dicarinya sudah muncul dengan tangan yang penuh dengan oli.
“Hans! Aku sejak tadi mencarimu!” ungkap Agatha langsung mendekati pria berkulit coklat tersebut. Pria tersebut tampak terlihat lebih maskulin dengan oli yang ada di tangannya. Apalagi Hans yang belum menggunakan jas hingga otot-otot yang bertengger dengan gagah di lengannya terlihat jelas. Namun, tetap saja pemandangan tersebut tak seindah milik James. Otot mereka memang tidak begitu berbeda besarnya, namun entah mengapa Agatha lebih menyukai melihat James daripada melihat Hans.
Agatha langsung menepuk wajahnya ketika sadar jika tidak seharusnya ia membandingkan keduanya walau hanya sebatas dalam hati dan pikirannya saja. Dan lagi, mengapa pula ia jadi memuji James? Agatha sangat benci untuk mengagumi suaminya tersebut tetapi berulang kali ia melakukannya.
“Apa ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?” tanya Hans, alisnya terangkat satu dengan wajahnya yang menunduk untuk dapat melihat wajah Agatha.
“Mengapa tanganmu penuh dengan oli?”
“Karena aku telah menyentuh oli.”
Agatha memutar bola matanya kesal saat mendengar jawaban Hans. Tentu saja ia tahu jika tangan Hans ternoda oleh oli karena pria itu yang menyentuh cairan hitam tersebut. “Maksudku adalah, untuk apa kau menyentuh oli pagi-pagi buta begini?”
“Bukan masalah, aku sebenarnya berbakat menjadi seorang montir mobil selain daripada menjadi tangan kanan Tuan James. Jadi, apa yang membuatmu mencariku?” tanya Hans, mencegah Agatha memperpanjang pembahasan mengenai oli yang sama sekali tidak penting.
Dari Agatha, Hans sadar jika wanita sangat sulit untuk mengungkapkan segala sesuatu langsung pada intinya. Hans menatap Agatha lebih dekat dengan memajukan tubuhnya sebanyak satu langkah, dan wanita yang telah sah menjadi istri dari tuannya tersebut sama sekali tidak mempermasalahkannya. Agatha justru menatap balas Hans dengan keningnya yang berkerut. Terkadang, Hans merasa bersalah dan juga tidak tega pada Agatha.
Sepertinya Agatha terlalu baik dan juga polos jika disandingkan dengan James Hunt. Namun, Hans juga beruntung karena ia melihat jika tuannya tidak memperlakukan Agatha dengan begitu buruk selama ini. Dan Hans berharap agar James selalu begitu dan bahkan menjadi lebih baik lagi terhadap Agatha ke depannya.
“Apa kau baru saja mempersiapkan mobil untuk James? Sebaiknya kau tidak perlu melakukan hal tersebut karena hari ini James tidak akan masuk kerja. Dia masih sakit dan terus saja mual muntah sejak semalam. Apa kau tahu? Bahkan dia menggangguku yang sedang menonton televisi sampai aku tidak bisa memakan makanan ringan yang semalam sudah kau bawakan untukku.”
“Baiklah.”
Kalimat yang Agatha sampaikan kelewat panjang dan cepat, tetapi hanya mendapatkan respons satu kata saja. Hal tersebut membuat Agatha mendelik dan tak sempat protes karena Hans yang langsung melenggang pergi meninggalkannya. “Ia sangat menyebalkan!”
“Sepertinya semua pria di dunia ini memang tercipta dalam keadaan menyebalkan, Nyonya,” imbuh Adel yang berdiri di belakang tubuh Agatha. Matanya menerawang jauh ke langit.
“Kau benar, Adel! Semua pria itu menyebalkan. Tidak Jonathan, tidak James, dan sekarang tidak juga Hans! Mereka semua menyebalkan!” gerutu Agatha dengan tangan yang terlipat didadanya. Entah semua pria itu menyebalkan atau Agatha saja yang kurang beruntung karena bertemu dengan pria-pria yang menyebalkan dalam hidupnya.
“Jadi, apa aku juga menyebalkan?” Muncul sosok Vin yang datang dari arah yang sama dengan arah munculnya Hans tadi, sepertinya mereka sama-sama berada di garasi tadinya karena Agatha juga bisa melihat noda hitam oli di tangan Vin walau jumlahnya tak sebanyak Hans.
Agatha dan Adel kompak menoleh ke arahnya. Vin menyunggingkan senyum manis yang tidak terlihat kaku, berbeda dengan pengawal lain yang ada di rumah ini, terlebih lagi Hans yang jarang tersenyum sama seperti tuannya.
“Mungkin jika dibandingkan dengan mereka, kau bisa dikatakan masuk ke dalam kategori mending,” tutur Agatha menilai dengan singkat. ”Oh, ya, Vin! Apa kau sudah mengemasi barang-barangmu untuk pergi ke Yunani?”
“Sudah aku katakan, Nyonya, pria sepertiku tidak memerlukan banyak barang sepertimu. Aku yakin jika aku hanya membutuhkan sebuah ransel berukuran sedang untuk pergi ke sana. Aku tidak akan menghabiskan banyak barang sepertimu.”
“Nyonya, apa kita akan jadi berangkat ke Yunani? Bukankah kau katakan jika Tuan James sedang sakit?” seru Adel dengan raut wajah khawatir. Bukan khawatir pada bagaimana keadaan James, lebih tepatnya Adel khawatir jika rencana liburannya dibatalkan karena James yang sedang tidak dalam keadaan sehat.
Agatha mengangguk singkat. “Maka dari itu kita sama-sama berdoa untuk kesembuhannya. Semoga saja dengan doa yang kita panjatkan James akan sembuh hari ini juga, jadi kita akan bisa pergi liburan akhir pekan ini.”